Sastra anak dan didakstisme: sebuah telaah apresiatif atas novel anak “pondok kelapa kopyor” karya Res Danangjaya

oleh Reza Saeful Rachman

Belajar tak harus selalu dengan guru. Kalimat tersebutlah yang saya ingin sampaikan ketika melakukan pembacaan terhadap beberapa karya dalam konteks sastra anak. Penanaman nilai-nilai, norma, maupun ilmu pengetahuan ternyata tak harus melulu dilakukan dengan adanya pendidik atau guru. Dalam beberapa karya sastra anak, sistem nilai, norma, dan ilmu pengetahuan dapat dilesapkan dalam konstruksi sebuah teks sehingga pembaca yang tak lain adalah anak-anak merasa tak digurui atau melulu merasa tertekan. Anak-anak dapat lebih memahami sebuah pengetahuan lewat cara yang lebih menyenangkan.
Ketika membaca sebuah karya sastra anak, seorang anak akan lebih imajinatif lagi dalam menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita yang dibacanya. Penyampaian pesan-pesan yang sebenarnya amat universal dapat lebih mudah dicerna karena disampaikan lewat gambaran-gambaran figuratif yang cenderung mendorong anak untuk berlaku seperti tokoh yang ia baca dalam cerita. Barulah disini peran orang tua dibutuhkan, yaitu sebagai pemberi batasan atau sensor terhadap sebaiknya apa atau seharusnya bagaimana sang anak ketika membaca karya tersebut. Tidaklah mungkin ada orang tua yang senagaja membiarkan anaknya meniru sikap negatif yang justru diperlihatkan tokoh protagonis dalam karya itu.
Salah satu karya sastra anak yang menurut saya cukup baik untuk dijadikan sebagai referensi bacaan anak adalah novel “pondok kelapa kopyor” karya Res Danangjaya.
Novel anak ini bercerita tentang tokoh suradi dan kakeknya truno yang sehari-hari menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani kelapa kopyor . Dengan dibantu tokoh woso dan dibyo (teman bermain suradi), mereka bersama-sama sekuat tenaga agar kopyor hasil tanamannya dapat lebih berkembang lagi. Akan tetapi, dalam usaha pengembangannya itu, mereka kerap dihadang beberapa masalah, antara lain terserangnya pohon kopyor kakek truno oleh hama hingga pada akhirnya harus ditebang. Akan tetapi berkat bantuan anak pak truno di Jakarta yang tak lain adalah paman dari tokoh suradi, usaha kopyor pak truno lebih berkembang lagi dengan dikirimkannya beberapa benih kopyor yang berasal dari kota bogor. Akhir cerita diceritakan kopyor yang mereka tanam berhasil menembus pasaran luar kota dan usahanya tersebut telah sampai ke tahap sukses. Novel yang mengambil latar tempat di wilayah pedesaan ini, menguraikan permasalahan-permasalahan tentang kelapa kopyor dari tahap pembibitan sampai ke tahap pemetikan.
Dalam novel ini, anak-anak dituntut untuk jangan pantang menyerah, harus selalu bersikap optimistis, dan jangan menghakimi orang lain tanpa sebab dan alasan yang jelas. Selain itu, ada beberapa pengetahuan yang bersifat teknis tentang bagaimana cara menanam pohon kopyor, cara pembibitan kopyor secara hibrida, kapan waktu yang tepat untuk menanam pohon kopyor, dll. Secara ringkas, Pengarang dapat dianggap telah berhasil mentransformasikan unsur didaktis yang sejak awal hendak ditanamkannya.
Meskipun saya anggap pengarang sudah berhasil dalam menyampaikan unsur-unsur didaktis, akan tetapi saya menemukan beberapa kesalahan atau mungkin lebih tepat saya sebut sebagai hal yang kurang logis dan anakronis sehingga saya merasakan bahwa penulis kurang melakukan riset sehingga yang didapat hanyalah pemaparan yang kurang matang. Seperti kondisi anak desa, suasana pasar, dll. Hal tersebut saya kira amat penting, karena ketika pemaparan terlihat tidak matang, proses pemahamanpun akan sedikit terganggu. Ada baiknya penulis lebih cermat lagi ketika membangun sebuah karya yang latar belakangnya adalah permasalahan sosio-kultural.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini sudah terlihat sangat lugas dan disertai dengan penggunaan bahasa-bahasa kiasan sebagai bumbu penyedap ketika membaca novel ini. Meskipun dalam beberapa bagian terdapat beberapa kosakata yang sebenarnya lebih lazim dipergunakan oleh orang dewasa, saya merasa itu bukanlah sebuah masalah serius karena kosakata tersebut dibangun dalam konteks penuturan yang subjeknya adalah anak-anak.
Pada akhirnya, kita mendapatkan sebuah pemahaman baru mengenai salah satu alternatif cara dalam menanamkan suatu pembelajaran kepada anak. Melalui karya satra, anak akan lebih luwes dalam menangkap unsur pengajaran yang hendak ditanamkan tanpa merasa digurui atau terpaksa.