Sebuah Catatan Tentang Naskah Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani Di Kampung Panyiungan Garut
Reza Saeful Rachman
Sastra Indonesia
Universitas Pendidikan Indonesia
Semacam pengantar
Menurut Kamus Istilah Filologi (Baried, Baroroh. dkk, 1977), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya.
Berdasarkan definisi di atas, kita dapat berpendapat bahwa filologi yang menjadikan naskah kuno sebagai objek penelitiannya dapat kita sebut sebagai semacam alat selam ketika hendak menyelami kebudayaan sekelompok masyarakat pada masa lampau. Upaya penyelaman tersebut dapat berupa penggalian khazanah teks, mempelajari kearifan lokal masyarakat terdahulu, atau menggali nilai-nilai yang terkandung pada naskah itu.
Suku Sunda atau masyarakat Sunda memiliki kekayaan budaya yang tumpah-ruah. warisan diwariskan leluhurnya kepada generasi masa kini. Salah satunya adalah karya sastra. Masyarakat Sunda telah mengenal karya sastra sudah sejak lama. Bentuk sastra yang tertua adalah cerita-cerita pantun. Biasanya pantun Sunda bercerita tentang pahlawan-pahlawan atau tokoh Sunda zaman dulu. Tukang pantun itu mendongengkan cerita pantunnya dengan iringan kecapi. Tokoh yang paling sering diangkat ceritanya adalah tokoh Prabu Siliwangi. Seorang raja yang dianggap amat bijak dan bersahaja serta disegani oleh semua orang.
Setelah zaman pantun, dikenal zaman wawacan. Wawacan biasanya berisi tentang cerita-cerita Islam. Wawacan merupakan seni bercorak Islam hasil pengaruh dari kerajaan mataram Islam setelah kerajaan-kerajaan dibawah naungan kerajaan Sunda, runtuh. Dahulu wawacan menjadi salah satu kesenian yang amat disenangi masyarakat Sunda. Wawacan dibacakan dengan cara di dangdingkeun atau dinyanyikan seperti pupuh. Sehingga selain mengandung unsur ilmu, wawacan juga memiliki nilai seni yang amat tinggi. Ada beberapa wawacan yang sangat lekat dengan masyarakat Sunda antara lain yang isinya merupakan cerita, wawacan yang berisi tentang hal-hal keIslaman, ada pula wawacan yang bersi penuntun dalam bersikap. Wawacan yang berisi tentang cerita antara lain: Wawacan Danumaya, Wawacan Gagak Lumayung, Wawacan Ogin Amarsakti, Wawacan Panji Wulung, Wawacan Putri Johar Manik, Wawacan Ranggawulung, Wawacan Rengganis, Wawacan Samaun, Wawacan Sulanjana. Naskah yang berisi tentang hal-hal keIslaman antara lain: Wawacan Layang Muslimin Muslimat, Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani, Wawacan Jaka Ula Jaka Uli, Wawacan Layang Seh. Yang terakhir adalah naskah yang berisi penuntun manusia dalam bersikap antara lain: Wawacan Wulangkrama, Wawacan Wulang Murid.
Akan tetapi tradisi wawacan kini sudah sangat jarang ditemui atau dapat dikatakan sudah hampir punah. Jika dahulu wawacan sering di tampilkan dalam acara-acara seperti syukuran, kelahiran anak, atau hari besar Islam, kini sudah tidak lagi. Masyarakat zaman kiwari sudah tidak tertarik lagi dengan kesenian tradisional yang mengandung amat banyak nilai-nilai Islam ini.
Sebuah Kabar
Ketika hampir sebagian masyarakat tatar Sunda lupa akan aset budaya warisan leluhurnya yang disebutkan di atas, yakni tradisi wawacan, ternyata masih ada sekelompok masyarakat di salah satu tempat di belahan tatar Sunda, tepatnya di kampung Panyiungan, Desa Samida kecamatan Selaawi kota Garut yang masih melestarikan budaya ini.
Bapak Asep Saepudin adalah sosok yang amat berjasa dalam pelestarian tradisi ini. Beliau masih setia melakukan tradisi wawacan. Meskipun dahulu pada awalnya aktivitas ini hanya karena paksaan dari orang tuanya, kini setelah dewasa hampir enam kali dalam sebulan beliau mendapat panggilan untuk membacakan naskah Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani miliknya dalam acara-acara syukuran atau dalam acara-acara yang diadakan di masjid-masjid. Ternyata masyarakat kampung sekitar kediaman Pak asep masih senang mendengarkan tradisi ini. Menurut pak Asep alasan masyarakat sekitar masih mnyenangi tradisi ini karena masyarakat masih menganggap isi naskah ini sebagai pedoman hidup, dan juga sebagai dongeng warisan leluhur mereka. Mereka masih takut akan mendapat semacam “kualat” jika meninggalkan tradisi ini.
Dengan dibantu kaca mata tuanya, beliau dengan fasih membaca sebuah naskah tua beraksarakan arab namun berbahasa Sunda. Jenis huruf ini adalah arab pegon. Salah satu jenis huruf yang pada zaman dahulu sangat terkenal dan sering digunakan masyarakat Sunda zaman dulu untuk menulis, konon huruf ini hasil percampuran antara kebudayaan arab dan budaya melayu.
Naskah yang dibacakan Pak Asep adalah naskah wawacan Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani, Yaitu seorang ahli sufi yang dilahirkan pada tahun 1077 dan meninggal dunia pada tahun 1166. Berbagai riwayat hidupnya telah banyak dituliskan orang, tetapi riwayat hidupnya cenderung dimasuki bahan-bahan yang bercorak fiksi. Beliau dianggap sebagai pemimpin aliran tasawuf yang dipanggil kadiriah. Menurut Pak Asep, naskah yang dimilikinya ini berisi tentang amanat-amanat, kisah-kisah religius serta pengalaman-pengalaman aneh tentang tuan Syeh Abdul Qadir Jaelani.
Naskah ini merupakan hasil penyalinan pada tahun 1966 dari naskah asli yang dimiliki oleh ayahnya dulu. Dalam ilmu filologi, naskah seperti ini disebut naskah salinan. Berikut adalah identitas lengkap naskah:
NASKAH MANAKIB SYEH ABDUL QADIR JAELANI
Judul : Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani (tidak ada pemberian judul pada sampul)
Ukuran : Hal 21cmx17cm ,Tulisan 17cmx16cm
Halaman : 176 hlm, kosong 2hlm, sobek 1hlm
Penomoran : Penomoran halaman terletak di sudut kanan atas menggunakan angka arab. Penomoran halaman baru sampai halaman 151. sisanya tidak diberi penomoran.
Tinta : Hitam
Keadaan fisik : Masih sangat jelas dibaca, cukup terawat, akan tetapi penjilidan sudah agak longgar.
Asal Naskah : Hasil penyalinan pada tahun 1966
Ukuran Huruf : Sedang
Pemakaian : setiap larik dipisahkan 2 garis miring kecil
tanda baca
Kejelasan : Masih sangat jelas
tulisan
Kertas : kertas bergaris seukuran buku tulis
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : masih putih tetapi sebagian pinggiran sudah ada yang kusam.
Cara penulisan : Bolak balik
Nama : Bpk.H.Asep Saepudin
Pemilik
Tempat : Kampung panyiungan Desa Samida Kec. Sela Awi Garut
Penyimpanan
Sepintas Isi Naskah
Naskah ini dibuka dengan pupuh asmarandana.
Asmarandana
kapihatur nu jadi pepeling
ka sadaya ahli kolawarga
kanu sepuh kanu anom
ka sobat sanak sadulur
ka pameget sareng ka istri
saha-saha anu seja
anu estu maksud
aya pangarah paneda
Disebutkan pada awal pupuh bahwa sebelum membaca naskah ini atau sebelum melakukan sesuatu di perlukan hati yang bersih. Kalimatnya seperti ini :
“kudu serta ati bening suci, serta ikhlas Ulah sambewara. Kudu luak lieuk kanu sejen”
(hati harus serta bening suci, serta ikhlas. Jangan gegabah. Harus memperhatikan yang lain.).
Setelah itu dalam pupuh ke pupuh diceritakan bahwa dulu ada tokoh mulia bernama Syeh Abdul Qadir Jaelani. Dalam naskah ini beliau diceritakan sebagai sosok yang sangat jujur sejak kecil beliau sudah diajarkan perihal kejujuran oleh sang ibu. Dalam satu kutipan pupuh disebutkan bahwa saat itu syeh yang masih kecil disuruh ibunya untuk pergi menuntut ilmu. Oleh ibunya, beliau diberi uang 40 dinar. Ibunya berpesan kepada beliau agar selalu berkata jujur, bertndak jujur selama di perjalanan apapun yang terjadi. Suatu ketika di tengah perjalanan beliau di cegat oleh gerombolan perompak gurun. Pimpinan perompak itu kemudian menodongkan pedang yang amat tajam ke perut syeh. Dia bertanya kemanakah tujuan syeh berkelana. Lalu dia meminta semua benda yang dibawa syeh. Saat ditanya apakah ada benda lain yang yang di bawa, syeh kecil menjawab bahwa ia memiliki uang sebesar 40 dinar. Pemimpin perompak itu pun tertawa mendengar jawaban syeh. Dia tidak percaya bahwa ada anak kecil membawa uang dengan jumlah sebanyak itu. Lalu syeh mengeluarkan uang 40 dinar itu dari balik pakaiannya. Setelah benar-benar melihat sejumlah uang yang dikeluarkan syeh kecil pemimpin itu bukan senang, dia malah menangis sambil berlutut di hadapan syeh. Dia merasa amat malu, hatinya amat teriris melihat kejujuran seorang anak yang masih kecil ini. Pemimpin perompak ini pun akhirnya bertaubat dan syeh pun diperkenankan untuk pergi melanjutkan perjalanan.
Isi naskah selanjutnya diteruskan kepada bagian dimana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Beliau bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Ada hal menarik ketika membaca manakib ini, yakni penonjolan sosok Syeh Abdul Qadir Jaelani sebagai sosok yang luar biasa. Hal itu dapat dilihat ketika sang tokoh diceritakan sebagai perantara doa kepada Allah S.W.T, bisa menghidupkan zat yang sudah mati, dapat mengubah anak perempuan menjadi laki-laki, ditakuti para Jin, dll.
Selain asmarandana, pembacaan dilanjutkan ke pupuh-pupuh yang lain. Seperti sinom, pucung, magatru, kinanti, dll. Wawacan hampir sama dengan Macapat dalam tradisi Jawa. Pada halaman-halaman terakhir, terdapat bacaan solawat-solawat. Ini mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas lain beliau, yakni seorang ahli manakib.
Namun sayang kini hanya segelintir orang saja yang masih peduli dengan tradisi ini. Masyarakat Sunda seakan sudah tidak peduli lagi. Ketidakpedulian ini menurut sebagian golongan disebabkan karena masyarakat modern sudah enggan mendalami hal yang dianggap kuno, sudah lunturnya nilai-nilai kolektif di masyarakat, atau yang paling menohok adalah kandungan cerita ini yang dianggap menyesatkan umat Islam. Padahal tradisi wawacan masih sangat berguna jika diterapkan di masa sekarang. Ini sangat beralasan, karena selain memilki khazanah ilmu, nilai-nilai, serta ajaran Islam didalamnya, wawacan juga memilki nilai seni yang amat tinggi.
Daftar Pustaka
Baried, Baroroh. dkk. 1977. Kamus Istilah Filologi. Laporan Penelitian Fakultas Sastra
dan Kebudayaan UGM. Yogyakarta.
Hamidi, Muhammad. 1991. Tradisi Pembacaan Naskah Hikayat Abdul Qadir Jaelani di
Kampung Suka Asih. Dalam NASKAH DAN KITA, Lembaran Sastra Nomor khusus 12 januari 1991. Fakultas Sastra UI. Jakarta.
Saeful Rachman, Reza. 2008. Naskah Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani di Kampung
Panyiungan Garut. Laporan Penelitian Pengantar Filologi. (tidak dipublikasikan). Bandung.
Sastra Indonesia
Universitas Pendidikan Indonesia
Semacam pengantar
Menurut Kamus Istilah Filologi (Baried, Baroroh. dkk, 1977), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya.
Berdasarkan definisi di atas, kita dapat berpendapat bahwa filologi yang menjadikan naskah kuno sebagai objek penelitiannya dapat kita sebut sebagai semacam alat selam ketika hendak menyelami kebudayaan sekelompok masyarakat pada masa lampau. Upaya penyelaman tersebut dapat berupa penggalian khazanah teks, mempelajari kearifan lokal masyarakat terdahulu, atau menggali nilai-nilai yang terkandung pada naskah itu.
Suku Sunda atau masyarakat Sunda memiliki kekayaan budaya yang tumpah-ruah. warisan diwariskan leluhurnya kepada generasi masa kini. Salah satunya adalah karya sastra. Masyarakat Sunda telah mengenal karya sastra sudah sejak lama. Bentuk sastra yang tertua adalah cerita-cerita pantun. Biasanya pantun Sunda bercerita tentang pahlawan-pahlawan atau tokoh Sunda zaman dulu. Tukang pantun itu mendongengkan cerita pantunnya dengan iringan kecapi. Tokoh yang paling sering diangkat ceritanya adalah tokoh Prabu Siliwangi. Seorang raja yang dianggap amat bijak dan bersahaja serta disegani oleh semua orang.
Setelah zaman pantun, dikenal zaman wawacan. Wawacan biasanya berisi tentang cerita-cerita Islam. Wawacan merupakan seni bercorak Islam hasil pengaruh dari kerajaan mataram Islam setelah kerajaan-kerajaan dibawah naungan kerajaan Sunda, runtuh. Dahulu wawacan menjadi salah satu kesenian yang amat disenangi masyarakat Sunda. Wawacan dibacakan dengan cara di dangdingkeun atau dinyanyikan seperti pupuh. Sehingga selain mengandung unsur ilmu, wawacan juga memiliki nilai seni yang amat tinggi. Ada beberapa wawacan yang sangat lekat dengan masyarakat Sunda antara lain yang isinya merupakan cerita, wawacan yang berisi tentang hal-hal keIslaman, ada pula wawacan yang bersi penuntun dalam bersikap. Wawacan yang berisi tentang cerita antara lain: Wawacan Danumaya, Wawacan Gagak Lumayung, Wawacan Ogin Amarsakti, Wawacan Panji Wulung, Wawacan Putri Johar Manik, Wawacan Ranggawulung, Wawacan Rengganis, Wawacan Samaun, Wawacan Sulanjana. Naskah yang berisi tentang hal-hal keIslaman antara lain: Wawacan Layang Muslimin Muslimat, Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani, Wawacan Jaka Ula Jaka Uli, Wawacan Layang Seh. Yang terakhir adalah naskah yang berisi penuntun manusia dalam bersikap antara lain: Wawacan Wulangkrama, Wawacan Wulang Murid.
Akan tetapi tradisi wawacan kini sudah sangat jarang ditemui atau dapat dikatakan sudah hampir punah. Jika dahulu wawacan sering di tampilkan dalam acara-acara seperti syukuran, kelahiran anak, atau hari besar Islam, kini sudah tidak lagi. Masyarakat zaman kiwari sudah tidak tertarik lagi dengan kesenian tradisional yang mengandung amat banyak nilai-nilai Islam ini.
Sebuah Kabar
Ketika hampir sebagian masyarakat tatar Sunda lupa akan aset budaya warisan leluhurnya yang disebutkan di atas, yakni tradisi wawacan, ternyata masih ada sekelompok masyarakat di salah satu tempat di belahan tatar Sunda, tepatnya di kampung Panyiungan, Desa Samida kecamatan Selaawi kota Garut yang masih melestarikan budaya ini.
Bapak Asep Saepudin adalah sosok yang amat berjasa dalam pelestarian tradisi ini. Beliau masih setia melakukan tradisi wawacan. Meskipun dahulu pada awalnya aktivitas ini hanya karena paksaan dari orang tuanya, kini setelah dewasa hampir enam kali dalam sebulan beliau mendapat panggilan untuk membacakan naskah Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani miliknya dalam acara-acara syukuran atau dalam acara-acara yang diadakan di masjid-masjid. Ternyata masyarakat kampung sekitar kediaman Pak asep masih senang mendengarkan tradisi ini. Menurut pak Asep alasan masyarakat sekitar masih mnyenangi tradisi ini karena masyarakat masih menganggap isi naskah ini sebagai pedoman hidup, dan juga sebagai dongeng warisan leluhur mereka. Mereka masih takut akan mendapat semacam “kualat” jika meninggalkan tradisi ini.
Dengan dibantu kaca mata tuanya, beliau dengan fasih membaca sebuah naskah tua beraksarakan arab namun berbahasa Sunda. Jenis huruf ini adalah arab pegon. Salah satu jenis huruf yang pada zaman dahulu sangat terkenal dan sering digunakan masyarakat Sunda zaman dulu untuk menulis, konon huruf ini hasil percampuran antara kebudayaan arab dan budaya melayu.
Naskah yang dibacakan Pak Asep adalah naskah wawacan Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani, Yaitu seorang ahli sufi yang dilahirkan pada tahun 1077 dan meninggal dunia pada tahun 1166. Berbagai riwayat hidupnya telah banyak dituliskan orang, tetapi riwayat hidupnya cenderung dimasuki bahan-bahan yang bercorak fiksi. Beliau dianggap sebagai pemimpin aliran tasawuf yang dipanggil kadiriah. Menurut Pak Asep, naskah yang dimilikinya ini berisi tentang amanat-amanat, kisah-kisah religius serta pengalaman-pengalaman aneh tentang tuan Syeh Abdul Qadir Jaelani.
Naskah ini merupakan hasil penyalinan pada tahun 1966 dari naskah asli yang dimiliki oleh ayahnya dulu. Dalam ilmu filologi, naskah seperti ini disebut naskah salinan. Berikut adalah identitas lengkap naskah:
NASKAH MANAKIB SYEH ABDUL QADIR JAELANI
Judul : Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani (tidak ada pemberian judul pada sampul)
Ukuran : Hal 21cmx17cm ,Tulisan 17cmx16cm
Halaman : 176 hlm, kosong 2hlm, sobek 1hlm
Penomoran : Penomoran halaman terletak di sudut kanan atas menggunakan angka arab. Penomoran halaman baru sampai halaman 151. sisanya tidak diberi penomoran.
Tinta : Hitam
Keadaan fisik : Masih sangat jelas dibaca, cukup terawat, akan tetapi penjilidan sudah agak longgar.
Asal Naskah : Hasil penyalinan pada tahun 1966
Ukuran Huruf : Sedang
Pemakaian : setiap larik dipisahkan 2 garis miring kecil
tanda baca
Kejelasan : Masih sangat jelas
tulisan
Kertas : kertas bergaris seukuran buku tulis
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : masih putih tetapi sebagian pinggiran sudah ada yang kusam.
Cara penulisan : Bolak balik
Nama : Bpk.H.Asep Saepudin
Pemilik
Tempat : Kampung panyiungan Desa Samida Kec. Sela Awi Garut
Penyimpanan
Sepintas Isi Naskah
Naskah ini dibuka dengan pupuh asmarandana.
Asmarandana
kapihatur nu jadi pepeling
ka sadaya ahli kolawarga
kanu sepuh kanu anom
ka sobat sanak sadulur
ka pameget sareng ka istri
saha-saha anu seja
anu estu maksud
aya pangarah paneda
Disebutkan pada awal pupuh bahwa sebelum membaca naskah ini atau sebelum melakukan sesuatu di perlukan hati yang bersih. Kalimatnya seperti ini :
“kudu serta ati bening suci, serta ikhlas Ulah sambewara. Kudu luak lieuk kanu sejen”
(hati harus serta bening suci, serta ikhlas. Jangan gegabah. Harus memperhatikan yang lain.).
Setelah itu dalam pupuh ke pupuh diceritakan bahwa dulu ada tokoh mulia bernama Syeh Abdul Qadir Jaelani. Dalam naskah ini beliau diceritakan sebagai sosok yang sangat jujur sejak kecil beliau sudah diajarkan perihal kejujuran oleh sang ibu. Dalam satu kutipan pupuh disebutkan bahwa saat itu syeh yang masih kecil disuruh ibunya untuk pergi menuntut ilmu. Oleh ibunya, beliau diberi uang 40 dinar. Ibunya berpesan kepada beliau agar selalu berkata jujur, bertndak jujur selama di perjalanan apapun yang terjadi. Suatu ketika di tengah perjalanan beliau di cegat oleh gerombolan perompak gurun. Pimpinan perompak itu kemudian menodongkan pedang yang amat tajam ke perut syeh. Dia bertanya kemanakah tujuan syeh berkelana. Lalu dia meminta semua benda yang dibawa syeh. Saat ditanya apakah ada benda lain yang yang di bawa, syeh kecil menjawab bahwa ia memiliki uang sebesar 40 dinar. Pemimpin perompak itu pun tertawa mendengar jawaban syeh. Dia tidak percaya bahwa ada anak kecil membawa uang dengan jumlah sebanyak itu. Lalu syeh mengeluarkan uang 40 dinar itu dari balik pakaiannya. Setelah benar-benar melihat sejumlah uang yang dikeluarkan syeh kecil pemimpin itu bukan senang, dia malah menangis sambil berlutut di hadapan syeh. Dia merasa amat malu, hatinya amat teriris melihat kejujuran seorang anak yang masih kecil ini. Pemimpin perompak ini pun akhirnya bertaubat dan syeh pun diperkenankan untuk pergi melanjutkan perjalanan.
Isi naskah selanjutnya diteruskan kepada bagian dimana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Beliau bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Ada hal menarik ketika membaca manakib ini, yakni penonjolan sosok Syeh Abdul Qadir Jaelani sebagai sosok yang luar biasa. Hal itu dapat dilihat ketika sang tokoh diceritakan sebagai perantara doa kepada Allah S.W.T, bisa menghidupkan zat yang sudah mati, dapat mengubah anak perempuan menjadi laki-laki, ditakuti para Jin, dll.
Selain asmarandana, pembacaan dilanjutkan ke pupuh-pupuh yang lain. Seperti sinom, pucung, magatru, kinanti, dll. Wawacan hampir sama dengan Macapat dalam tradisi Jawa. Pada halaman-halaman terakhir, terdapat bacaan solawat-solawat. Ini mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas lain beliau, yakni seorang ahli manakib.
Namun sayang kini hanya segelintir orang saja yang masih peduli dengan tradisi ini. Masyarakat Sunda seakan sudah tidak peduli lagi. Ketidakpedulian ini menurut sebagian golongan disebabkan karena masyarakat modern sudah enggan mendalami hal yang dianggap kuno, sudah lunturnya nilai-nilai kolektif di masyarakat, atau yang paling menohok adalah kandungan cerita ini yang dianggap menyesatkan umat Islam. Padahal tradisi wawacan masih sangat berguna jika diterapkan di masa sekarang. Ini sangat beralasan, karena selain memilki khazanah ilmu, nilai-nilai, serta ajaran Islam didalamnya, wawacan juga memilki nilai seni yang amat tinggi.
Daftar Pustaka
Baried, Baroroh. dkk. 1977. Kamus Istilah Filologi. Laporan Penelitian Fakultas Sastra
dan Kebudayaan UGM. Yogyakarta.
Hamidi, Muhammad. 1991. Tradisi Pembacaan Naskah Hikayat Abdul Qadir Jaelani di
Kampung Suka Asih. Dalam NASKAH DAN KITA, Lembaran Sastra Nomor khusus 12 januari 1991. Fakultas Sastra UI. Jakarta.
Saeful Rachman, Reza. 2008. Naskah Manakib Syeh Abdul Qadir Jaelani di Kampung
Panyiungan Garut. Laporan Penelitian Pengantar Filologi. (tidak dipublikasikan). Bandung.