Menyimak makna kehidupan dalam kesenian barongan

oleh Reza Saeful Rachman

Pemaknaan nilai-nilai dalam hidup dapat pula kita lihat lewat beberapa pertunjukan seni tradisi. Tak jarang, kearifan-kearifan yang agak sulit kita pahami ditengah hidup yang telah dimodernisasi malah dapat kita lihat dalam ritual demi ritual sebuah seni tradisi. Salah satunya adalah ketika menyimak seluruh pertunjukan kesenian Barongan, setiap gerakan dalam kesenian ini tidak luput dari makna kehidupan manusia yang hanya bisa bergerak karena ada roh di dalamnya. Dan roh itu semata-mata hanyalah milik sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.

Barongan adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang berasal dari wilayah kabupaten cirebon. “Barongan” ialah nama yang diperuntukkan bagi wajah yang sangat menakutkan dan seolah-olah buas. Sering kali istilah Barongan dirangkaikan dengan kata kepet (ejekan dari penonton) artinya tidak suka membersihkan diri (nyopet, Sunda). Kesenian ini disebut juga Barokan yang artinya sama dengan Barongan.

Tak ada sumber tentang kapan kesenian ini lahir. sulit ditentukan secara pasti mulai kapan kesenian Barongan ini berkembang. Satu-satunya bahan yang dapat dijadikan petunjuk ialah ceritera rakyat yang sangat besar pengaruhnya di kalangan masyarakat pedesaan.

Ceritera rakyat menuturkan: Seorang puteri cantik mencintai pemuda tampan Udrayaka, tetapi sang raja, ayah puteri tidak merestui karena Udrayaka hanyalah anak pungut Patih Dirgabahu. Agar Udrayaka enyah dari kerajaan, raja memberi tugas agar Udrayaka menggambar segala jenis binatang yang ada di daratan. Pemuda itu ternyata berhasil, tetapi menyusul perintah selanjutnya dari sang raja agar ia menggambar segala makhluk yang ada di lautan. Di lautan ia menyaksikan kepala makhluk binatang yang mengerikan muncul di permukaan air. Ia beruntung dapat selamat mendayung ke pantai, segeralah menggambarnya. Seorang nelayan melihatnya mengatakan bahwa gambar itu mirip kepala ikan Poto. Gambar itu langsung diberikan kepada nelayan itu, tidak kepada rajanya. Sejak itulah para nelayan membuat kesenian barongan sebagai penolak kemalangan.

Lain ceritera mengatakan, konon dahulu kala palawija dan tumbuhan lain menjadi kering terkena hama. Masyarakat yang mistis sangat mempercayai adanya gangguan dari makhluk halus akan membinasakan manusia. Sepasang petani tua (aki dan nini) berprakarsa membuat makhluk tiruan (bebegig-Sunda) yang kepalanya terbuat dari jojodjog (bangku kecil). Upayanya membawa perubahan, tanaman palawija tumbuh subur. Sejak itulah masyarakat tani lainnya meniru perbuatan petani tua tadi. Perubahan zaman selalu menyentuh peradaban manusia sehingga kepala makhluk (jojodog) tadi diperindah dan terjemalah topeng yang menakutkan yang bereka sebut Barongan, kemudian berkembang menjadi suatu kesenian yang dilengkapi dengan kelompok musik tradisional pula.

Muncar, seorang seniman Barongan mengatakan bahwa seingatnya tokoh yang pertama kali mendirikan perkumpulan kesenian Barongan adalah Buyut Gendre dari Desa Dukuwidara Losari, Bapak Blonong, Bapak Rujuk, Bapak Tasjid, Bapak Tasang, Desa Sumber Babakan, Raji, Waryun, Sojat, Tarna, Tanggal, dan yang sekarang memimpin seni Barongan Dharma Bakti dari Desa Sumber Lor Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon adalah Kusir.

Kesenian Barongan termasuk pula kepada jenis kesenian pengamen yang menjajakan keahliannya di tempat-tempat ramai atau di depan rumah yang memerlukan. Kesenian ini tersebar di beberapa daerah di Kabupaten Cirebon, mereka mengamen di daerahnya sendiri dan pernah pula sampai ke daerah Kuningan. Kesenian Barongan dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya. Salah satunya adalah ketika warga etnis tionghoa merayakan tahun baru imlek. Ketika tahun baru Imlek tiba, Barongan mengamen ke rumah orang-orang Cina dengan menyajikan lagu-lagu khas Mandarin sebagai pembukaan yang mereka sebut Grambyangan tawar/grambyangan cokek. Muncar sangat menguasai lagu-lagu asli Mandarin. Terompet yang kini ia pegang konon adalah terompet cokek yang telah berusia tujuh turunan (kira-kira dua abad lebih).

Masyarakat pedesaan masa lampau menganggap Barongan dapat menolak segala penyakit yang menimpa kehidupan mereka, seperti halnya adegan Barongan mengelilingi rumah dan mengambil (menggigit) bantal kemudian dilemparkan ke atas genting berarti bantal dianggap sebagai sumber segala penyakit, dengan begitu Barongan mengusirnya jauh-jauh. Ada pula yang berkeyakinan untuk acara ruwatan, agar cepat mendapatkan jodoh dengan cara ngokop (diigit) oleh Barongan kemudian dimandikan.

Pemain pokok terdiri dari dua orang, yakni Barongan dan Pentul, sedangkan yang lainnya berfungsi sebagai wiyaga sebanyak sepuluh orang, seorang reserve pemain Barongan dan dua orang sebagai pembantu. Jadi jumlahnya sebanyak lima belas orang. Sebagai catatan bahwa anggota kesenian Barongan tidak terdapat wanita, semua dilaksanakan oleh kaum pria.

Waditra yang dipergunakan terdiri dari terbang besar berdiameter satu meter, terbang kecil diameter 45 sentimeter, gong terbuat dari bambu yang ditiup, terompet sebagai melodi, kecrek dan kendang sebagai penentu irama. Waditra Barongan zaman kini mengembang menjadi Saron I, Saron II, Penerus, Bonang, Tutukan, Gong dan Kecrek. Lagu-lagu yang dialunkan dan diiringi waditra selama pertunjukan terdiri dari Ura-ura, Simanggurit, Betet ijo, Mendung Lor Peteng Kidul.

Urutan pertunjukan kesenian ini yaitu pertama-tama dibuka dengan mulai ditabuhnya gamelan dengan lagu ura-ura. Ketika itu pula, Barongan menari mengikuti irama gending yang sangat dinamis sambil menirukan bunyi binatang (burung). Musik berhenti, Barongan dialog dengan wiyaga tentang kepandaian. Barongan menirukan suara burung. Barongan mulai lagi menari, kali ini lebih dinamis yang mampu memukau penonton. Irama musik dinaikkan. Barongan masuk rumah kemudian mengambil bantal dan melemparkannya ke atas genting. Barongan kembali menari. Setelah itu lagu diganti dengan lagu Simanggurit. Pelaku Pentul keluar dan menari, Barongan berdiam. Pentul berdialog dengan wiyaga tentang karawitan. Pentul menari. Petul dialog dengan wiyaga tentang kehidupan sosial. Setelah itu lagu diganti lagi. Lalu Barongan dikucuri air kembang. Pentul menari, Barongan siap-siap menghadapi Pentul. Barongan berdialog dengan Pentul. Barongan perang dengan Pentul. Dan diakhiri dengan pemenggalan barongan.

Menyimak seluruh pertunjukan Barongan, setiap gerakan itu tidak luput dari makna kehidupan manusia yang hanya bisa bergerak karena ada roh di dalamnya. Jika roh sudah kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa maka raga akan tertinggal dan tidak berarti apa-apa. Dengan demikian manusia tidak boleh mempunyai rasa berkuasa lebih daripada yang lain karena kelak ajal akan menjemputnya dan tak seorang pun dapat melarikan diri dari mati. Maka dari itu, Barongan juga digambarkan sebagai kurungan (raga manusia).

Kesenian Barongan yang kini bisa disaksikan sudah bergeser fungsi, waditra sudah mengalami pengembangan. Begitupun lagu-lagunya sudah disesuaikan untuk memenuhi selera penonton. Masyarakat sudah terlalu banyak tersentuh oleh hadirnya kebudayaan lain sehingga perhatian terhadap Barongan memudar. Ditambah lagi, perhatian jajaran birokrat amat kurang. Kini berbagai seni tradisi seolah sedang antre menunggu urutan masuk ke dalam sebuah “kamp” bernama kepunahan.