Potret Geisha Asal Minahasa: Sebuah kajian sosiologi sastra dan poskolonial terhadap Novel Kembang Jepun karya Remy Sylado

oleh Reza Saeful Rachman

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Menurut Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya (work) yang dikenal dengan teori objektif (Abrams, 1976: 6-29). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.

Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut sebagai fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Istilah fiksi secara sempit dapat kita definisikan sebagai cerita khayalan atau rekaan. Hal ini disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak selalu menyaran pada kebenaran sejarah (abrams, 1981: 61). karya fiksi dengan demikian menyaran pada suatu karya yang bersifat rekaan, tak terjadi, dan khayalan sehingga tak perlu kita cari kebenarannya pada dunia nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas –sesuatu yang benar ada dan terdapat bukti berupa data-data empiris. Ada atau tidaknya atau dapat tidaknya suatu yang dikemukakan dalam suatu karya dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dengan nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat dalam karya sastra bersifat imajinatif, sedang pada realitas bersifat faktual.

Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dengan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai masalah tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai pandanannya. Oleh karena itu fiksi menurut Altenbernd dan lewis (1966:14), adap diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubunan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal tersebut berdasar pengalaman dan pengamatannya terhadap nilai-nilai kehidupan. Namun, hal tersebut dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman hidup manusia. Penyeleksian pengalaman kehidupan tersebut tentu saja, bersifat subjektif.

Namun, perlu juga dicatat bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang berdasar diri dari fakta. Karya sastra yang demikian oleh Abrams (1981: 61) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction). Jenis karya seperti ini terkadang disebut sebagai fiksi yang nonfiksi. Wellek dan warren (1989: 278) mengemukakan bahwa realitas dalam karya sastra merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan yang absah. Sarana untuk menciptakan ilusi dipergunakan sebagai pemikat pembaca agar mau masuk ke dalam situasi intim sebuah karya.

Bentuk novel tampaknya merupakan transposisi kedataran sastra kehidupan sehari-hari dalam masyarakat individualistik yang diciptakan pasar sehingga hubungan manusia dengan komoditi menjadi linear. Komoditi disini dimaksudkan untuk menungkap dua konsep yaitu nilai guna dan nilai tukar (Goldman dalam faruk, 1994: 31). sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. A. Teew menganggap hal tersebut adalah wajar karena sebuah karya tidak diciptakan dalam sebuah situasi yang kosong budaya.

Novel sebagai salah satu genre sastra mengalami perkembangan baik sebagai hasil sastra maupun sebagai barang dagangan. Novel seperti halnya genre prosa yang lain terbentuk oleh kehadiran watak-watak yang membentuk masyarakat. Pada dasarnya novel bermula dengan sejarah, berganti menjadi biografi, cerita masyarakat samapai kepada bentuk, dan keadaan penciptaannya yang ada sekarang ini.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afimasi jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting sebagai pengakuan terhadap suatu gejala masyarakat yang secara sosiologis tak dapat dipisahkan dari masyarakat. Apabila itu terjadi maka akan terjadi sebuah situasi budaya kosong. Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang menjadi landasannya. Dan pada akhirnya diperlukan sebuah kajian intredisipliner yang dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami sebuah karya.

Sosiologi sastra adalah sebuah telaah teoretis untuk mengkaji sastra dari sudut pandang sosial. Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan Kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.



1.2 Pengarang dan karyanya
Remy Silado dikenal sebagai seorang budayawan, pengamat, novelis dan juga wartawan asal Indonesia. Lahir di Maskasar, 15 Juli 1945, Remy menghabiskan masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo, sebelum kemudian menjadi wartawan untuk majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971) dan ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung.

Di lingkungan keluarganya, Remy Sylado biasa dipanggil Japi, singkatan dari nama panjangnya Jubal Anak Perang Imanuel. Ia dikenal sebagai Remy Sylado alias 23761. Konon, nama ini dibuat berdasarkan pengalamannya pada tanggal 23 bulan 7 tahun 1961, pertama kali ia mencium seorang wanita. Nama ini kemudian dipakai pula untuk kelompok teater yang ia bentuk di Bandung, Dapur Teater 23761.

Japi bungsu di antara empat bersaudara. Putra Evangelis Johannes H. Tambajong ini masih di SD Karangasem, Semarang, ketika mulai bermain drama. Meski gemar menekuni buku bacaan, Japi bukan anak yang patuh bersekolah. Di SD, ia sering membolos dan bersama kawan- kawannya pergi ke pantai, berenang dan menangkap ikan. Dalam usianya yang masih dini itu, persisnya sejak kelas V SD, ia sudah mencoba membaca buku teologia. Pelajaran sejarah sangat ia sukai, dan hampir semua tokoh sejarah ia kagumi.

Di Jakarta awal 1980-an, Japi membentuk grup drama Padepokan Teater, yang sebagian anggotanya adalah mantan Bengkel Teater Rendra. Bagi Japi, Teater hanya upaya untuk bisa berpikir kritis dan rasional. Penghasilannya dari teater dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan para anggotanya yang bermarkas di rumah Japi, sebuah rumah panggung gaya Manado, di kapling PLN Cipinang Muara, Jakarta Timur.

Hidup Japi lebih banyak bergantung pada musik. Lagu-lagu karyanya, yang bercorak folk rock, country, dan dixie, memang berbeda dengan musik pop Indonesia umumnya. Sampai awal 1985, Japi sudah menghasilkan 13 volume kaset. Tidak semua lagu ia nyanyikan sendiri, beberapa di antaranya dibawakan oleh penyanyi lain.

Japi juga dikenal sebagai wartawan dan penulis. Ia telah menciptakan 50-an novel, 20 di antaranya novel anak-anak, dan 30-an naskah drama. Kecuali itu, ia menulis buku Dasar-Dasar Dramaturgi (penerbit Prima, Bandung), Mengenal Teater Anak (Pondok Pers, Jakarta), Menuju Apresiasi Musik (Angkasa, Bandung), dan Sosiologi Musik Indonesia (Pustaka Indah). Tulisan Japi banyak dimuat di berbagai media massa. Ia menikah dengan seorang wanita yang namanya ia rahasiakan, 1 April 1976.

Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi mbeling. Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, drama, dan tahu banyak soal film.

Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.

Karya Novel antara lain Gali Lobang Gila Lobang (1977),Kita Hidup Hanya Sekali (1977),Orexas, dasar-dasar Dramaturgi (studi/kajian 1981), Cau-Bau Kan (1999),Kerygma (Kumpulan Sajak 1999), Kembang Jepun (2000),Paris Van Java (novel 2003). Karya Seni Akting :Catatan-catatan Dasar Seni kreatif Seorang Aktor 9studi /kajian, 2000),Siau Ling (drama 2001), Kerudung Merah Kirmizi (2002).

Penghargaan :Novel Kerudung Merah Kirmizi memenangkan Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2001-2002. Filmografi :Pelarian (1973),Dua Kribo (1977),Mawar Cinta Berduri Duka (1981),Tinggal Sesaat Lagi (1986),Akibat Kanker Payudara (1987),Dua Dari Tiga Laki-Laki (1989),Blok M (1990),taksi (1990),Gadis Metropolis (1992), Sinetron : Siti Nurbaya (1994), Mahkota Majapahit (1994), Bunga Sutra 1997.

Karya dari Remy Sylado yang penulis kaji adalah Novel Kembang Jepun cetakan pertama, januari 2003 diterbitkan oleh PT.Gramedia Pustaka Utama. Ukuran 21 cm x 14, 5 cm tebal 319 halaman.

1.3 Sinopsis
Novel ini menceritakan liku-liku hidup seorang geisha bernama Keke. Keke bukanlah seorang warga jepang atau keturunan jepang. Ia adalah seorang gadis yang berasal dari Minahasa. Ia pertama kali menjadi geisha pertama kali karena diajak oleh kakaknya menuju Batavia untuk disekolahkan, akan tetapi itu hanya bohong belaka. Ia dibawa menuju Surabaya untuk dipekerjakan di Shinju, sebuah restoran dan tempat prostitusi terselubung yang dimiliki oleh Kotaro Takamura. Kakak dari Keke memberikan Keke kepada Kotaro Takamura setelah Jantje—kakak Keke—dijanjikan sejumlah uang apabila dapat membawa gadis-gadis remaja untuk dijadikan geisha. Akan tetapi malangnya, justru adiknyalah yang kotaro paling sukai.
Di Shinju, Keke diubah namanya menjadi keiko. Hal tersebut dilakukan Kotaro Takamura agar sifat suku asli Keke berubah menjadi sifat seorang jepang yang kotaro anggap adalah kaum terhebat di dunia. Di Shinju, ia dididik sejak usia 9 tahun oleh Yoko, seorang geisha paling senior di Shinju. Ia dididik bersama sahabat karibnya di Minahasa yaitu Ginsawaulon.
Di Shinju, tak selamanya profesi sebagai geisha itu membahagiakannya—meskipun pada awalnya Keke/keiko merasa bangga menjadi geisha. Di Shinju, ia kerap menemui berbagai kemalangan. Kemalangannya pertama adalah ketika ia bertemu dengan Hiroshi Masakuni. Pada awalnya ia hanya seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian antropologi, akan tetapi setelah belanda jatuh ke tangan jepang Hiroshi diangkat menjadi seorang petinggi militer jepang. Ia kemudian menculik keiko lalu membawanya ke jepang. Padahal ketika itu ia(Keke) masih berstatus sebagai istri dari Tjak Broto, seorang wartawan harian tjahaja soerabaia. Keke sangat mencintai Tjak Broto karena Tjak Broto telah mengajarkan Keke bagaimana cinta sebenar-benarnya.
Naasnya, kepergian Keke ke jepang—diculik oleh Hiroshi Masakuni—tidak diketahui oleh Tjak Broto. Tjak Broto menganggap bahwa Keke telah mati dan akhirnya memilih untuk menikah kepada seorang gadis asal kota Bandung. Padahal beberapa bulan setelah itu, Keke berhasil melarikan diri dari jepang berkat bantuan Yoko yang ketika itu telah menetap di jepang. Keke kemudian mencari Tjak Broto ke Blitar—tempat eyang Tjak Broto tinggal—akan tetapi tak menghasilkan sesuatu yang ia cari. Jawaban yang ia dapatkan dari nenek Tjak Broto adalah jawaban yang memilukan.
Akhirnya Keke memilih kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan jasa pelaut asal makasar. Akan tetapi karena alasan keamanan yaitu pemberontakan PERMESTA, Keke diantar hanya ke manado. Sesampainya di manado, ia malah diculik lalu diperkosa oleh kawanan pemberontak PERMESTA yaitu otto walilangit, Henk Tambanawas, dan prajuritnya.
Setelah sekian lama, ia berhasil melarikan diri dari komplotan tersebut Keke ditolong seorang nenek tua dan tinggal di kediaman nenek itu. Tak terasa waktu telah berjalan 20 tahun. Keke menganggap ia tak akan bertemu lagi bersama Tjak Broto cinta sejatinya sebelum datang sorang wartawan bernama Ismail Roeslan. Ia adalah anak dari Rahayu adik Tjak Broto. Pada awalnya ia tidak mengetahui bahwa Keke itu masih ada hubungan dengan keluarganya. Ia mengetahui keadaan itu setelah berita mengenai Keke ia kirim ke Jakarta dan dibaca oleh Tjak Broto. Tjak Broto yang setelah sekian lama merindukan Keke akhirnya dapat bertemu lagi. Pertemuan kembali mereka terjadi di sebuah rumah sakit. Setelah itu merekapun hidup bahagia sampai berakhir usia mereka—milenium ketiga.



BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Sosiologi sastra
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Wellek dan Warren membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut:

Literature is a social institution, using as its medium language, a social
creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society.
But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large
measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or
subjective world of the individual have also been objects of literary
‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific
social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he
addresses an audience, however hypothetical. (1956:94)

Berdasarkan hal tersebut, Wellek dan Warren (1993: 111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu:

a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.

b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;

c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Damono, 1979: 3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni:

a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.

Umar Junus (1986 : 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:

1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya;

2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra;

3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya;

4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.

5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan

6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981:178).

Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.

Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987: 127).

Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mem- pengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film; novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:35). Lebih lanjut Zerraffa (ibid) mengatakan bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.

Senada dengan pernyataan diatas, Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2003:3).

Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain — yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial— kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.

Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.


Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan Kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.

2.2 Postkolonial
Pasca-kolonial lebih dikenal dengan istilah postkolonial. Secara etimologios postkolonial berasal dari kata “post” dan kolonial, sedangkan kata kolonial sendiri berasal dari dari kata colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi secara etimologis, kolonial tidak mengandung makna penjajahan, penguasaan, pendudukan dan berbagai konotasi eksploitasi lainnya (Ratna, 2007 : 205). Pengertian kolonial kemudian menyempit karena terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi dengan pendatang. Masyarakat pendatang diidentifikasi memiliki kekuasaan yang lebih dominan daripada pribumi. Kondisi ini terus berlanjut, hingga pada akhirnya muncul pemahaman baru terhadap kondisi tersebut.

Teori pasca-kolonial dalam konsep humaniora merupakan tulisan yang membahas pengaruh kekuasaan politik dan kebudayaan kolonial terhadap bangsa terjajah sampai masa kemerdekaan bangsa tersebut (Faruk, 2007:5). Dalam ranah kesastraan, karya sastra pasca-kolonial adalah tulisan yang memuat jejak-jejak sejarah kolonialisme dan efeknya dalam pembentukan kebudayaan dan kondisi psikologis masyarakat terjajah. Dengan demikian, hubungan yang menggunakan pendekatan pasca-kolonial dengan karya sastra adalah hubungan pengungkapan jejak kolonial dalam hal konfrontasi ras, bangsa, dan kebudayaan karena adanya kekuasaan. Konfrontasi itu membentuk suatu pengalaman yang signifikan dalam masyarakat terjajah melalui efek-efek yang ditimbulkan (Day and Foulcher, 2002: 2).


Munculnya teori baru tentunya dikarenakan ketidak puasan dengan model teori terdahulu. Demikian halnya dengan teori pasca-kolonial, ketidak berdayaan teori eropa sentris dan teori universal mengenai bahasa dan ilmu pengetahuan yang lain dalam mengaji keberagaman tradisi kebudayaan pscakolonial adalah penyebabnya. Ciri inilah yang didekontruksi melalui teori baru sebagai antitesis sehingga kebudayaan lokal tidak terserap kembali ke paragidma universal yang baru (Ashcroft, 2003:238).

Sama dengan pascatrukturalisme, ciri khas pasca-kolonialisme adalah dekonstruksi terhadap subyek tunggal, narasi besar, kebenaran absolut dan citra yang dominan. Kadang dalam analisis terjadi tumpang tindih dengan postrukturalisme. Meskipun demikian sesuai dengan objeknya, ciri khas pasca-kolonial adalah berbagai pembicaraan yang tekait dengan orientalisme karena narasi terbesar pasca-kolonial adalah orientalisme. Teori adalah konsep yang diperoleh melalui seleksi dan akumulasi pengetahunan sepanjang sejarahnya sehingga mampu memecahkan masalah pada zamannya.

Teori pasca-kolonial dibangun atas dasar peristiwa sejarah, pengalaman terjajah selama berabad-abad. Teori pasca-kolonial memiliki arti penting karena dianggap mampu mengungkap masalah-masalah yang tersembunyi dibalik kenyataan yang pernah terjadi. Kondisi itupun terjadi di Indonesia karena Indonesia pernah merasakan masa kolonialisme.

Banyak pertimbangan yang mendasarinya, antara lain : pertama, secara definitif, pasca-kolonial akan menganalisis era kolonial. Pasca-kolonial sesuai dengan persoalan yang dihadapi bangsa indonesia setelah melalui penjajahan yang berabad-abad. Jadi, banyak masalah yang harus dipecahkan. Kedua, pasca-kolonialisme berkaitan erat dengan nasionalisme. Teori pasca-kolonial dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar dapat mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan golongan dan pribadi. Ketiga, sebagai teori baru, bahkan sebagai varian pascastrukturalisme, pasca-kolonialisme menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar. Keempat, pasca-kolonialisme membangun kesadaran bahwa penjajahan tidak hanya berbentuk fisik melainkan mental yang masih terus berkelanjutan. Kelima, pasca-kolonialisme bukan semata-mata teori melainkan kesadaran bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme dan berbagai bentuk hegemoni yang lain baik material atau mental.

Penjajahan bukanlah usaha yang dilakukan secara kebetulan, kolonialisasi dilakukan secara terencana dengan mekanisme yang kompleks, melibatkan berbagai kepentingan meliputi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Kolonialisme adalah sistem kekuasaan yang sudah berkembang beraabad-abad. Usianya, semangatnya, ideologinya bahkan lebih tua dibandingkan dengan dimulainya penjajahan.

Orientalisme dalam pengertian yang lebih luas, sudah menjadi ideologi bagi barat. Dalam paradigma tersebut, ideologi, diinvestasikan dalam cara pandang barat, dengan mendegradasikan bahkan menguburkan identitas ketimuran. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, sehingga analisis paskakolonial memunculkan peranan (Ratna, 2008:108).

Subjek yang selalu tertindas dalam transformasi ideologi adalah masyarakat kecil atau subaltern. Kondisi tersebut relatif sama ketika masa pasca kemerdekaan. Hanya saja subyek penindasnya berbeda. Jika sebelum kemerdekaan penjajah yang melakukannya, pasca kemerdekaan elit pribumilah yang melakukan praktik tersebut. Kondisi tersebut merupakan efek dari masa kolonialisme yang masih menghegemoni mental kaum subaltern.

Gramsci menegaskan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus daripada penindasan terhadap kelas sosial lainnya (Patria dan Arief, 2003:120). Berbagai cara dipakai untuk terus melakukan hegemoni, semisal dengan melalui institusi yang ada dalam masyarakat, sehingga menentukan secara langsung struktur kognitif dalam masyarakat. Oleh karena itu, hegemoni pada hakikatnya upaya untuk menggiring orang agar memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan

2.3 Geisha
Geisha adalah seniman tradisional Jepang. Kata geiko digunakan di Kyoto untuk mengacu kepada individu tersebut. Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak. Geisha belajar banyak bentuk seni dalam hidup mereka, tidak hanya untuk menghibur pelanggan tetapi juga untuk kehidupan mereka. Rumah-rumah geisha membawa gadis-gadis yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak, geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko) selama masa pelatihan.

Bertentangan dengan kepercayaan populer barat, seorang Geisha bukan pelacur. Walaupun ia bekerja sebagai profesional hostess di sebuah kafe yang disebut O-Chaya, jenis pekerjaan dia sebenarnya tidak memiliki sedikit untuk melakukan hubungan seks dengan pelacuran atau.

Schooled dalam seni dan berpendidikan tinggi sebagai bagian dari pelatihan, Geisha yang memiliki keahlian dalam seni rupa dari Jepang kuno tari, bernyanyi, bermain alat-alat musik, melakukan rangkaian bunga, memakai kimono, mengadakan upacara minum teh, kaligrafi, terlibat dalam percakapan formal , etika, tata krama melayani alkohol dan banyak lagi. Bakat ini, yang terus berkembang dan perfecting seluruh dia karirnya sebagai Geisha, ada yang dia tertentu di gelar kehormatan dari masyarakat tradisional Jepang. Sebenarnya, istilah Geisha di Jepang berarti "artis". Dengan demikian ia lebih dianggap sebagai artis dan dramawan, dari hal yang lain dan wanita cenderung untuk melihat ke dia untuk selalu mode dan halus hal-hal lainnya.


Konotasi negatif yang mungkin telah Geisha stemmed dari kenyataan bahwa, lebih sering, kemampuan dan layanan yang profesional sebagai Geisha hostess dan penari / pelaku yang diminta oleh laki-laki sangat ditempatkan pelanggan yang pergi ke teahouses untuk menghibur tamu mereka sendiri dan akan dihibur . Perlu diketahui, bahwa tidak ada hanya dapat menyewa layanan dari Geisha sebagai O-Chaya hanya memberikan hak istimewa ini tersedia untuk pelanggan yang telah rutin dipelihara hubungan baik dengan kafe. Memberikan seks ke pelanggan biasa bukan bagian dari tugas dan Geisha's walaupun terdapat kasus ketika sebuah pelindung dapat mengembangkan suatu hubungan dengan Geisha dan bahkan sampai akhir memiliki seks dengan dia, ini bukan sesuatu yang menuntut dia sebagai bagian dari pekerjaan pribadi tetapi ia telah membuat pilihan untuk berhati-hati hanya satu pelanggan dan menikmati hak hadir. Dalam hal ini, pelanggan menjadi pelindung dia.


















BAB III
ANALISIS SINTAKSIS, SEMANTIK, DAN PRAGMATIK


3.1 Analisis Sintaksis
Alur dan pengaluran merupakan salah satu unsur yang mendukung terbentuknya sebuah cerita. Plot atau alur cerita merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara unsur fiksi lain (Nurgiyantoro,2002: 10). zaimar (1991: 32), menjelaskan bahwa:

pengaluran adalah pemilihan dan pengaturan peristiwa pembentuk cerita tersebut.

Cerita diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan peristiwa tanpa terikat pada urutan waktu. Analisi struktur cerita bertujuan mendapatkan susunan teks.

Dari beberapa pendapat para ahli mengenai alur, dapat disimpulkan bahwa alur merupakan peristiwa secara kausalitas atau temporal yang tersusun secara logis dan utuh, di dalamnya terdapat konflik dan masih dapat diselesaikan.

3.1.1 Struktur pengaluran (sekuen)
1. novel ini diawali dengan deskripsi tokoh Keke yang senang menjalani pekerjaan geisha karena sejak umur 9 tahun ia telah dibina.
2. Deskripsi tokoh Kotaro Takamura yang membuka usaha Shinju yang disebabkan oleh keengganan Kotaro Takamura tinggal lagi di negaranya karena perubahan sisitem politik di negaranya.
3. Ingatan Kotaro Takamura tentang ibunya yang menjadi babu yang bodoh dan selalu berjalan di belakang ayahnya
4. peristiwa peresmian Shinju yang dihadiri oleh walikota Surabaya.
5. Deskripsi tokoh Yoko yaitu seorang geisha senior di Shinju.
6. Deskripsi tugas geisha dalam mengerjakan tugasnya dengan cara pelayanan, kepasrahan, dan keindahan.
7. Deskripsi tokoh Jantje dengan pengalaman-pengalaman buruknya yang telah membuatnya ternahak
8. dialog antara Jantje dan Kotaro Takamura di Shinju tentang perbaikan Shinju
9. ingatan Keke ketika umur 8 tahun sebagai anak kecil dia amat senang dan bangga mempunyai kakak bekas mersose
10. dialog Jantje dan Kotaro Takamura tentang transasksi gadis asal kampung Jantje untuk dijadikan geisha
11. sikap percaya orang-orang kampung asal Jantje untuk membawa anak-anak gadis mereka untuk di sekolahkan di batavia
12. peristiwa perjalanan gadis-gadis asal kampung Jantje menuju Surabaya yang kelak akan dijadikan geisha di Shinju
13. deskripsi tokoh Yoko yang menjadi guru bagi gadis-gadis asal Minahasa termasuk Keke agar memahami seluk beluk dan bagaimana tugas-tugas geisha
14. peristiwa pemberian nama jepang kepada Keke oleh Kotaro Takamura. Nama Keke diubah menjadi keiko. Dan semenjak itu Keke atau keiko jadi orang jepang
15. deskripsi tokoh Keke yang mahir berbahasa jepang dan menguasai alat musik shamisen tiga dawai
16. deskripsi tokoh Hiroshi Masakuni yang datang ke Shinju bertemu dengan Keke
17. tindakan Kotaro Takamura yang memberi hukuman kepada Keke karena melanggar aturan yang berlaku di Shinju
18. deskripsi tokoh Keke yang kini telah berusia 14 tahun dan dia harus mau diperawani terlebih dahulu oleh Kotaro Takamura sebelum menjadi geisha sebenarnya
19. deskripsi tokoh Tjoa tjie liang sebagai pemimpin redaksi koran tjahaja soerabaja
20. deskripsi tokoh joesoep soebroto goenawarman andangwidjaja kesawsidi (Tjak Broto) seorang wartawan yang sehat, berbakat, cekatan, periang, berani, dan fasih berbagai bahasa dan ia adalah lulusan MULO
21. peristiwa bertemunya Keke dan Tjak Broto di Shinju
22. perasaan kecewa yang dialami oleh Keke ketika menjawab pertanyaan Tjak Broto mengenai asal usulnya sebagai orang Minahasa bukan orang jepang asli
23. perasaan marah Yoko kepada Keke dengan cara menyiksa Keke
24. perasaan rindu dan dendam yang dialami Kekek dalam kehidupan geisha
25. perasaan Keke yang makin berkembang karena kini Yoko menganggap dia sebagai saingan
26. perasaan iba Kotaro Takamura pada Keke karena takut dia mati dan akan kehilangan Keke yang pandai dan berbakat itu
27. dialog Tjak Broto dan Kotaro Takamura mengenai peranan surat kabar
28. perasaan takut Kotaro Takamura kepada Tjak Broto karena takut rahasianya akan terbongkar
29. tindakan berlebihan Kotaro Takamura kepada Tjak Broto
30. tindakan Yoko yang selalu mengamati gerak-gerik Keke
31. peristiwa bertemunya kembali Keke dan Tjak Broto di Shinju
32. deskripsi keluarga Tjak Broto
33. perasaan tidak siap Tjak Broto ketika selalu disuruh menikah oleh ibunya
34. deskripsi tokoh Paimin
35. tindakan Paimin yang memberikan informasi kepada Tjak Broto mengenai data-data otentik arsip hindia belanda
36. peristiwa ditangkapnya Tjak Broto oleh polisi rahasia belanda karena isi tulisannya
37. perasaan bingung Tjak Broto tentang pembredelan koran dan ditangkapnya Tjoa tjie liang
38. deskripsi tokoh Rahajoe, adik Tjak Broto yang menjadi anggota pramuka anti belanda
39. peristiwa kelak dijodohkannya Tjak Broto oleh ibunya akan tetapi Tjak Broto menolak
40. perasaan Tjak Broto yang selalu berganti-ganti membuat ia selalu pergi ke Shinju untuk menenangkan pikiran juga untuk mencari kemesraan
41. tindakan Tjak Broto yang membenarkan bahwa wanita juga harus bisa berbicara dan bicaranya harus didengar. Jangan hanya dinikmati badannya saja
42. peristiwa pemberian kalung pada Keke.liontin yang terkalung di kalunganya adalah berbentuk semar, tokoh punakawan yang dibentuk melalui huruf-huruf arab akan tetapi berbahasa jawa
43. peristiwa pengadilan terhadap Tjak Broto
44. peristiwa hadirnya keluarga Tjak Broto, Tjoa tjie liang, dan Keke di persidangan
45. ingatan Keke tentang gambaran pengadilan yang membingungkan
46. peristiwa sidang berlanjut dengan pertanyaan yang bertele-tele dan berputar-putar, padahal persolan yang ditanyakan sudah terjawab
47. keputusan pengadilan yang memberikan hukuman kurungan kepada tjak brot
48. perasaan Tjak Broto ketika ia ditahan di kalisosok tempat kurungannya dan ternyata ia biasa saja
49. perasaan iba Keke kepada Tjak Broto karena Tjak Broto tak hanya mementingkan kepentingannya
50. deskripsi tokoh Roeslan yang kelak menjadi penting dalam kehidupan keluarga Tjak Broto
51. bayangan Tjak Broto dibenak Keke yang awalnya hanya birahi tapi kini telah berubah menjadi kasih sayang
52. perasaan terkejut Tjak Broto ketika Keke datang menjenguknya
53. perasaan Keke yang hatinya seakan sebuah kebun yang didalamnya bunga-bunga tengah berkembang karena perasaan kangen, semangat baru, dan akhirnya mereka berpelukan
54. ingatan Keke tentang beberapa laki-laki yang pernah melintas di hidupnya
55. bayangan Hiroshi Masakuni mebuat Keke merasa di dera goncangan batin
56. peristiwa bertemunya Keke dan Kotaro Takamura
57. ingatan kotaro takmura tentang jika keiko celaka maka usaha Shinju akan hancur
58. perasaan curiga Yoko kepada Keke dengan tuduhan mencuri barang pelanggannya
59. tindakan Kotaro Takamura yang menampar Keke dan Yoko agar mereka tak berkelahi lagi
60. peristiwa pertikaian Jantje dengan Kotaro Takamura yang membuat Jantje kalah dan akhirnya dibuang ke laut oleh hokan
61. tindakan Keke yang membela dirinya lalu berbalik menyiksa Yoko akhirnya berakhir dengan persahabatan yang tulus diantara keduanya
62. dialog Tjak Broto dan Keke mengenai pernikahan mereka
63. dialog Keke dan Yoko mengenai pernikahan dalam kehidupan geisha
64. perasaan Keke tentang cinta
65. perasaan pikiran Keke tentang kesungguhan menerima cinta sebagai penyatuan jiwa
66. tindakan Keke yang tidak akan memberikan sembarangan raganya kepada sembarang laki-laki
67. perasaan Keke menjadi heran tentang hubungannya dengan Tjak Broto
68. dialog antara Yoko dengan Keke tntang bagaimana caranya kabur dari Shinju untuk menikah dengan Tjak Broto
69. deskripsi tokoh Mbah Soelis, ibu dari ayah almarhum Tjak Broto
70. peristiwa bebasnya Tjak Broto dari kali sosok dan langsung menemui Keke di jembatan merah
71. peristiwa berpisahnya Yoko denga Yoko dan ginsa di Shinju
72. peristiwa perjalanan Keke dan Tjak Broto menuju gubeng
73. ingatan Tjak Broto tentang masa lalunya memelihara angsa dan bebek
74. peristiwa perkenalan Keke dengan keluarga Tjak Broto
75. tindakan Mbah Soelis pada Tjak Broto dan Keke untuk tinggal di Blitar
76. Keke menyesal karena Tjak Broto harus bertengkar dengan ibunya karena dirinya
77. peristiwa perginya Keke dan Tjak Broto menuju Blitar
78. peristiwa tinggalnya Keke dan Tjak Broto beberapa hari di rumah Tjoa tjie liang
79. deskripsi tokoh tjak entin (soepartinah) yang menolong Keke dan Tjak Broto
80. peristiwa gegernya Shinju karena keiko menghilang dan sia-sianya hasil pencarian Keke oleh Kotaro Takamura
81. deskripsi tokoh Tante Mar ia masih perawan dan usianya telah 40 tahun
82. peristiwa pernikahan antara Keke dan Tjak Broto yang diatur oleh Mbah Soelis
83. peristiwa kembalinya Keke dan Tjak Broto ke Surabaya untuk bekerja pada pekerjaan yang sama dan Keke diam dirumah untuk mengurus keluarga
84. peristiwa pemboman pearl harbour oleh militer jepang terhadap pangkalan udara amerika
85. peristiwa ditutupnya segala usaha yang berhubungan dengan jepang termasuk Shinju. Yoko dimasukkan ke mobil untuk dipulangkan ke jepang sedangkan Kotaro Takamura melarikan diri ke ruang bawah tanah
86. tindakan Tjak Broto yang mengikuti Jantje menuju Shinju untuk bertemu dengan Kotaro Takamura dan akhirnya kotaro mati ditembak Jantje
87. tindakan Tjak Broto menceritakan kematian kotaro kepada Keke
88. peristiwa mulai diserangnya Surabaya oleh tentara jepang pada 3 februari 1942
89. bayangan Keke bahwa keadaan seperti ini 10 kali lebih buruk daripada zaman maleise
90. perasaan prihatin Keke pada kehidupannya dengan Tjak Broto
91. ingatan Keke ketika masih jadi shikomi yaitu genduk calon geisha
92. ingatan Keke waktu kecil di Minahasa. Dia pertama kenal tuhan dari sekolah minggu yang diadakan di gereja
93. ingatan Keke ketika menikah dengan Tjak Broto ia mengucapkan kalimat syahadat dan sebagai istri yang baik ia harus meneguhkan hatinya untuk berkeyakinan sama dengan suaminya
94. ingatan Keke bahwa dalam keadaan susah pun antara Tjak Broto dan Keke tidak kehilangan rasa humor
95. tindakan Tjak Broto dan Keke untuk tinggal di Blitar bersama Mbah Soelis
96. perasaan Mbah Soelis tentang arti menghargai tanah bahwa kelak kita tak akan kelaparan
97. peristiwa terpenuhinya segala kebutuhan mereka ketika tinggal di Blitar
98. deskripsi tokoh kobayashi seorang petugas yang bertugas untuk mengambil hasil bumi secara paksa
99. perasaan curiga kobayashi pada Tjak Broto tentang kurangnya setoran hasil bumi
100. ingatan Keke tentang kenangan indah bersama Tjak Broto mengantar hasil bumi ke pasar untuk dijual
101. perasaan Mbah Soelis pada Keke untuk segera punya momongan
102. tertangkapnya Paimin memberikan bencana bagi Tjak Broto
103. peristiwa pemberontakan peta terhadap jepang tanggal 14 februari 1945, sehingga terjadi pemeriksaan terhadap Paimin yang menyebutkan bahwa Tjak Broto adalah salah satu tokoh inteklektualnya lalu kemudian ia diperiksa
104. perasaan cemas Keke pada Tjak Broto tentangpesan yang tidak seperti biasanya
105. tindakan Keke ke markas jepang untuk mengetahui keadaan Tjak Broto yang tidak pulang semalam akan tetapi sebelum itu ia malah diperkosa oleh kobayashi
106. tindakan Keke dan Tjak Broto yang membuat kobayashi mati
107. peristiwa bebasnya Tjak Broto adaditangan Keke dengan datangnya dia ke Surabaya menuju markas kempetai di depan kantor gubernur (kini hancur dan telah dibangun tugu nasional Surabaya) ternyata komandannya adalah Hiroshi Masakuni
108. peristiwa berpisahnya Keke dengan Tjak Broto karena sebagai syarat untuk membebaskan Tjak Broto Keke harus mau ikut dengan Hiroshi Masakuni
109. peristiwa bebasnya Tjak Broto tanpa Keke dan ia bertekad untuk mencarinya k Surabaya
110. tindakan ibu Tjak Broto yang bertanya kepada Tjak Broto perihal Keke kepada Tjak Broto tapi sia-sia karena Keke menghilang, lalu ia menangis sambil memeluk ibunya
111. peristiwa pencarian Tjak Broto terhadap Keke akan tetapi di tengah perjalanan ia bertemu dengan rombongan ludruk
112. deskripsi rombongan ludruk
113. tindakan Tjak Broto untuk ikut rombongan ludruk sembari mencari Keke
114. peristiwa pernikahan antara Rahajoe dan Roeslan dilangsungkan dengan sederhana
115. peristiwa bertemunya kembali Tjak Broto dengan Tjoa tjie liang di pernikahan adiknya
116. peristiwa bertemunya Hiroshi Masakuni dengan Tjak Broto di markas kempetai
117. perasaan Keke pada Tjak Broto tentang cinta yang tulus
118. peristiwa kekalahan jepang oleh amerika serikat tanggal 6 agustus dengan dibomnya kota hiroshima dan pada tanggal 9 agustus 1945 giliran nagasaki yang di bom
119. perasaan Tjak Broto yang tidak menemukan istrinya
120. deskripsi tokoh ibu Hiroshi Masakuni
121. perasaan kagum Keke terhadap jepang yang sangat indah
122. peristiwa Keke di jepang yang terpisah dari Tjak Broto dan tinggal bersama ibu Hiroshi Masakuni di kishiwada
123. tindakan Keke menulis surat pada Tjak Broto akan tetapi diketahui oleh Hiroshi Masakuni, kemudian ia disiksa
124. perasaan tersiksa Keke karena hidup bersama Hiroshi Masakuni
125. peristiwa bertemunya Keke dengan Yoko di jepang
126. peristiwa matinya Hiroshi Masakuni di korea selatan membuat ibu hiroshi dan Keke bertengkar
127. tindakan Keke untuk pulang ke indonesia
128. tindakan Yoko yang membantu Keke untuk kembali ke indonesia
129. peristiwa berpisahnya Yoko dan Keke
130. peristiwa bertemunya Keke dan Mbah Soelis di Blitar dan menerima kabar bahwa Tjak Broto kini telah menikah dengan wanita sunda karena menganggap bahwa Keke sudah mati
131. peristiwa kepergian Keke dari Blitar untuk kembali ke kampung halamannya
132. deskripsi tokoh suami istri daeng patunrung, pelaut yang akan membawa Keke pulang ke kampung halamannya
133. deskripsi tentara permesta (Max Kondong, Henk Tambanawas, dan otto walilangit) yang menganggap Keke sebagai mata-mata pusat lalu kemudian memperkosa Keke secara bergantian
134. peristiwa Keke yang dijadikan hiburan setiap hari oleh tentara permesta
135. peristiwa baku senjata di bivak yang membuat tokoh-tokoh permesta mati kecuali otto walilangit dan Henk Tambanawas
136. peristiwa Keke tinggal di hutan dan bercocok tanam untuk hidupnya
137. peristiwa peringatan hari pahlawan perjuangan rakyat Surabaya melawan tentara jepang dan belanda (yang bekerja sama dengan inggris)
138. deskripsi tokoh Roeslan yang resmi menjadi militer
139. tindakan Mbah Soelis yang menceritakan kedatangan Keke dan semuanya terkejut
140. deskripsi tokoh kurniasih, istri Tjak Broto asal tanah sunda
141. tindakan Tante Mar yang menyinggung kurniasih tentang sikap Keke yang baik
142. perasaan tersinggung kurniasih terhadap celaan yang Tante Mar alamatkan kepadanya
143. peristiwa kehidupan Keke selama 25 tahun di sebuah lereng di daerah bolaang mongondow yang merupakan hutan belukar, terasing, dan sebatang kara
144. peristiwa meninggalnya kurniasih karena kanker payudara
145. peristiwa terjadinya G 30 S/PKI yang menyebabkan rezim orde baru naik tahta
146. deskripsi tokoh Ismail Roeslan, anak pertama dari Rahajoe dan Roeslan. Usianya kini telah 27 tahun dan ia menetap di manado karena istrinya asli manado. Ia bekerja sebagai seorang wartawan koran protestan di jakarta
147. peristiwa terungkapnya kasus Keke oleh Ismail Roeslan dengan mengorek informasi dari Henk Tambanawas dan otto walilangit
148. ingatan Keke akan perkataan Tjak Broto
149. peristiwa Roeslan dan istrinya yang pergi ke bolaang mongndow untuk membawa Keke tua ke manado
150. tindakan Ismail Roeslan yang mengirim berita dan foto Keke tua ke jakarta termasuk Surabaya dengan judul “Keke bertahan hidup 25 tahun di tengah hutan karena kalung kekasihnya”
151. peristiwa bertemunya kembali Keke dengan Tjak Broto di rumah sakit dengan air mata keharuan, kebanggan, dan kesukacitaan
152. peristiwa Tjak Broto dan Keke tetap hidup hingga milenium ketiga secara bersama-sama






3.1.2 Struktur alur (fungsi utama)
1. deskripsi tokoh Keke
2. deskripsi tokoh Kotaro Takamura
3. ingatan Kotaro Takamura tentang masa kecilnya
4. peresmian Shinju
5. deskripsi tokoh Yoko
6. deskripsi tugas geisha
7. deskripsi tokoh Jantje
8. bayangan Keke tentang masa lalunya ketika berumur 8 tahun
9. dialog Jantje dan Kotaro Takamura tentang transaksi gadis asal kampung Jantje
10. peristiwa perjalanan Keke dan teman-temannya menuju Surabaya
11. deskripsi profesi Yoko
12. tindakan pemberian nama jepang kepada Keke
13. deskripsi Keke yang mulai mahir berbahasa dan berbudaya jepang
14. deskripsi tokoh Hiroshi Masakuni
15. peristiwa dihukumnya Keke
16. deskripsi tokoh Keke ketika berumur 14 tahun
17. deskripsi tokoh Tjoa tjie liang
18. deskripsi tokoh joesoep soebroto goenawarman andang wijaya kesa wasidi alias Tjak Broto
19. peristiwa pertemuan Keke dan Tjak Broto di Shinju
20. perasaan kecewa Keke kepada Tjak Broto
21. peristiwa marahnya Yoko kepada Keke
22. perasaan rindu dan dendam dirasakan Keke ketika berprofesi sebagai geisha
23. perasaan berkembang Keke karena Yoko menganggapnya sebagai saingan
24. perasaan iba Kotaro Takamura kepada Keke karena takut kehilangan geisha berbakatnya
25. peranan surat kabar dan perilaku Tjak Broto membuat Kotaro Takamura menemui Tjak Broto
26. tindakan awas Keke karena aktivitasnya selalu diperhatikan Yoko
27. deskripsi keluarga Tjak Broto
28. perasaan tidak siap Tjak Broto untuk menikah
29. deskripsi tokoh Paimin
30. peristiwa ditangkapnya Tjoa tjie liang akibat penerbitan tulisan nasionalis
31. perasaan bingung Tjak Broto
32. perasaan Tjak Broto yang amat resah lalu pergi ke Shinju untuk mencari ketenangan
33. tindakan Tjak Broto tentang pandangannya terhadap perempuan
34. peristiwa pemberian kalung dari Tjak Broto kepada Keke
35. peristiwa pengadilan Tjak Broto
36. tindakan keluarga Tjak Broto, Tjoa tjie liang, dan Keke yang hadir di persidangan
37. peristiwa di ruang sidang
38. ingatan Keke tentang membingungkannya suasana sidang
39. peristiwa lanjutan sidang dan Tjak Broto disuguhi pertanyaan yang bertele-tele
40. keputusan sidang yang menyatakan Tjak Broto bersalah
41. perasaan biasa saja Tjak Broto ketika ditahan
42. perasaan kasihan Keke kepada Tjak Broto
43. deskripsi tokoh Roeslan
44. bayangan Tjak Broto di benak Keke
45. perasaan terkejut Tjak Broto karena Keke menjenguknya
46. perasaan Keke berbunga-bunga terhadap Tjak Broto
47. ingatan Keke tentang beberapa laki-laki yang mengisi hidupnya
48. bayangan tentang Hiroshi Masakuni yang membuat Keke merasa didera
49. tindakan Keke berhadapan dengan Kotaro Takamura
50. tindakan Kotaro Takamura kepada keiko tentang berharganya Keke bagi Shinju
51. tindakan Kotaro Takamura pada Keke dan Yoko agar tidak lagi berkelahi
52. peristiwa kembalinya Jantje ke Shinju membuat kotaro merasa takut
53. tindakan pembalasan Keke pada Yoko menghasilkan sebuah persahabatan yang tulus
54. peristiwa Keke dan Yoko yang mengalami babak baru
55. perasaan Keke tentang kesungguhannya terhadap cinta
56. tindakan Keke untuk tidak memberikan lagi tubhnya ke sembarang lelaki
57. deskripsi tokoh Mbah Soelis
58. peristiwa bebasnya Tjak Broto lalu hendak bertemu Keke di jembatan merah
59. ungatan Tjak Broto ketika di masa lalunya ia memelihara angsa dan bebek
60. peristiwa perkenalan Keke kepada keluarga Tjak Broto
61. peristiwa perginya Keke dan Tjak Broto ke Blitar
62. kedatangan Tjak Broto dan Keke ke rumah Tjoa tjie liang untuk tinggal beberapa hari disana
63. deskripsi tokoh tjak entin
64. peristiwa gegernya Shinju karena Keke kabur
65. deskripsi tokoh Tante Mar
66. peristiwa pernikahan Keke dan Tjak Broto
67. tindakan Tjak Broto dan Keke yang kembali ke Surabaya untuk bekerja
68. peristiwa pearl harbour membawa kabut hitam kepada pernikahan Tjak Broto dan Keke
69. peristiwa penutupan Shinju oleh pemerintah kolonial
70. peristiwa tidak sengajanya Tjak Broto mengintai Jantje, kotaro dibunuh Jantje
71. peristiwa diserangnya Surabaya oleh jepang
72. bayangan Keke tentang penyerbuan Surabaya yang 10 kali lebih buruk dari pada zaman maleise
73. ingatan Keke ketika masih di genduk geisha
74. ingatan Keke tentang kampungnya di Minahasa
75. ingatan Keke ketika menikah dengan Tjak Broto ketika itu ia mengucapkan sahadat
76. keadaan Tjak Broto yang tidak kehilangan ungkapan humornya meskipun sedang tertekan
77. deskripsi tokoh kobayashi
78. peristiwa pemberontakan peta yang akhirnya menarik Tjak Broto sebagai salah satu penggeraknya
79. perasaan cemas Keke karena Tjak Broto tidak [ulang
80. peristiwa kedatangan Keke dan Tante Mar ke markas tentara jepang, Keke diperkosa
81. peristiwa kebebasan Tjak Broto ditentukan kedatangan Keke kepada Hiroshi Masakuni
82. peristiwa berpisahnya Keke dan Tjak Broto
83. peristiwa bebasnya Tjak Broto
84. deskripsi rombongan ludruk
85. peristiwa pernikahan Rahayu dan Roeslan
86. peristiwa pertemuan Hiroshi Masakuni dan Tjak Broto
87. peristiwa kalahnya jepang pada sekutu
88. Keke dibuang ke jepang dan tinggal bersama ibu hiroshi di kishiwada
89. deskripsi tokoh ibu Hiroshi Masakuni
90. peristiwa bertemunya kembali Keke dan Yoko di jepang
91. peristiwa matinya hiroshi membuat Keke dan ibu hiroshi bertengkar
92. tindakan Yoko yang membantu Keke untuk kembali ke indonesia
93. peristiwa berpisahnya Keke dan Yoko
94. peristiwa peretemuan kembali Keke dengan Mbah Soelis di Blitar
95. deskripsi tokoh suami istri daeng patunrung dan istrinya
96. deskripsi tentara permesta
97. peristiwa baku tembak antara permesta dan pro nasionali mengakibatkan dua tokoh permesta mati
98. deskripsi kehidupan Keke di hutan
99. peristiwa peringatan bebasnya Surabaya dai jepang yang diadakan oleh inggris
100. tindakan Mbah Soelis yang menceritakan kedatangan Keke kembali kepada Tjak Broto
101. deskripsi tokoh kurniasih, istri baru Tjak Broto
102. deskripsi kehidupan Keke selama 22 tahun hidup di hutan
103. deskripsi tokoh Ismail Roeslan
104. ingatan Keke akan kata-kata Tjak Broto
105. tindakan Ismail Roeslan yang menemukan Keke lalu membawanya ke manado
106. tindakan ismail roslan mengirim berita yang berjudul “Keke bertahan hidup 25 tahun di tengah hutan karena kalung kekasihnya”
107. peristiwa bertemunya kembali Keke dan Tjak Broto di rumah sakit dengan penuh haru. Kini mereka hidup bersama lagi hingga milenium ketiga.




















3.2 Analisis Semantik
3.2.1 Penokohan
Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones (dalam nurgiyantoro, 2002: 165) berpendapat bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Sementara itu, abrams (dalam nurgiyantoro, 2002 : 165) berpendapat bahwa tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kausalitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam upacara dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh-tokoh dalam novel Kembang Jepun:

1. Keke (keiko)
Tokoh utama dari novel ini adalah Keke, ini dapat dibuktikan dengan frekuensi penceritaan yang lebih banyak disamping tokoh lain. Sifat yang pertama dari tokoh Keke adalah patuh. Ini dapat kita lihat dalam kutipan:

saya menganggukan kepala, patuh seperti seorang anak pada bapaknya yang baik begitu saya merasakan Jantje lebih kena menjadi ayah karena usianya yang kacek 34 tahun itu sejauh saya berusaha menundukan taraf saya sebagai adik kepada kakak bagaimana seharusnya hubungan itu berlangsung.(sylado, 2003: 17)

Sifat yang kedua dari tokoh Keke adalah sifat yang teguh akan pendirian.

Saya tinggalkan Shinju tanpa sepengetahuan Kotaro Takamura, tanpa membawa apa-apa. Tekad saya sudah bulat menikah dengan tjuak broto. Ia berhasil mengajar saya tentang inta, rasa percaya, dan tanggung jawab terhadapntya. Inilah harinya saya akan masuki kehidupan baru tersebut. Apakah akan terjadi di depan saya, atas nama cinta, yang terbayang adalah kesenangan. Cinta memang segera memikirkan kesenangan dan tak segera memikirkan kesusahan. Selalu begitu keadaannya, sebab cinta dan kemauan menikah adalah keputusan hati. Bukan keputusan otak. .(sylado, 2003: 47)

Sifat yang ketiga adalah sifat sabar. Ini dapat kita rasakan dalam kutipan:

dengan menjinjing dua koper yang tidak terlalu kecil, maka lumrah jika keleluasaan saya terbatas. .(sylado, 2003: 48)


Dari kutipan-kutipan diatas dismpulkan bahwa sifat Keke antara lain: patuh, sabar, teguh pendirian.

2. Tjak Broto (joesoep soebroto goenawarman andang wijaya kesawasidi)

Tokoh Tjak Broto merupakan tokoh utama pendamping Keke. Beliau adalah tokoh dianggap cukup berandil besar dalam perubahan hidup Keke. Dari beberapa kutipan dibawah, kita dapat mengetahui sifat-sifat Tjak Broto.

Sang Tjak Broto baru dua bulan bekerja sebagai wartawan di harian tjahaja soerabaja. Orangnya sehat, cekatan, periang, berani, berumur 18 tahun pada dua bulan lalu dan fasih bercakap bahasa belanda dan jerman serta lumayan menguasai bahasa inggris dan prancis kendati lulusan MULO. (sylado, 2003: 10)

Dari kutipan diatas, dapat diketahui bahwa Tjak Broto adalah sosok yang cekatan, periang, berani, dan pintar.


Selain sifat-sifat tadi, sifat lain Tjak Broto adalah jujur, terbuka, penyayang, dan sabar. Ini dapat kita rasakan dalam kutipan di bawah.

Satu hal yang belum saya katakan padanya adalah kejujuran dan keterbukaan. Ia tidak bisa mudah percaya kepada orang yang baru dikenalnya, tapi ia terbuka dan tulus sehingga orang leluasa bersamanya. (sylado, 2003: 38)

“sudah”, kata Tjak Broto.”jangan nagis. Waktu kita untuk hidup sangat singkat. Mari kita hadapi masa yang singkat ini dengan tawa, cintra, dan takwa. Kita hanya berdua, dan tetap berdua. Tapi dalam berdua kita adalah satu.” (sylado, 2003: 308)

Sifat-sifat Tjak Broto antara lain: cekatan, periangt, berani, dan pintar. Selain itu juga jujur, terbuka, penyayang, dan sabar

3. Yoko

Tokoh Yoko merupakan geisha pertama di Shinju. Sifat-sifat Yoko antara lain tegas dan suka menolong.

“sebetulnya saya ingin kau tetap tinggal bersama saya. Rumah ini juga milikmu. Bukankah saya sudah bilang bahwa saya pinjam uang Kotaro Takamura di Surabaya dan saya bungakan di bank. Uang dari kotarao takamura adalah uangmu juga. Sebab Shinju mendapat untung besar ketika kau menjadi bintangnya.” (sylado, 2003: 107)


4. Kotaro Takamura

Tokoh Kotaro Takamura adalah pemilik Shinju yang berasal dari jepang. Sifat kotaro antara lain pekerja keras, tegas dan ingin menang sendiri.
Pertama, mencari untung. Kedua tak betah tinggal di negaranya karena perubahan undang-undang akibat militer berkuasa.

Setelah memberi sela sedikit untuk bernafas dan menimbang, akhirnya kotaro berhasil, sebagai pedagang, mempermainkan Jantje. (sylado, 2003: 41)

Sekarang kau orang jepang. Namamu bukan Keke tapi keiko. Orang jepang nomor satu di dunia. (sylado, 2003: 21)

5. Jantje ZFM

Jantje adalah kakak dari Keke yang membawa Keke ke Surabaya. Jantje memiliki sifat pemarah, percaya diri

“bulan januari 1930 saya sudah berada disni dengan keenam anak gadis berumur belum 9 tahun dan tidak ada bekas borok atau kudis serta mulus dan lembut.” (sylado, 2003: 14)

“ia sudah termakan gertakan Kotaro Takamura” (sylado, 2003: 17)

6. Ibu Tjak Broto

Nama ibu Tjak Broto adalah renggoningsih. Sifatnya antara lain: penyayang, tegas.

“maksudnya kan kamu sudah bekerja. Sudah punya gaji. Apa lagi yang dipikir?” (sylado, 2003: 77)

“buru-buru ibunya membuka pintu. Mereka pun saling berpeluk rindu , melupakan kemarahan lama. Ibunya menangis tersedu karena terharu” (sylado, 2003: 117)

7. Mbah Soelis

Mbah Soelis adalah nenek dari Tjak Broto akan tetapi beliau sangat sayang pada Keke. Ini dapat dilihat pada kutipan

hari pernikahan kamu sangat meriah. Yang mengatur semuanya mbahsoelis, mulai dari urusan dapur samapi sajian gamelan dan tontonan wayang di malam hari. (sylado, 2003: 187)

dari kutipan diatas kita rasakan bahwa sifat Mbah Soelis adalah baik, penyayang, rela berkorban.

8. Rahajoe

Rahajoe adalah adik dari Tjak Broto. Sifat pertmanya adalah suka ikut campur dan suka bergunjing.

“lo mas ga bengok begitu kalau niatnya gak ingin kawin” (sylado, 2003: 88)

pasti ada kesempatan luang, ia akan ikut nimbrung dan bercakap di belakang pendapat ibunya. (sylado, 2003: 88)

9. Roeslan

Tokoh Roeslan adalah suami dari Rahajoe. Sifat beliau antara lain : berwibawa, pengertian, dan bertanggung jawab.

Dalam peringatan penting itu, mereka duduk bersama tokoh-tokoh lain, sebagai tokoh pula yang sama pentingnya. (sylado, 2003: 137)

Masing-masing terbawa dalam pikiran yang berkembang sesaat. Adalah Roeslan yang pertama bicara. (sylado, 2003: 117)

Waktu itu ruslan dan Rahayu berada di Bandung. Mereka mendukung usul ibunya, serta tau betul peta politik dan konsekuensinya. (sylado, 2003: 217)

10. Ismail Roeslan

Ismail Roeslan adalah anak dari Rahajoe dan Roeslan. Sifatnya anatara lain tenggang rasa, baik, dan pengertian.

Ismail Roeslan lunglai. Si Keke tua pingsan. Selanjutnya tugas kemanusiaan istrinya membawa si Keke tua ke manado. Pekerjaan lainnya adalah bahwa Ismail Roeslan seorang wartawan. (sylado, 2003: 317)

Ismail mengirim berita dan foto si Keke tua ke jakarta. (sylado, 2003: 317)

11. Istri Ismail Roeslan

Tokoh Ismail Roeslan adalah salah satu tokoh pembantu dalam novel ini. Sifatnya hampir sama dengan suaminya yaitu baik dan pengertian.
Ismail Roeslan lunglai. Si Keke tua pingsan. Selanjutnya tugas kemanusiaan istrinya membawa si Keke tua ke manado. Pekerjaan lainnya adalah bahwa Ismail Roeslan seorang wartawan.

Si Keke tua terbaring di ranjang rumah sakit dijagai oleh Ismail Roeslan dan istrinya(sylado, 2003: 187)




12. Tante Mar

Tante Mar adalah tokoh pembantu. Beliau adalah tante dari Tjak Broto. Ia memiliki sifat cermat, genit, dan cerewet.

Orangnya sangat tertib dan itu berarti hal-hal sepele yang tidak sempat diperhatikan orang lain, akan diperhatikannya secara tajam. (sylado, 2003: 237)

Karena semuanya diam, maka Tante Mar yang sudah tua tapi awet genit dan kebelanda-belandaan, meleter lagi. (sylado, 2003: 234)

Malahan terdengar omongan demi omongan seperti mencibir-cibir. Pada akhirnya ia berdiri sendiri tanpa beban perasaan(sylado, 2003: 207)

13. Tjoa tjie liang

Tjoa tjie liang adalah tokoh pembantu. Beliau adalah atasan Tjak Broto ketika bekerja di koran tjahaja soerabaja. Sifatnya antara lain: baik hati, pengertian.

Lalu kepada istrinya ia berkata,”carikan baju salin buat mereka” (sylado, 2003: 89)

14. tjik entin

Nama aslinya adalah soepartinah. Beliau adalah istri dari Tjoa tjie liang. Sifatnya sama seperti suaminya yaitu baik dan pengertian.

Dan ini agaknya kebiasaan wanita dimana-mana bahwa kalau mereka tidak merasa terlibat dalam pembicaraan suaminya, mereka akan membentuk obrolan sendiri di ruang lain. (sylado, 2003: 89)

15. Anak-anak Tjoa tjie liang dan tjik entin

Tokoh-tokoh ini adalah tokoh tambahan yang mempunyai sifat penurut, perhatian.

Saya duduk. Anak-nak tjoa berbisik-bisik di kursinya pasti ngerasani baju ibunya yang longgar di tubuh saya. Waktu saya melirik, mereka pun tertawa malu-malu. (sylado, 2003: 89)

16. Hiroshi Masakuni

Tokoh ini merupakan tokoh antagonis sebagai penentang. Sifatnya adalah jahat dan egois.

Hiroshi Masakuni bersikeras merampas saya dari Tjak Broto. Saya menangis. (sylado, 2003: 213)

17. Paimin

Tokoh Paimin adalah sahabat dari Tjak Broto. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh penentang yang bersifat plin-plan, suka mencari kambing hitam, tidak bisa memegang rahasia.

Disebutkannya nama Tjak Broto sebagai orang intelek yang mendukung gerakan itu. Akibatnya Tjak Broto ditangkap untuk diintrogasi. (sylado, 2003: 243)

18. kobayashi

Tokoh kobayashi juga merupakan tokoh penentang yang sifatnya antara lain kejam, cabul, tidak berperikemanusiaan.

Ia seperti seekor singa yang siap mencabik-cabik domba yang tidak berdaya. Ia melepas-lepaskan seluruh kain yang menutupi tubuh saya sampai tidak tersisa lalu ia membuka celananya. Bedebah! Anjing! Kunyuk! Dan seterusnya. Saya menangis. (sylado, 2003: 254)

19. rombongan ludruk

Tokoh ini merupakan tokoh individual akan tetapi mendukung cerita karena membantu Tjak Broto. Arti kata lain bahwa mereka bersifat baik dan suka menolong.

Juga karena ia berpikir denan ludruk barangkali ia bisa berjumpa dengan saya, Keke istrinya.. (sylado, 2003: 231)


20. kurniasih

kurniasih adalah istri kedua dari Tjak Broto yang dinikahinya ketika meyakini bahwa Keke sudah mati. Sifatnya adalah mudah tersinggung.

Setelah kata-kata terakhir itu, kurniasih berdiri dari kursinya, langsung masuk kamar. (sylado, 2003: 179)

21. ibu Hiroshi Masakuni

Tokoh ini merupakan salah satu tokoh pembantu. Sifatnya adalah pemarah akan tetapi penyayang.

Bahwa Hiroshi Masakuni telah mati dan mayatnya tidak ditemukan. Ibu Hiroshi Masakuni menyalahkan saya. (sylado, 2003: 179)

22. otto walilangit

Tokoh otto walilangit juga merupakan tokoh antagonis. Sifatnya adalah cabul, kejam, jahat.

Mereka memperlakukan saya seperti barang reaksi, saban hari bergantian memperkosa saya. (sylado, 2003: 265)

23. Max Kondong

Tokoh Max Kondong adalah salah satu gerombolan otto walilangit disamping Henk Tambanawas. Dia adalah tokoh antagonis yang bersifat sama dengan otto walilangit.

Lalu bukan saja Max Kondong tapi juga Henk Tambanawas menarik saya di tiang penyangga dalam bivak itu. (sylado, 2003: 265)

24. Henk Tambanawas

Tokoh inijuga merupakan tpkph antagonis. Sifatnya sama dengan dua nama yang disebut sebelumnya karena mereka satu gerombolan.

Lalu bukan saja Max Kondong tapi juga Henk Tambanawas menarik saya di tiang penyangga dalam bivak itu. (sylado, 2003: 266)

Mereka memperlakukan saya seperti barang reaksi, saban hari bergantian memperkosa saya(sylado, 2003: 270)



25. Ginsawaulon

Tokoh ini adalah tokoh pembantui yang merupakan sahabat masa kecil Keke yang menjadi geisha pula. Sifatnya penyayang dan dapat menyimpan rahasia.

Hanya ginsa dan Yoko saja yang tahu bahwa hari ini saya akan minggat dari Shinju. (sylado, 2003: 177)

Lalu ginsa bersandar di dinding, hanya memandang dengan mata berkaca-kaca. (sylado, 2003: 178)

26. petugas kedutaan tokyo

Tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang membantu kepulangan Keke menuju indonesia. Sifatnya adalah mudah disogok dan mata duitan.

Petugas itu tersipu tapi tidah menolak. Ia tarik amplop saya lalu mengintip isinya. (sylado, 2003: 214)

27. bapak di kereta api

Tokoh ini merupakan tokoh tambahan yang ditemui Keke ketika naik kereta menuju Surabaya sekembalinya dari jepang. Sifatnya adalah ramah.

Mula-mula ia berkesan kaku kemudian bicara lancar dan Kekeluargaan. (sylado, 2003: 231)




28. pemilik baru rumah di gubeng

Tokoh ini hanyalah tokoh tambahan yang mendukung cerita saja. Sifatnya adalah tidak tahu apa-apa.

29. suami istri daeng patunrung

Tokoh uami istri ini merupakan tokoh pembantu yang membantu Keke ketika hendak pulang ke manado. Sifatnya adalah suka menolong.

30. hokan

Tokoh ini merupakan pembantu Kotaro Takamura di Shinju. Sifatnya adalah jenaka – karena hokan berarti tukang lawak, dan penurut.

Kotaro keluar dari ruang itu , menemui lelaki yang biasa dipanggil hokan, menyruh untuk membereskan Jantje. Hokan pun memukul Jantje dengan gada. (sylado, 2003: 19)

Dari kesemua tokoh tokoh diatas dapat diklarifikasikan sebagai berikut:

a. Tokoh utama, protagonis dan bulat adalah Keke
b. Tokoh tambahan dan protagonis dan sederhana adalah Yoko, kotaro, Mbah Soelis, ibu Tjak Broto, Ismail Roeslan
c. Tokoh sederhana, statis dan protagonis antara lain suami istri daeng patunrung, rombongan ludruk
d. Tokoh antagonis adalah Hiroshi Masakuni, Henk Tambanawas, otto walilangit, Max Kondong.




3.2.2 Latar
Latar adalah waktu, tempat , dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra atau drama (zaidan, 2004: 118). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (abrams, 1981 : 175). stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Atau ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat dan itu perlu pijakan dimana dan kapan.

a. latar fisik dan latar spiritual
Latar fisik antara lain tempat dan waktu. Latar tempat untuk novel Kembang Jepun ini adalah bangunan Shinju, jalan Kembang Jepun, kota Surabaya, kota Blitar, kota manado, kota bolaang mongondow, penjara kalisosok, negara jepang. Sedangkan latar waktu adalah kota Surabaya tahun 1920 (pembukaan Shinju), 1930-1940 (Keke datang ke Shinju), 1945 (Keke dibuang ke jepang), 1958 (Keke hendak pulang ke manado), 1980-an (Keke tua ditemukan), 2000-an (batas waktu Keke tua dan Tjak Broto).

Latar spiritual adalah nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik(Kenny, 1966: 39 dalam nurgiyantoro). Latar spiritual biasanya mengiringi latar fisik sebagai unsur pendukung. Sebagai contoh, kota Bandung tahun 1909 akan berbeda denan tahun 2009. adapun latar spiritual untuk novel ini adalah burgmeester. Burgmeester berarti walikota pada masa kolonial. Remy Sylado cukup apik menggunakan istilah ini sebagai cara untuk memperkuat latar Surabaya tahun 1920an. Berikutnya adalah istilah “sanbon ga areba, taberareru” yang berarti jika kau memilki tiga dawai, kau bisa makan. Istilah ini selalu terdapat di berbagai tempat geisha. Tak hanya Shinju, salah satu warung geisha di sudut kota kyoto di jepang pun masih mempergunakan istilah ini. Ini jelas menjadi unsur pendukung yang membedakan Shinju dengan tempat hiburan wanita lain di Surabaya.

b. Latar netral dan latar tipikal.

Sebuah latar atau nama tempat yang disajikan hanya sederhana tak lebih dari itu dikatakan sebagai latar netral. Untuk novel ini yang menjadi latar netral adalah jalam Kembang Jepun. Sedangkan latar tipikal cenderung menampilkan atau menonjolkan sifat khas latar tertentu. Dalam novel ini adalah Shinju di jalan Kembang Jepun no. 72 berada di sebelah barat roode brug pasca zaman maleise sekitar tahun 1920.

c. Latar sosial
Latar sosial secara garis besar diwakili oleh bahasa, penamaan, dan status. Latar sosial dalam novel ini digambarkan dengan nama keiko, Kotaro Takamura, Yoko yang tak lain adalah nama jepang karena Shinju merupakan lahan usaha yang berbibit dari kebudayaan jepang,













3.3 Analisis Pragmatik
3.3.1 Tipe penceritaan
Dalam novel Kembang Jepun ini, pencerita cenderung menggunakan tipe penceritaan dalam karena tipe penceritaan ini lebih mendominasi. Pencerita memberikan kebebasan pada tokoh-tokohnya untuk bercerita langsung. Ini dapat dilihat dalam kutipan:

“wah cocok itu.” sang tede senang pada masukan yang diberikan Tjak Broto.”kalau begitu, tolong sampeyan susun ceritanya. Dan sampeyan ikut main juga lo ya?” (sylado, 2003: 254)

Selain itu ditemukan pula wicara yang dinarasikan. Kutipan dibawah sedikitnya dapat memberikan penjelasan tentang tipe wacana yang dinarasikan.

Tjak Broto sampai di rumah menjelang maghrib, ketika awan hitam yang sejak pagi tadi menghalang-halangi matahari, mulai tiris satu-satu. Tidak biasanya begini. (sylado, 2003: 179)

Terakhir adalah tipe wicara alihan yaitu melalui dialog.

“saya tidak akan lupa kau,”katanya.
“terima kasih”, kata saya.
“bayangkan, bahkan namamu pun saya tidak tahu, tapi melalui kau hari ini saya tidak perjaka lagi.” (sylado, 2003: 94)







3.4 Tema
Tema berarti gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Tema dibedakan dari subjek atau topik (Zaidan, 2004: 203-204).
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Dalam Nurgiyantoro (2007), tema dibagi menjadi Tema Tradisional dan Tema Nontradisional (dikotomis), tema menurut kedalaman jiwa (shipley), dan penggolongan dari tingkat keutamaan.

Penggolongan tema yang diterapkan dalam novel Kembang Jepun adalah menggunakan teori tingkatan tema menurut Shipley. Dapat kita simak dalam novel ini permasalahan sosial dianggap menjadi titik yang paling menonjol. Menurut Shipley, manusia sebagai makhluk sosial tak dapat terlepas dari aspek bermasyarakat karena itu merupakan tempat aksi serta interaksinya dengan manusia lain—serta budaya. Terkadang dalam interaksi tersebut terjadi berbagai masalah. Masalah tersebut antara lain masalah ekonomi, politik, pemdidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta, propaganda, dan berbagai masalah lain. Ini memungkinkan seorang pengarang mengangkat hal tersebut sebagai pokok penceritaannya.

Dalam novel Kembang Jepun tema permasalahan sosial, cinta, kebudayaan, dan propaganda dianggap sebagai gagasan utama. Permasalahan sosial dapat kita simak ketika Keke menceritakan kehidupannya di Shinju, percintaan dapat kita simak ketika Keke bertemu dengan Tjak Broto, kebudayaan dapat kita simak ketika Keke melakukan aktivitasnya sebagai geisha yang merupakan produk budaya jepang, dan propaganda dapat kita simak ketika Kotaro Takamura mendoktrin Keke bahwa orang jepang adalah yang terhebat dan mendoktrin bahwa profesi geisha adalah ibadah.


BAB IV
PEMBAHASAN


4.1 Pembahasan karya melalui pendekatan sosiologi sastra
Membaca novel karya Remy Sylado benar-benar berwisata dan belajar sejarah yang sangat menarik. Sejarah dikemas cukup mendalam, penuh greget, dan eksotis, seperti dalam novel Kembang Jepun (2003). Kendati novel ini bercerita tentang sosok geisha Indonesia, namun setting-nya tetap mengambil sejarah bangsa yang sarat konflik, etnik, perjuangan, dan sisi humanisme seperti cinta, cemburu, dan kasih sayang

Sejarah inilah yang menurut Remy adalah 'sisi lain' yang menjadi lahan garapan sekaligus yang menjadi daya jual karyanya. Remy memang piawai dalam mempresentasikan referensi historis yang dimilikinya. Sedikitnya, untuk sebuah novel Remy membutuhkan 30 referensi tua alias kuno yang diperolehnya dari pelosok Tanah Air dan dunia. Uniknya, sejumlah novel karya Remy, sebelum diterbitkan dalam sebuah buku terlebih dahulu dimuat di surat kabar lokal yang menjadi tempat sejarah tersebut lahir dan berkembang. Ca Bau Kan sebelumnya menjadi cerita bersambung di Harian Republika, Parijs van Java berseri di Koran Tempo, dan Kembang Jepun juga sempat menjadi cerita bersambung di Harian Surya Surabaya.

Proses kreatif dan produktivitas Remy mengolah imajinasi, fakta, dan kata-kata memang tak perlu diragukan lagi. Tulisannya kaya dengan warna. Hal tersebut mungkin juga disebabkan Remy termasuk makhluk serba bisa. Lihat saja aktivitasnya, selain dikenal sebagai munsyi ia juga pekerja teater, film, perupa, teolog, dan pengamat musik. Dalam mengarang sebuh novel, terkadang “kemunsyiaannya” ia perlihatkan. Hal tersebut dapat kita lihat kelihaian Remy Sylado berakrobat kata-kata. Selain itu, Remy juga kerap membaurkan pengalaman realitasnya ke dalam fantasi fiksi karyanya. Sebagai contoh, dalam novel Kembang Jepun, profesinya sebagai seorang wartawan ia tuangkan secara liar ke dalam novelnya. Selain itu, kota-kota yang ia anggap memiliki sebuah kenangan ia masukkan ke dalam karyaya sebagai sebuah latar. Dalam novel Kembang Jepun kota itu antara lain Bandung, Minahasa, dan Surabaya.

Ketika membaca novel Kembang Jepun karya Remy Sylado, nilai-nilai sosiokultural lintas budaya amat terasa. Geisha. Geisha adalah bagian dari kebudayaan jepang yang justru dijadikan Remy Sylado sebagai fondasi karyanya. Remy secara apik menggambarkan bagaimana seorang wanita geisha.

Dalam tradisi jepang geisha dianggap amat terhormat. Kepandaian geisha antara lain menyanyi, memainkan shamisen dan taiko, menuangkan the atau sake, memijat, bahkan membuka kimononya demi kepuasan lelaki yang mereka anggap sebagai sebuah kebanggan dan kebenaran yang luhur. Tak hanya itu, para geisha menganggap bahwa pekerjaan mereka adalah sebuah seni.

Dalam novel Kembang Jepun, kebanggan sang tokoh utama Keke menjadi seorang geisha dapat kita lihat di awal cerita:

Saya geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha menyenangkan. Gei berarti seni dan sha berarti pribadi. Sejak usia Sembilan tahun saya memang sudah dibina untuk menguasai seni. Saya pandai menyanyi, memainkan shamisen dan taiko, menuangkan the dan sake, memijat dan mengurut, serta menghibur dengan menyerahkan seluruh badan saya kepada semua laki-laki yang datang pada saya di Shinju. (sylado, 2003:5)

Perihal anggapan para geisha yang menganggap bahwa profesinya adalah sebuah kebanggaan dan sebuah kebenaran yang luhur dapat kita lihat dalam kutipan:

Saya bahagia dengan kehidupan ini, sebab saya sudah terbina sejak usia 9 tahun untuk menerima kehidupan ini sebagai kebenaran yang luhur. Maksud saya dalam tradisi budaya jepang, kedudukan saya sebagai geisha, terhormat. (sylado, 2003:6)

Seperti disinggung sebelumnya, para wanita geisha menganggap bahwa ketika mereka berprofesi menjadi geisha, derajat mereka akan terangkat. Mereka menerima bagian-bagian dari tugas geisha sebagai sebuah kebenaran yang luhur. Meskipun pada kenyataannya, ketika ada sebuah tempat di luar jepang yang menyediakan geisha, masyarakat setempat lebih menyebut mereka sama saja dengan pelacur. Sama halnya seperti dalam novel Kembang Jepun yang berlatar di sebuah bangunan bernama Shinju yang terletak di jalan Kembang Jepun no. 72 berada di sebelah barat roode brug. Dalam pengoperasiannya, Shinju meniru sudut yoshiwara di edo—nama kuno Tokyo—yang dari dulu sampai sekarang dianggap sebagai tempat prostitusi legal yang menyertakan geisha di dalamnya. Karena ketika masa colonial belanda, usaha prostitusi legal tak dikenal maka seperti halnya masyarakat Indonesia modern mempergunakan keterangan lain untuk bidang usaha yang oleh masyarakat kebanyakan dianggap tabu.

Shinju berdiri di Surabaya pada tahun 1920. Kotaro Takamura membuka usaha ini konon meniru sudut yoshiwara di edo. (sylado, 2003: 6)

Dalam izinnya Shinju adalah sebuah rumah makan, berhubung memang tak ada dalam kamus kota praja belanda istilah “prostitusi legal” seperti yang diartikan jepang atas geisha.(…). Lantas di bagian belakang terdapat beberapa ruang untuk memberikan pelayanan geisha, dan di bagian paling belakang adalah ruang-ruang tempat tidur saya dan teman-teman. (sylado, 2003: 7)
Dalam budaya jepang, geisha selalu menggunakan kimono disertai wajah yang dipupur putih. Para geisha menggunakan kimono yang dianggap sebagai salah satu bagian keindahan yang berawal dari sukma akan tetapi membawa sebuah keselarasan lahir. Dalam novel Kembang Jepun, hal mengenai kimono dapat diketahui dari kutipan:

Dalam menjalankan tugas sebagai geisha, mengenakan dan melepaskan kimono termasuk yang paling rumit diajarkan. Kesan indah, yang ditampilkan dalamnya diserasikan dengan sifat alami gerak-gerik tari. (sylado, 2003: 27)

Kutipan diatas menggambarkan kondisi ketika tokoh Keke bercerita tentang kesulitannya menggunakan kimono. Kimono ia anggap sebagai kekhasan yang akan lebih mendorong sukmanya untuk mencapai sebuah estetika kekhasan tari.

Pengabdian seorang geisha dan bagaimana seorang geisha melayani tamu dapat kita simak pada kutipan dibawah ini:

“dan saya telah terbina untuk menganggapnya suatu pengabdian, karena pada saat itu saya memulai berpikir sebagai seorang wanita yang menjadi sangat penting karena tugasnya sebagai geisha adalah diingatkan dengan pekerjaan, pelayanan, kepasrahan, dan keindahan.” (sylado, 2003: 9)

Dalam novel Kembang Jepun ini, Remy menghadirkan tokoh utama berlatar hitam putih. Remy juga lebih senang menggunakan tokoh saya dan aku atau kata ganti orang pertama dalam lakon novelnya. Dalam Kembang Jepun di awal halaman tegas-tegas sudah tertulis:

"Saya geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha menyenangkan. Gei berarti seni dan Sha berarti pribadi". (sylado, 2003: 5)

Atau di bab terakhir:
"Sebetulnya saya malu bercerita tentang diri saya. Sebab saya menyadari bahwa prikehidupan saya adalah ibarat suatu panggung kekotoran." (sylado, 2003: 319)

Penggunaan kata saya atau aku dalam sebuah novel atau cerpen memang cukup menarik. Bila karya itu bagus, pembaca akan lebih berempati dan bahkan terlibat secara emosional. Pembaca akan mengerti, memahami nasib dan bahkan akan menyelami sosok dan pribadi tokoh dalam novel tersebut. Tetapi tentu saja penggunaan kata ganti orang pertama ini kadang juga cukup menyulitkan untuk bercerita sesuatu yang berada di luar tokoh utama sehingga pelaku (saya) harus memposisikan sebagai orang yang tengah bercerita pengalaman masa lalu, seperti dalam kalimat:

"Kelak saya akan berkata bahwa pandangan Kotaro Takamura dan orang-orang Jepang yang lain adalah sisa kesombongan masa silam." (sylado, 2003: 67)

Sayangnya, dalam Kembang Jepun Remy tidak konsisten menggunakan kata ganti orang pertama ini. Dalam artian, Remy kesulitan ketika akan menceritakan hal-hal yang berada di luar tokoh utama. Misalnya di awal bab enambelas tertulis:

"Tjak Broto dan mantan istrinya yang mantan Kembang Jepun itu, kini kembali lagi ke Surabaya." (sylado, 2003: 178)

Padahal dalam konteks keseluruhan buku dan bab, tokoh utama sedang menceritakan dirinya sendiri. Pertanyaannya kemudian, berarti siapa yang sedang menceritakan kisah itu? Ketidakkonsistenan ini tentu saja cukup mengganggu. Dengan demikian Remy berada di posisi 'orang luar', tidak sebagai pelaku (saya).

Bagi yang sudah membaca novel Memoar Seorang Geisha karya Arthur Golden, Kembang Jepun akan menjadi pelengkap pengetahuan pembaca mengenai kehidupan geisha. Namun demikian, Kembang Jepun tentu saja lebih unggul bagi pembaca domestik karena kedekatan atau proximity sejarah dan kedekatan emosional.



















4.2 Pembahasan karya melalui pendekatan poskolonial
Teori pasca-kolonial dalam konsep humaniora merupakan tulisan yang membahas pengaruh kekuasaan politik dan kebudayaan kolonial terhadap bangsa terjajah sampai masa kemerdekaan bangsa tersebut (Faruk, 2007:5). Dalam ranah kesastraan, karya sastra pasca-kolonial adalah tulisan yang memuat jejak-jejak sejarah kolonialisme dan efeknya dalam pembentukan kebudayaan dan kondisi psikologis masyarakat terjajah. Dengan demikian, hubungan yang menggunakan pendekatan pasca-kolonial dengan karya sastra adalah hubungan pengungkapan jejak kolonial dalam hal konfrontasi ras, bangsa, dan kebudayaan karena adanya kekuasaan. Konfrontasi itu membentuk suatu pengalaman yang signifikan dalam masyarakat terjajah melalui efek-efek yang ditimbulkan (Day and Foulcher, 2002:2).

Sebagai bangsa yang pernah mengalami masa kolonial, berbagai efek berupa kenangan, formasi kebudayaan, sosial, serta politik yang baru, menjadi bagian dari periodesasi kesejarahan di Indonesia. Efeknya tidak dapat hilang dengan cepat, sehingga tulisan yang memuat unsur kolonial masih banyak ditemui dalam kesastraan pasca kemerdekaan. Dengan kata lain, melalui sistem simbol bahasanya, karya sastra dapat mendokumentasikan kehidupan kolonial. Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa sastra dan budaya berkaitan sangat erat, bahkan tidak mungkin dipisahkan. Analisis karya sastra adalah analisis aspek kebudayaan.

Novel Kembang Jepun karya Remy Sylado meskipun bukan sebuah karya yang diciptakan pada masa kolonial, tetapi secara keseluruhan latar dalam novel ini berdasar keadaan pada masa kolonial bangsa asing yaitu belanda, jepang, dan inggris. Ketiga bangsa asing tersebut dianggap sebagai imprealis yang secara terencana telah merubah sifat ketimuran bangsa terjajah agar lebih kebarat-baratan. Akan tetapi yang jelas nyata-nyata terasa dan merupakan akar cerita adalah akibat impralisme budaya jepang.

Perlakuan pertama yang merupakan bentuk doktrinasi bangsa asing (jepang) kepada bangsa terjajah(indonesia) adalah ketika Kotaro Takamura menjadikan Keke yang merupakan bangsa Indonesia menjadi seorang geisha. Seperti kita ketahui geisha merupakan produk budaya jepang. Kotaro Takamura dengan sengaja menggunakan geisha dari Indonesia karena dianggap lebih murah. Ini jelas-jelas merupakan “pelecehan” terhadap bangsa Indonesia.

Selain itu, bangsa asing selalu bersifat licik dengan mengelabui warga pribumi demi kepentingan bangsa asing.

Jantje gelisah. Ia bangkit dari duduknya. Berputar di ruang itu dan sempatmemandang saya, lalu kembali duduk ia sudah termakan oleh gertak kotaro. (sylado, 2003: 24)

Dari kutipan diatas, dapat kita simak bagaimana tokoh Jantje yang dijebak oleh Kotaro Takamura demi mendapatkan Keke—adik Jantje—untuk dijadikan sebagai geisha.

Teori pasca-kolonial dibangun atas dasar peristiwa sejarah, pengalaman terjajah selama berabad-abad. Teori pasca-kolonial memiliki arti penting karena dianggap mampu mengungkap masalah-masalah yang tersembunyi dibalik kenyataan yang pernah terjadi. Kondisi itupun terjadi di Indonesia karena Indonesia pernah merasakan masa kolonialisme.

Ibu dan nenek saya selalu meuji orang belanda sebab orang belanda lah yang mengajari orang Minahasa memakai celana, jas, dan dasi bagi kaum pria dan gaun-gaun panjang bagi wanita. Lalu berdansa walsa di pekarangan. (sylado, 2003: 26)
Dari kutipan diatas, dapat kita simak bagaimana upaya bangsa belanda yang hendak melakukan westernisasi kepada warga Minahasa. Ini jelas-jelas sudah merupakan sebuah pelanggaran terhadap identitas asli bahasa Indonesia yang ketika itu dianggap masih tak berbudi.

Penjajahan bukanlah usaha yang dilakukan secara kebetulan, kolonialisasi dilakukan secara terencana dengan mekanisme yang kompleks, melibatkan berbagai kepentingan meliputi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Kolonialisme adalah sistem kekuasaan yang sudah berkembang beraabad-abad. Usianya, semangatnya, ideologinya bahkan lebih tua dibandingkan dengan dimulainya penjajahan. Orientalisme dalam pengertian yang lebih luas, sudah menjadi ideologi bagi barat. Dalam paradigma tersebut, ideologi, diinvestasikan dalam cara pandang barat, dengan mendegradasikan bahkan menguburkan identitas ketimuran. Meskipun tak ditemukan kasus seperti itu, akan tetapi dapat kita simak bagaimana tokoh Kotaro Takamura yang berasal dari jepang member sebuah keyakinan pada Keke yang tak lain adalah warga pribumi.

Orang jepang melihat kehebatan nilai manusia itu lebih besar pada arti bangsa ketimbang pada arti insane. Sikap itu juga yang ditanamkan pada saya dan teman-teman. Hari-hari pertama saya di Shinju dimulai dengan menenm sikap seperti itu sebagai moral agamawi. Setelah itu saya belajar semuanya sampai saya berhak disebut geisha, seorang pribadi seni. (sylado, 2003: 26)

Tokoh Keke telah ditanamkan secara mengenai apa itu kebudayaan jepang yang sangat sujektif. Kebenaran adalah persepsi dari Kotaro Takamura yang seorang jepang. Tanpa ia ketahui bahwa kebanggan itu kelak membawa penderitaan untuknya.


Subjek yang selalu tertindas dalam transformasi ideologi adalah masyarakat kecil atau subaltern. Bangsa pendatang cenderung dengan sengaja telah merubah tatanan budaya atau etika yang telah berlaku di negera pribumi.

“namamu sekarang keiko, bukan Keke lagi”, katanya. (sylado, 2003: 29)

Kutipan tersebut dapat kita simak ketika Kotaro Takamura dengan sengaja merubah nama Keke menjadi keiko. Seolah-olah kotaro telah membaptis Keke menjadi seorang jepang.

Sebenarnya masih ada beberapa kasus penindasan kaum pendatang terhadap kaum pribumi seperti pada saat Keke mendapat cambukan akibat ia tidak makan dengan cara jepang (sylado, 2003: 30) dan ketika tokoh Jantje hendak membawa Keke kembali pulang akan tetapi Jantje telah dikelabui oleh Kotaro Takamura dengan menyebut Keke kini adalah seorang jepang. (sylado, 2003: 31). Akan tetapi karena keterbatasan waktu, penulis mengakhiri sampai kesempatan ini. Semoga dengan dikajinya novel ini melalui pendekatan ini, akan timbul minat dari peneliti atau pengkaji lain untuk mengkaji karya ini dengan metode analisis yang lain.












BAB V
KESIMPULAN

5.1 Simpulan
Setelah melakukan kajian terhadap novel Kembang Jepun karya Remy Sylado, penulis mendapat kesimpulan beberapa hal yang dianggap penting sebagai simpulan.
Pertama untuk permasalahan unsur intrinsik karya, novel Kembang Jepun terdiri atas 155 sekuen dan 107 fungsi utama. Tokoh yang terlibat dalam novel ini adalah sebanyak 30 tokoh.
Latar fisik antara lain tempat dan waktu. Latar tempat untuk novel Kembang Jepun ini adalah bangunan Shinju, jalan Kembang Jepun, kota Surabaya, kota Blitar, kota manado, kota bolaang mongondow, penjara kalisosok, negara jepang. Sedangkan latar waktu adalah kota Surabaya tahun 1920 (pembukaan Shinju), 1930-1940 (Keke datang ke Shinju), 1945 (Keke dibuang ke jepang), 1958 (Keke hendak pulang ke manado), 1980-an (Keke tua ditemukan), 2000-an (batas waktu Keke tua dan Tjak Broto).

Latar spiritual adalah nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik(Kenny, 1966: 39 dalam nurgiyantoro). Latar spiritual biasanya mengiringi latar fisik sebagai unsur pendukung. Sebagai contoh, kota Bandung tahun 1909 akan berbeda denan tahun 2009. adapun latar spiritual untuk novel ini adalah burgmeester. Burgmeester berarti walikota pada masa kolonial. Remy Sylado cukup apik menggunakan istilah ini sebagai cara untuk memperkuat latar Surabaya tahun 1920an. Berikutnya adalah istilah “sanbon ga areba, taberareru” yang berarti jika kau memilki tiga dawai, kau bisa makan. Istilah ini selalu terdapat di berbagai tempat geisha. Tak hanya Shinju, salah satu warung geisha di sudut kota kyoto di jepang pun masih mempergunakan istilah ini. Ini jelas menjadi unsur pendukung yang membedakan Shinju dengan tempat hiburan wanita lain di Surabaya.

Sebuah latar atau nama tempat yang disajikan hanya sederhana tak lebih dari itu dikatakan sebagai latar netral. Untuk novel ini yang menjadi latar netral adalah jalam Kembang Jepun. Sedangkan latar tipikal cenderung menampilkan atau menonjolkan sifat khas latar tertentu. Dalam novel ini adalah Shinju di jalan Kembang Jepun no. 72 berada di sebelah barat roode brug pasca zaman maleise sekitar tahun 1920.

Latar sosial secara garis besar diwakili oleh bahasa, penamaan, dan status. Latar sosial dalam novel ini digambarkan dengan nama keiko, Kotaro Takamura, Yoko yang tak lain adalah nama jepang karena Shinju merupakan lahan usaha yang berbibit dari kebudayaan jepang.

Dalam novel Kembang Jepun ini, pencerita cenderung menggunakan tipe penceritaan dalam karena tipe penceritaan ini lebih mendominasi. Pencerita memberikan kebebasan pada tokoh-tokohnya untuk bercerita langsung.

Selain itu ditemukan pula wicara yang dinarasikan. Kutipan dibawah sedikitnya dapat memberikan penjelasan tentang tipe wacana yang dinarasikan. Terakhir adalah tipe wicara alihan yaitu melalui dialog.

Dalam novel Kembang Jepun tema permasalahan sosial, cinta, kebudayaan, dan propaganda dianggap sebagai gagasan utama.
Setelah itu penulis menggunakan analisis dengan menggunakan kajian sosiologi sastra dan analisis poskolonial. Penulis menganggap novel ini relevan dikaji dengan mempergunakan analisis sosiologi sastra karena secara keseluruhan novel ini menampilkan nilai-nilai historis dan sosio-kultural. Budaya yang paling menonjol disini adalah budaya jepang. Selain itu penulis juga mempergunakan analisis poskolonial sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana dan sejauhmana usaha bangsa asing dalam menghilangkan identitas bangsa terjajah. Dan yang paling menonjol disini adalah usaha bangsa asing (jepang) yang dengan sengaja menghilangkan sifat asli bangsa terjajah (indonesia).

5.2 Saran
Dengan memperhatikan hasil analisis dan uraian simpulan diatas, penulis merekomendasikan bahwa keberadaan novel kembang jepun telah memberikan sumbangsih terhadap dunia sastra yang mengangkat nilai-nilai sosial.
Penelitian dengan mempergunakan analisis sosiologi sastra dan poskolonial mungkin hanya dapat menjangkau sisi historis dan sosio-kultural saja. Masih banyak sisi lain novel yang masih dapat dikaji dengan pendekatan yang berbeda.














DAFTAR PUSTAKA
Ashcroft, Bill dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa : Teori dan Praktik Sastra Postkolonial. Yogyakarta : Kalam.

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodelogi Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. Cetakan kedua. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial : Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Faruk. 1999. Pengantar sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foulcher, Keith and Tony Day. 2002. “Poscolonial Readings of Modern Indonesia
Literature”dalam Foulcher and Day (ed) Clearing a Space. Leiden : KITLV Pers.

Golden , Artur. 2002. Memoirs of Geisha. Jakarta: Gramedia.

Loomba, Ania (Terj) Hartono Hadikusumo. Kolonialisme/Pasca-kolonialisme. Yogyakarta : Bentang Budaya.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: P.T. Gramedia.
Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon Dalam Satra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Patria, Nezer dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampui Batas Batas Kebudyaan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fakta dan Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sylado, Remy. 2003. Kembang Jepun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan ilmu sastera. Jakarta: Pustaka Jaya

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: P.T. Gramedia.

Zaidan, Dkk. 2004. Kamus istilah sastra. Jakarta: Balai Pustaka.