Ringkasan Beberapa Teori Sosiologi Sastra

1. RINGKASAN BUKU SOSIOLOGI SASTRA SEBUAH PENGANTAR RINGKAS KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO BAGIAN 1 DAN 2
Pada hakikatnya seorang sastrawanpun adalah bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, sastrawanpun tak dapat lepas dari status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya; dan bahasa adalah adalah salah satu ciptaan sosial. Tak jarang, karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan sosial individu dengan individu lain, atau anatara individu dengan masyarakat.
Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sudah sejak dulu, karya sastra dikenal dalam beberapa tinadakan sosiokultural masyarakat seperti pada upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari atau permainan. Ketika membaca sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan kenikmatan seperti kita sedang melakukan permainan. Atau bahkan kita akan merasakan ketenangan seperti setelah melakukan upacara keagamaan, ataupun karena dalamnya kita dalam membaca sebuah karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimabfaatkan untuk menumbuhkan sifat sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Pada dasarnya sebutan ini pun tak berbeda dengan sebutan-sebutan lain—masing-masing tetap didasarkan dan berlandaskan pandangan teoretis. Meskipun pandangan kritikus satu sama lain berlandaskan pengertian tertentu akan tetapi pada dasarnya semua pendekatan mengacu pada sebuah kesamaan. Sastra adalah sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang tak lain adalah anggota dari masyarakat.
Sudah banyak telaah yang dilakukan beberapa ahli dalam buku atau dalam tulisan lepas, dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin dari proses sosial-ekonomi belaka. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
Beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1956: 84) membuat klasifikasi yang singkatnya sebagai berikut: pertama, sosiologi pengarang, kedua sosiologi karya, dan ketiga sosiologi pembaca. Klasifikasi lain adalah yang dibuat oleh ian watt (1964: 300-313) yang didalamnya membicarakan tentang hubungan timbale balik anatara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Istilah pendekatan sosiokultural terhadap karya sastra dapat kita simak dalam buku Grebstein (1968: 161-169) yang isinya antara lain sampai pada beberapa kesimpulan anatara lain karya sastra tidak dapat dipahami secara tuntas apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya, gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, setiap karya yang bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah yaitu sebagai suatu kekuatan material istimewa dan sebagai tradisi, selain itu kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis tanpa pamrih, dan yang terakhir kritikus sastra bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra yang akan datang.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat. Perbedaan keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara manuisa menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Dalam hubungannta dengan kritik dan sosiologi, Daiches berpendapat bahwa kritik sosiologis paling bermanfaat apabila diterapkan pada prosa. Prosabanyak tergantung kepada apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Yang dianggap penting itu adalah hal-hal yang dapat mengubah hubungan-hubungan sosial. Pengarang besar tentu saja tidak sekedar menggambarkan kondisi sosial secar mentah. Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap keuatan-kekuatan sosial dank arena sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial.
Kalaupun novel dikatakan mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan didalamnya adalah gambaran masalah masyarakat umum ditilik dari sudut lingkungan tertentuyang terbatas, yang berperan sebagai mikrokosmos sosial seperti lingkungan bangsawan, borjuis, seniman, intelektual, dan lain-lain.
Pendekatan sosiologis terhadap sastra dapat dilaksanakan sebaik-baiknya asal si kritikus tidak melupakan dua hal yaitu peralatan sastra murni yang dipergunakan pengarang-pengarang besar untuk menampilkan masa sosial dalam dunia rekamannya dan pengarang itu sendiri lengkap dengan kesadaran dan tujuannya.


2. RINGKASAN BUKU PENGANTAR SOSIOLOGI SASTRA KARYA DR. FARUK BAB 5
SOSIOLOGI SASTRA INDONESIA: BEBERAPA STUDI
a. Studi C.W. Watson
secara eksplisit tesis Watson mengemukakan bahwa dasar teorinya adalah strukturalisme genetik Goldman yang tak lain adalah pengembangan teori George Lukacs. Dalam tesisnya yang membahas tentang novel Indonesia dari rentang tahun 1920 sampai 1950, yang dilihat dari latar sosiokultural dan segi pandangan dunianya. Saama seperti Goldmann, Watson juga menaruh perhatian yang kuat pada teks sastra sebagai suatu struktur yang koheren. Akan tetapi dalam pengembangan tesisnya, ia ternyata tidak sepenuhnya setia pada kerangka teori yang ia gunakan. Ini disebabkan karena factor genesis yang tak tak dapat dijelaskan secara sosiokultural sebagaimana yang dijelaskan goldmann sehingga tersisiplah teori hegemoni Gramscian dalam analisisnya mengenai novel terbitan balai pustaka dan non balaipustaka. Keduanya terbatas pada sebuah eksplanasi berupa perubahan system nilai masyarakat dan diperhitungkannya sejumlah mediasi yang oleh Goldmann tak pernah terpikirkan, misalnya tentang mediasi tradisi sastra tradisional.
Genesis novel Indonesia
Novel Indonesia menurut Watson adalah novel yang terbit mulai tahun 1920 yang diterbitkan oleh balai pustaka. Novel Indonesia dibangun dari rentang tradisi yang sangat panjang sejak terjadinya perkembangan komunikasi di jawa dan sumatera, terutama sejak munculnya pers pribumi dalam bahasa melayu rendah dan jawa. Melayu rendah disini adalah sastra hasil pembaca cina peranakan karena ceritanya dianggap berbahan dari sastra tradisional cina. Pada tahun-tahun terakhir banyak novek realisme sosialis yang ditulis oleh penulis orang belanda atau indo-eropa yang tak lain adalah tiruan dari novel hindia belanda berbahasa belanda. Sirkulasi novel tersebut terbilang luas sehingga cukup membuat pemerintah colonial resah karena takut jika pada akhirnya, “melek huruf” ini akan mengganggu stabilitas keamanan politis kekuasaannya. Untuk menangkal hal seperti itu, pemerintah colonial akhirnya membentuk sebuah komisi bacaan yaitu balai pustaka yang novel-novel kita sebut sebagai awal dari novel-novel Indonesia.
Balai Pustaka dalam Perjuangan Merebut Hegemoni
Peningkatan pers bebas yang dianggap mengancam eksistensi politis pemerintah kolonial berujung pada diberlakukannya tindakan preventif sebagai cara untuk meminimalisir dampak keberadaan bacaan liar. Cara yang diberlakukan adalah dengan menyediakan bahan bacaan tandingan yang dianggap aman secara politis dan melakukan monopoli penerbitan sehingga rakyat jaun dari bahan bacaan yang dianggap membahayakan. Watson berpendapat pada mulanya balai pustaka adalah salah satu alat politik pemerintah kolonial hindia belanda. Akan tetapi, sekian lama timbulah kesukaan pembaca terhadap karya-karya yang diterbitkan balai pustaka. Balai pustakapun mengalami kesuksesan sekitar tahu 1910 dibawah kepemimpinan Rinkes. Dengan bantuan modal yang kuat, balai pustaka akhirnya mampu merebut pasar, hegemoni dalam bidang kesusastraan. Menurut Watson, pencapaian tersebut diikuti pula oleh terintegrasinya balai pustaka dari system politik kolonial sehingga memungkinkan adanya efisiensi dalam seluruh proses pemberadaan buku.
Determinasi Faktor-Faktor Kultural
Dalam analisisnya mengenai karya-karya, Racine dan goldmann tidak hanya berbicara tentang pandangan dunia, melainkan genesis dari pandangan dunia tersebut. Genesisi itu didapatkan dari mengidentifikasi asala kelompok sosial pengarang dan posisi kelompok sosial tersebut dalam tatanan kelas masyarakat. Hal tersebut tidak dilakukan oleh Watson. Yang ia kaji hanyalah perubahan system nilai dalam masyarakat.

Watson hanya mengkaji system nilai itu pada masyarakat minangkabau karena kebanyakan buku balai pustaka dikarang oleh pengarang asal minangkabau. Watson berpendapat bahwa transisi bentuk sastra tradisional ke modern merupakan salah satu akibat dari perubahan system sosial pasca perang padre hingga tahun 1920-an. Meskipun perang padre diakhiri oleh menangnya kaum adat, akan tetapi karena kaum penghulu semakin terikat dengan belanda, penghormatan terhadap otoritas tradisional menjadi lenyap, digantikan oleh orientasi nilai yang bersifat status pencapaian. Makin lama. Kekuatan otoritas tradisional di minangkabau makin kikis. Hingga sesudah abad 19, keaslian pandangan yang berpusat pada komunitas itu tak dapat dipertahankan lagi. Perkembangan berikutnya adalah mengkonsolidasi pandangan baru dan membentuk etika dan norma-norma baru. Meurut Watson novel balai pustaka cenderung berplot romantik. Perangkat nilai lain yang berpusat pada pertanyaan mengenai prestise dan status sosial dan hal itu bergantung pada suskses material. Situasi ideal juga diidentikkan dengan adanya fleksibilitas dalam perkauman dan pergaulan sosial daripada yang umum dalam masyarakat minangkabau.

Sikap-sikap tersebut menurut Watson agak mudah diterangkan. Pendek kata ada tuntutan yang terus menerus bukan terhadap penghapusan tradisi atau adat demi modernisasi, melainkan hanya modifikasi dan inovasi yang muncul dalam proses modernisasi. Sekitar tahun 1933, ketika munculnya pujangga baru, novel minangkabau tak lagi bercerita tentang masyarakatnya saja, melainkan juga masyarakat daerah lain misalnya sunda.

Masyarakat kota telah berkembang menjadi masyarakat yang pluralis. Watson membedakan elit Indonesia menjadi dua macam. Yaitu kelompok yang menyukai asosiasi dan kelompok yang cenderung radikal. Konteks tersebutlah yang menjadi penting dan menentukan bagi perkembangan pujangga baru. Menurut Watson, pembacaan terhadap novel-novel pujangga baru telah berbeda, karena yang ditawarkan adalah menerima norma-norma dan nilai-nilai dunia modern. Ini disebabkan oleh pembacaan kesusastraan barat. Sebagai contoh novel layar terkembang, lingkungannya adalah kota dan tokohnya adalah bangsawan sunda. Gaya hidupnya cenderung seperti orang eropa. Tokohnya berorientasi nasionalis. Dalam novel ini nilai baik dan buruk lebih disoroti daripada kontas pasangan-pasangan yang tajam. Semua itu bagi Watson adalah sebuah inovasi teknis. Selain itu Watson menilai belenggu lebih maju daripada layar terkembang. Belenggu lebih menyoroti kelas menengah lingkungan perkotaan. Selain itu, belenggu tak bersifat tendensius. Belenggu bagi Watson mencerminkan krisis kesadaran dari kelompok sosial yang spesifik dan percerminan itu dimediasi lewat strukturnya, bukan isi superfisialnya.
Mediasi Semiotik dan Penerbit
Berbeda dengan goldmann, Watson menggunakan konvensi sastra yang digunakan masayarakat sastra Indonesia. Karya sastra Indonesia tidak sepenuhnya modern, akan tetapi masih terikat pada konteks sastra tradisional. Itulah sebabnya sesuai dengan kebijaksanaan balai pustaka yang lebih menganggap bahwa masyarakat indonesia itu adalah anak-anak. Pada dasarnya karya yang diterjemahkan dari eropa itu adalah bacaan anak-anak. Kebijakkan serupa itu menurut Watson sesuai dengan kebijaksanaan politik pemerintah secara general. Sebagai mana telah dikemukakan, balai pustaka didirikan untuk menyaingin penerbit-penerbit swasta yang banyak menerbitkan karya sensasional dan politis. Itulah sebabnya buku terbitan balai pustaka meruapakan bacaan yang menghibur dan “aman”.
b. Studi Ariel Heryanto
Ariel melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia mutakhir atas dasar teori hegemoni gramscian terutama dengan model yang digunakan oleh Williams. Dal studi ini, sastra dianggap sebagai praktek atau aktifitas politik. Sesuai dengan konsep teori hegemoni yaitu meliputi dua level yaitu politik kesusastraan itu sendiri dan level politik general yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Ariel membagi kajiannya menjadi tiga yaitu hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir, politik bersastra dan sastra yang berpolitik.
Hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir
Sastra Indonesia menurut Ariel dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu. Bentuk itu dapat dilihat dari dominasiny adalam berbagai sector kehidupan yang bersangkutannya. Sebagai missal keberadaan kanon sastra yang berkembang dengan definisi konseptual, studi, dan penulisan sejarahnya. Bentuk kesusastraan yang hegemonic tersebut disebut ariel sebagai kesusastraan yang “diresmikan atau diabsahkan”. Selain itu terdapat beberapa bentuk kesastraan yang subordinat yang dibagi tiga oleh ariel yaitu kesusastraan yang terlarang, yang diremehkan, dan dipisahkan. Sastra yang terlarang sebagai contoh adalah karya pramoedya ananta toer, yang diremehkan adalah novel remaja, dan yang dipisahkan yaitu non-sastra Indonesia dan non-sastra, sebagai contoh yang non-sastra Indonesia adalah sastra daerah dan yang kedua adalah sejumlah karya jurnalistik, essai, dll.
Politik Bersastra
Politik oleh ariel didefinisikan sebagai seluk-beluk pembagian dan penyelengaraan kekuasaan dalam suatu struktur kegiatan sosial. Menurut ariel, secara struktural politik kesusastraan Indonesia mengidap pertentangan, dalam kenyataannya variasi ideologis dan pertentangan politis antar individu atau kelompok individu atau kelompok individu dalam setiap ragam kesusastraan yaitu sastra yang terlarang, diremehkan, non-sastra Indonesia dan non-sastra.
Sastra Berpolitik
Dalam tulisannya ini, aril tidak sepenuhnya setia dengan teori hegemoni Gramsci dan Raymond Williams. Ariel mambangun beberapa kategori tersendiri yang agak kurang jelas dan membingungkan. Ia lupa akan prinsip hegemoni dan suborninat Gramsci dan kategori-kategori budaya residual, bangkit, dominan dari Williams. Kategorisasi secara empiric yang dilakukan oleh ariel sesungguhnya serampangan sehingga mempersulit proses penafsiran ideologis generalnya, terjadi tumpangtindih dalam mencapai kesetujuan secara relatif. Ariel terlalu mendasarkan kategorisasinya pada biografi pengarangnya, pada estetikanya, dan kadang-kadang pada sisi ideologisnya sesuai informasi empiric yang berhasil dilihatnya dipermukaan. Akhirnya ariel mendapti kesulitan ketika member tafsiran ideologis yang general terhadap formasi kehidupan politik kesusastraan yang dibangunnya dengan formasi ideologis yang general. Akan tetapi secara teoretik, ariel tetap ditutntut untuk melakukan tafsiran tersebut. Ia malah kemudian melenyapkan kategori politik kesusastraan yang telah dibangunnya sebelumnya. Ia menggantinya dengan konsep ideologi bersastra yang menurutnya bisa dibangun oleh sastra yang politis dan apolitis atau bahkan dapat memilih salah satunya saja. Menurut ariel, sastra Indonesia dibangun dari ideology apolitis yang sesungguhnya bagaimanapun tetap merupakan politik juga. Kesusastraan apolitis itu berkaitan dengan factor sosial politis yang general, yaitu depolitisasi Negara, kuantitas sejarah belum lama terjadi, hegemonisasi estetika sebagai acuan, sejarah resmi kesusastraan itu sendiri, dan perkembangan teknologi dan komunikasi massa mutakhir.
Depolitisasi Negara adalah merupakan kebijakan tak terelakan dengan ideology politis yang dipilih. Depolitisasi dapat dianggap sebagai usaha meredam yang dilakukan pemerintah sebagai tindakan praktis penghindar konflik. Kuantitas pemahaman sejarah yang dimaksud adalah pengalamn sejarah masyarakat hamya luas ketika awal orde baru saj dan itu sangan mendukung proses depolitisasi. Pemerintah melakukan berbagai pembantaian terhadap pelaku aktifitas politik terlarang sebelumnya, sehingga tercipta trauma yang malah membuat masyarakat lebih memilih untuk bersikap apolitis. Akibat dari hal diatas adalah terciptanya lingkungan sosial yang tak mendukung pertumnuhan aspirasi masyarakat dan persaingan mereka dalam ajang demokrasi yang terbuka. Akan tetapi semua itupun belum menjelaskan bertahan dan berlanjutnya gairah besar untuk bersastra yang apolitis itu.

Kurang lebih tak jauh berbarengan dengan peristiwa sosial tersebut, salah satu masa kesusastraan Indonesia mutakhir diresmikan dan ditandai dengan tumbangnya lekra yang menggunakan politik sebagai acuan dalam melakukan aktifitas kesastraannya. Akhirnya salah satu kelompok yaitu manifestasi kebudayaan secara tegas menolak lekra dan mereka tetap pada anggapannya bahwa bersastra itu meski sebaik-baiknya, bukan berpolitik.

Hegemoni esteika menjadi acuan ketika manifest kebudayaan menggunakan konsep ini sehingga menimbulkan kemungkinan politik apolitis itu tersusup. Yang menjadi patokan resmi adalah nilai-nilai dan konsep estetika. Akan tetapi konsep ini mendapat banyak kritik pedas karena keasyikannya bereksperimen dengan estetika yang agak seragam dan bersifat non-realis dan anti sejarah.
Menurut ariel, kekuatan sosial lain yang ikut memperlemah daya politis adalah teknologi komunikasi masa yang telah merombak kedudukan dan kekuatan sastra sebagai salah satu medium bermasyarakat. Sejak terpacunya pencanggihan teknologi, dalam masa orde baru, para penguasa secara sadar betul telah menyingkirkan sastra sebagai medium bermasyarakat yang efektif. Lahan ini—media massa—dianggap sebagai media yang paling berpengaruh dan disebut sebagai yang paling politis dan banyak menjadi sponsor dan sensor politik Negara.












3. RINGKASAN BUKU SASTERA DAN ILMU SASTERA KARYA A. TEEW BAB 8
KARYA SASTERA DAN KENYATAAN
Teori Plato mengenai mimesis
Pandangan plato tidak dapat dilepaskan dari pendirian pandangan filsafatnya mengenai kenyataan yang bersifat hierarkis. Plato memandang ada beberapa tataran tentang Ada (different planes of being) yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatarannya. Dunia empiris tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, kita hanya bisa melewatinya dengan mimesis, peneladanan, pembayangan ataupun peniruan. Jadi bagi plato, mimesis terletak pad aide pendekatan. Dalam rangka ini, menurut plato, mimesis atau sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal karena seni terpisah dari tataran Ada di dunia kenyataan yang fenomenal. Wujud yang ideal tak mungkin langsung terjelma dalam karya seni. Tetapi ini bukan berarti seni kehilangan nilai, karena seni mencoba mengatasi kenyataan sehari-hari. Plato percaya bahwa seniman terpengaruh oleh dewi Muse ayitu dewi keindahan. Akan tetapi manusia tak dapat melakukan itu secara tepat sehingga plato memiliki dua segi sekaligus:
“art, therefore, has a double aspect: in its visible manifestation it is a thing of the most inferior value, a shadow: yet it has an indirect relation to the essential nature of things”.
Artinnya meski seni dianggap rendah atau hanya sekedar bayangan, akan tetapi seni mewakili hakikat dari benda-benda. Bagi plato tak ada pertenangan serius dalam seni antara realis dan idealis. Seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki kenyataan itu. dengan demikian seni tak harus selalu benar. Seni hanya mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah. Dalam pandangan ini, sebenarnya seorang tukang lebih berharga dari pada seorang seniman. Plato menganggap bahwa tukang lebih efisien dalam meniru ide ketimbang seniman. Seniman cenderung mengimbau bukan rasio, nalar manusia, memainkan nafsu dan emosinya. Menurut plato itu harus ditekan. Seni menimbulkan nafsu sedangkan manusia yang berasio justru harus neredakan nafsunya.

Aristoteles menyanggah Plato
Aristoteles menyanggah plato dengan berpendapat bahwa seni malah menyucikan manusia lewat proses yang disebut catharsis atau penyucian. Manusia menjadi budiman karena lewat pemuasan estetik keadaan jiwa dan manusia justru meningkat. Aristoteles tak hanya menolak pandangan plato pada hal ini saja. Aristoteles tidak menerima filsafat ide plato dan system hierarkis nilainya malah justru menimbulkan aspek positif mimesis. Aristoteles menganggap bahwa seniman mencipta dunianya sendiri dengan problability yang memaksa dengan ktidakterelakkannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seorang seniman masuk akal dank arena dunia itu merupakan kontraksi, perpaduan antar unsur-unsur dunia nyata, mencerahi dunia tertentu. Bagi aristoteles, seniman lebih tinggi karyanya dari seorang tukang karena kepandaiannya diabdikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia. Karya seni menurut aristoteles menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain.

Alam dan Seni dalam berbagai kebudayaan
Visi aristoteles dalam sejarah kebudayaan barat uumnya diterima dan menjadi dasar estetika dan filsafat seni. Akan tetapi ini tidak berartipandangan tentang seni sebagai mimesis hilang. Pada kebudayaan barat, hubungan antar seni dan kenyataan tetaplah sebuah masalah. Pada abad pertengahan pandangan ini berkaitan dengan anggapan tentang hubungan manusia dan tuhannya. Pada hakikatnya, pengarang atau seniman itu bukan pencipta langsung, akan tetapi masih meiliki keterikatan dengan tuhannya. Hal ini tercermin pada beberapa pandangan berbagai bangsa dalam kesusastraannya seperti arab, cina, bahkan jawa kuno.
Dalam puisi jawa kuno, aspek mimetic peneladanan alam oleh penyair kuat sekali. Puisi jawakuno dapat kita samakan dengan unio mystica, persatuan keindahan lewat keindahan, manunggaling kawula gusti dengan istilah jawa modern sebab keindahan terwujud dalam berbagai cara yang berbeda-beda, selalu dianggap sebagai penjelmaan dari yang mutlak. Segala keindahan pada hakikatnya satu dan sama. Kalau keindahan itu Nampak dengan cara yang sama dalam manusia dan alam, maka dianggap terdapat kaitan yang khas antara penjelmaan-penjelmaan tersebut. Para kawi melihat manusia dan alam sebagai kesatuan yang hakiki.

Kaitan antara Mimesis dan kreatio dari segi bahasa
Dalam dunia barat norma puisi harus meneladani alam baru mulai digerogoti pada abad 18. Namun meskipun begitu, hubungan antara dunia kenyataan dengan seni tetap menjadi masalah. Timbulnya roman dan drama modern malah lebih dominan. Akhirnya dibuatlah dua pendirian yaitu pendirian mimesis dan pendirian creatio. Menurut penganut creatio karya seni itu hakikatnya baru, asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Sedangkan menurut para penganut mimesis menganggap bahwa karya seni itu adalah cerminan, peniruan, ataupun pembayangan realitas. Pendirian pertama banyak dianut oleh kaum strukturalis yang menganggap bahwa seni itu tunduk pada otonominya, sedangkan pandangan kedua dianut kebanyakan oleh peneliti sastra berhaluan marxis. Mereka menganggap bahwa karya seni merupakan sebuah dokumen sosial. Dari segi bahasa, tanda itu mempunyai makna (konsep significant dan signifie) designatum yang tidak langsung merujuk pada kenyataan (dapat berlaku meski diluar konteks). Segi bahasa sudah jelas ambiguitasnya terhadap kenyataan. Penulis disini tidak hendak mendalami masalah realitas sebagai sebuah konsep filsafat. Sudah tentu ada system filsafat dan agama yang menyangkal realitas pengalaman manusia dan yang menganggap dunia yang tampak sebagai ilusi atau maya berdasarkan kekurangan pengetahuan dan pemahaman manusia. Ilusi semu ini menurut agama budha misalnya dapat kita atasi lewat bodhi atau peahaman yang akhirnya dapat menyelamatkan manusia dari rangkaian ekstensi yang sia-sia.
Kenyataan dari segi Sosiologi
Lepas dari masalah realitas dalam arti filsafat pun kenyataan dalam rangka lain menimbulkan masalah. Manusia tidak langsung kenal kenyataan di sekitar dan didal dirinya. Kenyataan bukanlah sesuatu yang diberikan secara objektif atau yang dapat kita tinjau, amati, dan tafsirkan secara individual tanpa praanggapan. Kenyataan yang kita hadapi adalah kenyataan yang telah prefabricated, penafsiran dan pemahamannya adalah social construction. Interpretasi terjadi lewat struktur sosial yang menyediakan rangka sejumlah peranan yang masing-masing ada stereotipnya bagi anggota masyarakat. Pandangan manusia terhadap kenyataan diarahkan oleh seluruh system aturan, lembaga, tipologi, peranan ideology, mitologi dan lain-lain yang sudah tentu beda menurut masyarakat dan kebudayaan. Peralatan yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiaran kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa adalah wajah objektif dari timbunan makna dan pengalaman yang besar sekali—objektif disini bukan objektif mutlak, tetapi objektif sebagai milik bersama anggota masyarakat terhadap yang subjektif dalam arti penafsiran individual. Dalam bahasa bertumpuklah persediaan pengetahuan sosial yang terus menerus menentukan interaksi dengan orang lain. Akan tetapi bahasa tidak hanya mengintegrasikan berbagai bidang pengalaman sehari-hari menjadi keseluruhan yang berarti. Bahasa juga memungkinkan untuk mengatasi kenyataan sehari-hari dan memindahkan hal yang nyata menjadi tidak nyata. Jadi secara ekstrim dapat dikatakan bahwa bukanlah kenyataan yang yang menentukan arah penafsiran tentang kenyataan akan tetapi rangka penafsiranlah yang menentukan apakah dan bagaimanakah kenyataan yang dapat kita lihat dan pahami serta cara kita melihatnya.

Sastera: peneladanan sekaligus model kenyataan
Dalam teks sastra perbandingan tokoh seorang tokoh atau suatu gejala alam dengan lukisan atau gambar adalah perbandingan yang sangat biasa dimana-mana. Norma keindahan yang diakui oleh masyarakat tertentu terungkap dalam karyaseni yang kemudian dijadikan sebagai tolok ukur dalam kenyataan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah orang yang mempertentangkan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan yang nisbi atau semu. Hubungan antara kenyataan dan seni bukanlah sesuatu yang searah. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung ditentukan oleh tiga macam filter yaitu konvensi bahasa, konvensi sosiokultural, dan konvensi sastra. Hubungan ini merupakan sebuah interaksi karena sudah tentu konvensi tidak terjadi tanpa dipengaruhi oleh kenyataan. Kenyataan berpengaruh besar pada terjadinya konvensi-konensi tadi. Dan dalam seni umumnya interaksi itu dijadikan prinsip semiotic utama. Membaca teks sebagai pencerminan kenyataan belaka pasti sangat menyesatkan. Tetapi sebaliknya membaca teks ebagai rekaan murni tak kurang mengelirukan. Seorang pembaca sastra mengetahui kalau hal yang diceritkan dalam teks adalah sesuatu yang palsu dan tidak pernah terjadi. Tegangan yang ditimbulkan oleh hubungan dengan kenyataan yang demikian ambivalen termasuk esensi sastra. Pembaca dikiankemarikan antara yang nyata dengan yang khayali, yang satu tak mungkin dipahami dan dihayati tanpa yang lain.
Roman dalam ketegangan antara kenyataan dan rekaan
Roman adalah karya yang seringkali dianggap paling mimetic. Roman dianggap sesuai dengan horizon harapan pembaca yaitu mendekati kenyataan. Segala sesuatu harus jelas dalam roman, baik latar, jalan cerita, dan pemerincian. Jika dalam cerita dikisahkan sosok seorang wanita, maka gambaran dalam roman itu tak akan jauh dari apa yang sudah terkonvensi dalam suatu latar budaya. Sebagai contoh dalam siti nurbaya, sosok siti tak keluar dari stereotip gadis melayu yang hidup dalam adat minangkabau. Dunia nyata dan rekaan selalu berkaitan. Sudah tentu secara factual bentuk kaitan itu akan berbeda-beda. Dalam roman yang terkesan realis, kenyataan seakan-akan diberikan secara tepat dan secermat mungkin. Namun ini merupakan sebuah teknik, satu sarana menurut konvensi pada waktu tertentu yang berfungsi untuk meyakinkan pembaca. Tetapi disini justru pemberian makna mengharuskan kita bolak-balik antara kenyataan dan makna dunia di belakang kenyataan itu. demikian pula dalam roman sejarah, sedapat mungkin cocok dengan informasi faktual yang kita miliki sesuai waktu itu. namun kenyataan itu diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan yang diharapkan dari pembaca. Kemiripan dengan kenyataan bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang lebih daripada kenyataan itu, baru tambahan itulah yang memberikan makna pada kenyataan atau kenyataan semu.
Masalah realisme dalam sejarah sastera
Realisme sacara istilah mulai dipakai dalam filsafat pada abad pertengahan. Tetapi sebagai istilah dalam teori sastra realisme baru muncul pada abad ke-19. Sebagai istilah untuk gaya seni, realisme dipergunakan untuk seni yang memperlihatkan aspek kehidupan sehari-hari yang nyata dan sungguh-sungguh tanpa tambahan fantasia tau detail yang bukan-bukan. Tetapi usaha untuk meneladani kehidupan sehari-hari menjadi dominan dalam seni sastra eropa barat pada abad ke-19.
Dalam menggambar dunia roman, tidak ada realisme mutlak. Dunia roman itu walau bagaimanapun mendekati aspek-aspek kenyataan tertentu, seluruhnya adalah rekaan dan pembaca secara konvensional membaca roman itu dengan harapan yang lain sekali dibandingkan dengan risalah sosiologi atau sejarah atau laporan wartawan. Realisme sebagai gaya sastra mungkin menjadi dominan pada masa tertentu atau dalam jenis sastra tertentu. Tetapi realisme yang paling realispun bersifat konvensional. Pembacaan dan penilaiannya pertama-tama ditentukan oleh kemampuan pembaca untuk menikmati sebagai aplikasi konvensi tertentu yang mengandaikan keterpaduan anatara kenyataan dan imajinasi. Secara prinsip roman realis tidak beda dengan roman lain atau dengan sajak lirik dalam hakikatnya sebagai karya sastra.
Roman sebagai dokumen sosial?
Adakalanya roman disebut sebagai dokumen sosial. Akan tetapi itu tak selalu bahwa roman dapat dijadikan sebagai dokumen. Justru karena dalam tiap karya sastra ada keterpaduan antara mimetic dan creatio orang harus sangat berhati-hati dalam upaya mengambil suatu fakta meskipun tulisan itu terkesan amat realis. Dalam arti ini, roman biasanya bukan dokumen sosial akan tetapi dapat dipergunakan sebagai tambahan pada data yang diperoleh dari sumber yang sungguh-sungguh bersifat dokumen sosial.
Dalam hal ini perlu ditekankan pula bahwa masalah apakah kenyataan itu juga menyangkut persoalan yang rumit, visi terhadap kenyataan juga bergeser sepanjang waktu. Pandangan manusia abad ke-19 akan berbeda dengan pandangan manusia pada abad ke-20. Bayangan normal dan abnormal kian lama kian menjadi kabur. Dari segi ini, pun realism adalah konsep yang nisbi, yang isinya sebagian besar ditentukan oleh norma-norma masyarakat setempat atau sezaman.

Kenyataan dalam puisi lirik
Dalam lirik modern keterjalinan anatara kenyataan dan rekaan lagi sifatnya. Jadi emosi diterjemahkan dalam bentuk aku. Yang menjadikan sajak penting sebagai puisi bukanlah informasi keakuan dan kekinian seorang penyair secara nyata. Keakuan ini secra semiotik merujuk pada keakuan pembaca sendiri. Siapa yang membaca sajak seorang penyair sebagai mimetic sebagai ungkapan kenyataannya, pasti akan kehilangan maknanya yang sungguh-sungguh. Tetapi tanpa melibatkankekakuan seorang penyair yang jadi jembatan bagi proses penafsiran agar tidak salah. Puisi lirik baru dapat kita pahami dan kita nilai seluruhnya dalam kaitannya yang kompleks anatara pengakuan si penyair yang paling individual lewat aku liriknya, dan pesan yang relevan untuk setiap manusia.
Kenyatan dalam babad dan sejarah
Seringkali beberapa ahli belanda mengharapkan kebenaran sejarah dari khazanah sastra kita yang berupa manuskrip babad atau sejarah. Akan tetapi ketika sumber tersebut dicocockan dengan sumber lain seperti arsip portugis, arsip belanda atau berita cina, seringkali tidak terdapat kecocokan. Sehingga pada akhirnya mereka kecewa dan menyebut babad atau naskah sejarah sebagai gado-gado legenda yang tidak kritis. Pendekataan bersifat mimetic ini ternyata mengecewakan para peneliti modern. Akan tetapi para orientalis lain, sebagian malah menjadikan khazanah teks ini sebagagai pemberian makna manusia jawa atau melayu terhadap kondisi sosialnya atau sejarahnya. Sedangkan orientalis lain menganggap telah ada pemberian makna terhadap peristiwa sejarah, tempat, fakta-fakta, akan tetapi pemberian makna itulah yang keliru. Peneliti harus selalu insaf akan tegangan antara dua kutub itu. mimetic tidak berarti atau disalahkan tanpa pemahaman semiotic dalam konteks sosio budaya. Perpaduan antara seta tegangan anatara mimesis dan kreasi adalah esensi teks, juga sejarah yang dibicarakan disini.
Sastera dan penulisan sejarah
Hubungan antara sastera dan sejarah di dunia barat sejak abad klasik tetap cukup pelik sampai sekarang. Pada abad pertengahan, sejarah dipertentangkan dengan sastra. Meskipun, tulisan-tulisan tersebut diketahui merupakan perpaduan antara sastra dan sejarah. Akan tetapi dalam perkembangannya, sejarah berkembang lagi sebagai ilmu pengetahuan yang tersendiri. Akibatnya, sastra dan sejarah makin renggang dan dianggap berbeda. Dalam karya sejarah yang paling ilmiah pun masih ada aspek-aspek yang subjekif yang tak dapat dibuktikan benarnya, aspek interpretasinyadapat dibantah. Sejarah harus ditulis kembali terus menerus dan keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai karena beberapa hal anatara lain, pertama fakta-fakta tidak pernah lengkap, kedua penulian sejarah mau tidak mau harus selektif, ketiga penulis itu sendiri adalah manusia yang bersifat subjektif.
Hayden White mengenai sejarah dan sastera
Hayden white berpendapat bahwa pada dasarnya penulisan sejarah di barat hamper sama dengan cara penceritaan sastra. Memberikan makna data yang dikumpulkan hanya mungkin berdasarkan model-model kiasan yang disediakan kebudayaan dan sastra kita. perbedaan interpretasi peristiwa tertentu atau riwayat tertentu sebenarnya adalah perbedaan yang mungkin berbeda menurut model yang dipilih penulisnya.
White berpendapat bahwa pandangannya tidak merendahkan gengsi atau derajat ilmu sejarah, akan tetapi malah sebaliknya. Sejarawan akan lebih baik memahami apa yang sedang dilakukannya, apa cirri khasnya selaku ilmuwan dan apa persamaan dan perbedaannya dengan pola sastra. Singkatnya apa sebetulnya persamaan dan perbedan antara history dengan story.

Kesimpulan: sastra sebagai alternatif terhadap kenyataan
Hubungan antara kenyataan dengan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Mimesis tidak mungkin tanpa kreasi dan kreasi tak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan pertautannyadapat berbeda menurut kebudayaannya. Dan catatan terakhir perpaduan antara keduanya tidak hanya berlaku benar untuk penulis sastra. Begitupun pembaca. Dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aspek mimetic dengan kreatif mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir. Karya sastra yang dilepaskan dari kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki. Pembaca yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia. Atau lebih sederhana berkat seni sastera khusunya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.