Penelitian Mutakhir Naskah Sunda Kuna

Monday, June 28, 2010 at 1:31pm
Kenging tina Kompas Jabar 26 Juni 2010 dina Rubrik Anjungan.

Oleh. ATEP KURNIA

Ada beberapa naskah Sunda kuna (NSK)yang “hadir” belum lama ini. Tentu saja, “hadir” di sini maksudnya dihadirkan karena telah dan sedang diteliti dari sisi filologi, ilmu yang memang bergerak di bidang transliterasi, transkripsi, rekonstruksi, translasi dan interpretasi naskah kuna.

Paling tidak ada 13 NSK yang diteliti. Naskah yang dimaksud sebagai berikut: Carita Raden Jaya Keling (CRJK, L 407), Kaleupasan (K, L 426 B), Sanghyang Jati Maha Pitutur (SJMP, L 426 C), Kala Purbaka (KP, L 506), Sanghyang Sasana Maha Guru (SSMG, L621), Warugan Lemah (WL, L 622), Bimaswarga (B, L 623), Sanghyang Swawar Cinta (SWC, L 626), Kisah Putra Rama dan Rawana (KPRR), dan empat versi naskah Sewaka Darma.

Dari sisi peneliti naskah, paling tidak dapat digolongkan menjadi dua golongan. Pertama, datang dari kalangan staf Perpustakaan Nasional RI, yakni Aditia Gunawan. Peneliti muda ini meneliti SSMG, KP, SJMP, K, WL, dan SSC. Dari jumlah tersebut yang telah dipublikasikan baru dua, yakni yang dibukukan menjadi Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan (2009).
Sementara yang kedua berasal dari kalangan akademisi, baik mahasiswa maupun dosen yang tengah menyelesaikan studi lanjutannya. Dari kelompok ini tercatat Undang A. Darsa (pengajar di Unpad), Mamat Ruhimat (pengajar di Unpad), Rahmat (pengajar di Unpad), dan Reza Saeful Rachman (mahasiswa UPI Bandung).

Dari sisi bahan ada yang menarik kita perhatikan. Dari ke-13 NSK, ada dua di antaranya yang ditulis di atas bilah bambu. Keduanya, SJMP dan K. Penggarapan NSK bilah bambu ini merupakan kali pertama yang dilakukan oleh peneliti, karena sebelumnya yang banyak diteliti adalah naskah-naskah yang berbahan tulis lontar dan nipah.

Sedangkan dari asal usulnya pun tidak jauh berbeda dengan yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian NSK sebelumnya: kebanyakannya berasal dari koleksi Perpustakaan Nasional dan Kabuyutan Ciburuy.
Naskah-naskah dari Perpusnas adalah SSMG, KP, SJMP, K, B, WL, CRJK, dan satu versi Sewaka Darma (L 408) yang pernah diteliti sebelumnya. Sementara dari Kabuyutan Ciburuy, adalah KPRR dan tiga versi naskah Sewaka Darma yang dua di antaranya telah ditranskripsi oleh Partini dan Edi S. Ekadjati (1988).

Dari sisi isinya memang mengetengahkan keragaman, meskipun kebanyakannya disemangati oleh suasana keagamaan baik agama Hindu-Budha maupun agama wiwitan. Dari ke-13 naskah tersebut, di antaranya ada naskah yang berkaitan dengan kosmologi (KP), pantun Sunda (CRJK), rajah pantun (SSWC), dan topografi (WL).

Naskah KPRR yang mula-mula dianggap uniqum (tidak ada salinannya) pada penelitian J. Noorduyn dan A. Teeuw (2006), ternyata satu versi lagi ditemukan tercecer di tiga kropak NSK yang ada di Kabuyutan Ciburuy. Naskah ini kini ditangani oleh Mamat Ruhimat.

Selain itu, yang layak juga dicatat adalah SSMG. Dari naskah berisi etika para pengabdi hukum (sang sewakadarma) yang diformulasikan dalam bentuk numerik dan dibagi menjadi 46 bagian ini, kita diperkaya dengan khazanah pengetahuan literasi yang dulu hadir di kalangan orang Sunda, khususnya di kalangan para resi, biku, atau pendeta sebagai pembaca dan penyalin naskah.

Pengetahuan tersebut berkaitan dengan penyebutan Dewa Gana yang dipercayai sebagai prima causa tulisan. Dewa inilah yang dipercayai melahirkan lontar dan gebang sebagai bahan tulis. Selain itu, juga disebut-sebut dewa ini pun melahirkan tangan, air, kuas, dan tinta atau disatukan dengan istilah Asta Gangga Wira Tanu.

Demikian pula penyebutan 10 media tulis, yakni emas, perak, tembaga, baja, besi, batu, papasan kayu, bilah bambu, daun lontar, dan daun gebang, berikut pembagian pihak yang berhak menggunakan medianya. Ke-10 media tersebut diistilahkan sebagai dasawredi (sepuluh tanda kemajuan). Hal tersebut, jelas, mengungkapkan bahwa di kalangan kaum agamawan-cendikiawan Sunda di masa lalu telah tumbuh kesadaran akan kekuatan yang ditimbulkan bacaan, oleh tulisan. Dengan kata lain, literasi memang memegang kekuatan sebagai pendorong kemajuan sebuah masyarakat.

Naskah WL pun menarik untuk disimak. Dengan permulaan, “Ini warugan lemah. Inge(t)keun di halana, di hayuna. Na pidayeuhheun, na pirembulleun, na piuballeun”, NSK ini mengungkap 16 karakteristik tanah yang akan dijadikan pemukiman, konsekuensi pememakaiannya, serta penolak balanya. Meski mirip primbon, NSK ini tapi sebenarnya membuktikan kearifan lokal orang Sunda tempo dulu ketika dihadapkan pada pemilihan tanah yang dinilai baik bagi pemukiman.

Inilah salah satu contohnya, “lamunna témbong ka laut ma ngarana Tuyang Laya na dayeuh. Pamalina /2r/ paéh ku bajra dayeuhan dayeuh. Panyudana nyawung di tengah lemah poéna tupek kaliwon” (Bila menghadap ke laut, namanya Tuyang Laya. Akibatnya daerah tersebut akan hangus terkena petir. Penawarnya, membuat pondok di tengah tanah, harinya kliwon).

Naskah lainnya yang juga dapat memperkaya referensi kita atas sastra Sunda di masa lalu adalah CRJK. Berikut bagian awal NSK yang bernuansakan pantun Sunda yang berhasil dibaca dan ditransliterasi oleh Reza, “pineuh sareureuh neut hudang/dipeureumkeun ha(n)teu beunang/reuwas ku i(m)piyan/ai eta ngaranna/ carek di jeuro i(m)piyan/sada cucu midang bulan/sada careuh ngalaherang/sada walik dina nangsi/sada poneh di kiraway/sada cangcarang di rangrang/sada titiran disada/sada taliktikan.”

Sebenarnya, dari fakta-fakta di atas, jelas penelitian NSK masih eksis hingga kini. Dari komposisi para penelitinya, saya kira, kita patut gembira dengan hadirnya para peneliti muda, yang diwakili Aditia, Reza, Rahmat, dan Mamat. Dengan demikian, baik disengaja atau tidak, pewarisan literasi atas NSK kepada generasi muda telah berjalan. Juga menambah daftar orang yang literate di bidang NSK, yang sebelumnya dikhawatirkan tidak ada lagi.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya, dengan terungkapnya kandungan NSK di atas mengisyaratkan urgennya upaya pembacaan, pengalih-aksaraan, dan penerjemahan NSK lainnya, mengingat jumlah NSK yang belum terungkap itu masih banyak yang belum tersentuh.

Aditia (2009) mencatat 55 NSK yang ada di Perpusnas. Belum yang ada di kabuyutan, seperti Kabuyutan Ciburuy, Kabuyutan Jasinga, dan yang masih tersebar di masyarakat. Semuanya harus segera “diselamatkan” dan ditangani secara filologis, mengingat kondisi NSK yang kian rapuh dimakan waktu.

Karena sebagaimana yang terungkap dari sebagian hasil penelitian-penelitian NSK di atas, ternyata sangat memperkaya pengetahuan kita pada kebudayaan Sunda di masa lalu. Dengan penanganan yang masif dan rinci atas NSK-NSK yang belum diteliti, bisa kita harapkan munculnya beragam pengetahuan baru dari perikehidupan orang Sunda di masa lalu.

Dengan upaya demikian barangkali kita takkan kena kutuk sebagai generasi yang pareumeun obor. Tidak menjadi generasi yang membiarkan warisan budaya dibiarkan musnah dimangsa zaman. Karena warisan itu dapat dijadikan kekuatan berupa cerminan untuk menghadapi kehidupan masa kini dan membuat strategi untuk membaca masa yang akan datang.


*ATEP KURNIA, penulis lepas, bergiat di Pusat Studi Sunda (PSS), Rumah Baca Buku Sunda, dan Komunitas Sasaka UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.