Aksara Kaganga, antara Ada dan Tiada


dikutip dari Kompas cetak
Minggu, 7 Maret 2010
oleh
Helena F Nababan dan Agus Mulyadi

Sebanyak 40 siswa kelas VI SD Negeri 2 Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Rabu (17/2) siang, tekun mendengarkan penjelasan guru. Sekali-sekali tangan mereka mencoretkan garis-garis miring di atas kertas bergaris kotak-kotak (kertas yang biasa dipakai untuk pelajaran Matematika).

Sekilas, coretan miring itu seperti tidak berbunyi. Namun, bagi siswa SD itu, coretan itu bermakna. Coretan-coretan itu adalah aksara kaganga, aksara yang berkembang di masyarakat Sumatera bagian selatan yang terdiri atas 19 huruf tunggal dan 8 huruf pasangan. Nama kaganga merujuk pada tiga aksara pertama pada urutan 28 huruf, yaitu ka, ga, nga, dan seterusnya.

Penulisannya unik karena huruf-huruf ditulis dengan cara ditarik ke kanan atas dengan kemiringan sekitar 45 derajat.


Kesibukan para siswa menyiratkan kekayaan budaya masyarakat di daerah hulu Sungai Musi. Aksara kaganga yang awalnya berkembang di Curup sering pula disebut aksara ulu. Aksara ini lalu menyebar ke daerah-daerah yang dilalui aliran Sungai Musi.

Sejak lima tahun lalu, aksara ini kembali diperkenalkan kepada generasi muda dan masuk kurikulum pelajaran SD dan SMP di Rejang Lebong. Bahkan, menurut Kepala SDN 2 Curup Sahril, dua tahun ini diajarkan pelajaran Bahasa Rejang yang di dalamnya terkandung pula aksara kaganga.

”Pengajarnya adalah guru-guru asal suku Rejang yang kebetulan mengerti aksara kaganga,” kata Sahril.

Kepala SDN 6 Curup Berlian mengakui, keterbatasan pengajar menjadi salah satu kendala belajar-mengajar kaganga para siswa. Meski demikian, rencananya Bahasa Rejang dengan aksara kaganga-nya akan diajarkan pula di tingkat SMA di Rejang Lebong.

Mengikuti Sungai Musi

”Aksara kaganga atau aksara ulu menyebar mengikuti aliran Sungai Musi sebagai dampak mobilitas penduduk waktu itu,” ujar Sarwit Sarwono, peneliti aksara kaganga dari Universitas Bengkulu, di Kota Bengkulu.

Sarwit mengatakan, berdasarkan dokumen Eropa, aksara ulu diperkirakan berkembang pesat di Sumatera bagian selatan pada abad ke-16-17 Masehi sebagai perkembangan dari aksara palawa dan kawi. Aksara kaganga sendiri banyak berkembang di Sumatera dan Sulawesi. Itu menandakan aksara kaganga berkerabat dengan aksara Batak dan Bugis. Sementara wilayah di luar Sumatera dan Sulawesi, seperti Bali dan Jawa, menggunakan aksara hanacaraka.

Karena mobilitas hulu hilir Musi, hampir seluruh masyarakat di Bengkulu, seperti di Rejang, Lebong, Curup, Kepahiang, Lembak, Seluma, Serawai, serta di Lampung dan Sumatera Selatan seperti di Pasemah, Lintang, Pagaralam, Ogan, hingga Komering, mengenal aksara tersebut. Penyebaran aksara kaganga diperkirakan berhenti pada awal abad ke-20.

Tulisan naskah dengan aksara kaganga, ujar Sarwit, biasanya ditulis di atas bahan kulit kayu atau kakhas dan gelondongan bambu. Naskah kuno juga ditemukan ditulis di atas bahan rotan, kulit hewan, atau lontar.

Di surat ulu masyarakat mengungkapkan banyak hal. Di antaranya seperti silsilah keluarga, mantra-mantra, pengobatan, tuah untuk ayam sebelum disabung, ramalan tentang nasib dan sifat manusia, hingga ajaran agama Islam, hukum adat, ataupun rukun haji.

”Sesuai bahasa daerah masing-masing, ada naskah berbahasa Rejang dengan aksara kaganga, ada naskah berbahasa Pasemah beraksara kaganga, juga ada naskah berbahasa Melayu dengan aksara kaganga,” ujar Sarwit.

Disimpan di warga

Kurator Museum Negeri Sumsel, Rapanie Igama, yang sejak tahun 1995 meneliti surat ulu di seluruh Sumsel, mengutarakan, ratusan surat ulu sampai sekarang masih tersimpan di rumah warga. Sejumlah surat ulu di Sumsel berada di Pagaralam, Lahat, dan Muara Enim.

Hanya saja, penyimpanan itu tidak disertai teknik penyimpanan yang tepat sehingga dikhawatirkan rusak karena lembab. Surat ulu biasanya diwariskan secara turun-temurun dari kepala marga (pesirah) kepada anak cucunya.

Menurut Rapanie, karena surat ulu itu diturunkan, pewaris surat ulu cenderung mengeramatkannya. Kondisi ini menyebabkan keberadaan surat ulu semakin terancam. Cara berpikir masyarakat yang tidak logis ikut menyebabkan kehancuran warisan budaya nenek moyang.

”Mereka menganggap surat ulu sebagai benda pusaka. Untuk membukanya saja harus menyembelih ayam atau kambing. Bahkan, ada surat ulu yang tidak boleh difoto dan dibaca karena ditakutkan nanti seluruh desa terbakar,” kata Rapanie.

Salah satu surat ulu di Desa Padang Bulan, Lahat, yang pernah dibaca Rapanie berisi tentang strategi perang melawan Belanda. Tidak heran pewaris ketakutan kalau surat ulu tersebut dibaca. ”Mungkin dia mendapat wasiat bahwa surat ulu itu tidak boleh dibaca siapa pun,” katanya.

Selain karena disimpan sembarangan, tidak banyak orang yang bisa membaca sekaligus bisa mengartikan aksara kaganga. Umumnya hanya sebatas membaca dan menulis. (wad)