KETEGUHAN PEMIMPIN DALAM MENEGAKKAN KEADILAN : KAJIAN KANDUNGAN WAWACAN HIKAYAT ABDUSSAMAD THE FIRMNESS OF THE CALIPH TO BUILD THE SENSE OF JUSTICE :

Oleh : Dr. I. Syarief Hidayat, M.S.

ABSTRACT
The Islamic Sundanese Manuscript (Naskah Sunda Islami, NSI) is the manuscript that contains various information of the lives of the Sundanese people in the past. NSI resulted from the development of writing culture using Arabic characters. Among NSI were a number of the manuscripts of the story which functioned as a medium of Islamic missionizing apart from the entertaiment means. Among this manuscripts of the story is “The Manuscript of the Story of Abdussamad”, which is the collection of the National Library of the Republic of Indonesia, which the catalog number SD 144. The manuscript contains the historical stories which depict the model values and lessons. As a model, Umar is the strong-hearted and firm Caliph as well as the father had tried to enforce the law of Allah in the fair and wise according to the law. As a precious lesson, however strong his faith was and however pious he was, Abdussamad the son of the Caliph Umar was powerless againt liquor which made him drunk and finally committed adultery. Another precious lesson was that Abdussamad got him faith back by repenting and asking Allah for forgiveness and by patiently receiving worldly punishment according to the law which freed him from the funishment of the hereafter. The content of this historical story is very useful as a precious lesson for those in authority, particularly the law enforcers whose duty is to enforce the law in the right, fair, and wise manner and this will in turn give positive impact to anything related to both individual and collective lives.
1
Pendahuluan
Naskah (manuskrip) merupakan kekayaan peninggalan tertulis yang memuat berbagai informasi mengenai kehidupan masyarakat masa silam; naskah juga memberikan gambaran mengenai kehidupan intelektual dan spiritual mereka. Di antara peninggalan tertulis itu adalah naskah-naskah Sunda yang masih tersimpan di tempat penyimpanan, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian besar dari naskah-naskah itu merupakan naskah Sunda Islami (NSI), yaitu naskah-naskah karya tulis masyarakat Islam di Tatar Sunda, khususnya karya masyarakat pesantren dari abad ke-18 sampai abad ke-20 (Ekadjati, 1988 : 9) .
Naskah Sunda Islami (NSI) seperti juga Naskah Nusantara Islami lainnya mudah dibedakan dengan melihat ciri-cirinya pada keempat aspek utamanya, yaitu kandungan isi, aksara, bahasa, dan bahan yang digunakan. Ciri NSI dari isi kandungya berupa ajaran Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan keislaman, yaitu al-Quran, ‘aqidah, syari’ah, akhlak (tata-pergaulan), tasawuf, hikayat/ kisah, dan catatan pribadi. Dari segi aksara adalah penggunaan aksara Arab atau aksara Pegon, dari segi bahasanya adalah penggunaan bahasa Arab dan bahasa Sunda, dari materialnya adalah pada bahannya, yaitu pertama kertas yang paling banyak dan kedua deluwang (Hidayat, 2007 : 1-4).
NSI lahir dari tingginya aktivitas pendidikan Islam, khususnya di pesantren-pesantren di Tatar Sunda. Aktivitas ini dimulai dari belajar membaca al-Quran (Yunus, 1979 : 34) dan selanjutnya belajar membaca kitab-kitab keagamaan. Perjalanan panjang dari aktivitas ini telah melahirkan budaya menulis dan menyalin dengan aksara Arab dan aksara Pegon. Budaya menulis dan menyalin ini berkembang sehubungan dengan kebutuhan masyarakat pesantren terhadap kitab-kitab yang dijadikan sumber pelajaran dan sumber acuan dalam proses belajar-mengajar di lingkungan ini. Kitab-kitab tersebut merupakan kitab klasik yang meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal (Dhofier, 1982 : 50). Aksara Arab/Pegon merupakan satu-satunya aksara yang dikenal masyarakat pesantren di Tatar Sunda pada masa silam. Selanjutnya budaya menulis berkembang meluas untuk kepentingan lainnya, termasuk untuk penulisan dan penyalinan teks-teks cerita, baik cerita yang disadur dari kisah di tanah Arab, maupun cerita lokal (Hidayat , 2007 : 11).
2
Budaya menulis dan menyalin dengan aksara Arab telah melahirkan banyak naskah yang kita temukan saat ini. Berbagai katalog, baik yang disusun oleh perseorangan dari kalangan asing dan pribumi, maupun lembaga pemerintahan dan museum-museum membuktikan besarnya jumlah naskah-naskah Islami. Salah satu naslkah dari NSI adalah naskah Wawacan Hikayat Abdussamad.
Naskah Wawacan Hikayat Abdussamad (WHA)
Cerita dalam NSI umumnya berupa cerita sejarah yang mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad SAW (Shalallahu ‘Alaihi Wasallam), para Nabi, sahabat-sahabat Nabi, dan tokoh-tokoh Islam yang menarik untuk disimak oleh masyarakat saat itu. Naskah-naskah ini pada masanya berfungsi sebagai bahan hiburan yang dibacakan pada upacara-upacara dalam siklus kehidupan seperti kelahiran, pernikahan dan syukuran. Di samping itu, NSI cerita sejarah juga berfungsi sebagai media dakwah Islamiyah yang cukup efektif dalam menanamkan nilai Islami pada masyarakat dan pembinaan moral/akhlak mulia (akhlakul karimah) bagi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan para gegeden (pejabat) sampai rakyat biasa (Lihat Tjandrasasmita, 2006 : 64-69).
Di antara NSI yang berisi cerita sejarah adalah naskah Wawacan Hikayat Abdussamad (WHA), sebuah naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) bernomor katalog SD 144. Dalam Naskah Sunda karya Edi S.Ekadjati (1988 : 107) naskah ini tercantum pada kelompok Koleksi Museum Nasional (PNRI sekarang) bernomor 261 dengan judul : Wawacan Hidayat Abdul Samad (terdapat kesalahan cetak kata hikayat ditulis hidayat). Naskah ini memiliki kondisi fisik masih baik berbahasa Sunda berbentuk pupuh (puisi), ditulis di atas kertas Eropa, tebal naskah 35 halaman, berukuran 20,7 x 17 cm, beraksara Pegon yang berukuran sedang, berkualitas tulisan cukup baik dengan ukuran perhalaman 18 x 12 cm, setiap halaman terdiri atas 13 baris (kecuali halaman akhir 8 baris).
Naskah ini memaparkan suatu rangkaian cerita pada masa Khulafa al-Rasyidin, yang menggambarkan bagaimana Khalifah Umar bin Khattab menjalankan pemerintahannya dengan baik, adil dan bijaksana, serta melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan
3
menunjukkan kekokohan dan keajegan iman. Khalifah Umar juga berusaha keras untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai tema sentral dalam ajaran Islam (IAIN Banten, 2006 : 55), serta menerapkan hukum yang berlaku bagi semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, termasuk bagi putranya sendiri, Abdussamad saat putranya yang salih dan sangat beliau sayangi itu tergelincir melakukan kesalahan akibat ulah wanita Yahudi.
Ringkasan cerita WHA dapat dikelompokkan pada 8 (delapan) paparan dalam alur sebagai berikut:
Pertama, alkisah seorang khalifah (pemimpin umat) bernama Umar bin Khattab, yang dikenal dengan gelar Al-Faruq berarti “pejuang kebenaran dari kebatilan” dan Amirul mu’minin atau Komandan orang-orang beriman (Yatim, 2000 : 37), memiliki dua orang putra berusia remaja yang sangat disayangi, pertama bernama Abdullah dan kedua bernama Abdussamad. Abdussamad yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini dikenal berparas tampan, bersuara indah, yang sangat tampak saat ia membaca dan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, ia sangat disayangi dalam lingkungannya. Suatu ketika suasana menuntut penghuni negeri itu melakukan perang sabil, dan Abdussamad mengusulkan kepada ayahnya untuk ikut serta dalam perang tersebut. Permintaannya itu pada mulanya ditolak, karena ia dianggap masih sangat muda, tetapi karena keinginannya yang keras, akhirnya permintaannya dikabulkan juga. Pada saatnya tiba, Abdussamad pun berangkat bersama pasukan ayahnya ke medan perang. Pada pertempuran itu pasukan Khalifah Umar meraih kemenangan.
Pasukan Khalifah Umar akan melanjutkan perjalanan melawan musuhnya yang lain, Khalifah Umar menyuruh salah seorang prajuritnya untuk menyampaikan surat ke Madinah, dan Abdussamad pun diikutsertakan. Tetapi setelah tiba di Madinah, ia jatuh sakit. Khalifah pun menyempatkan pulang untuk melayatnya, ia menyuruh putranya membaca ayat-ayat al-Qur’an, membawanya ke makam Rasulullah, dan menyuruhnya berkhutbah di Mesjid Haram (Nabawi). Suaranya terdengar begitu indah dan fasih, demikian mendalam bahasannya menyentuh hati pendengar dan tidak sedikit diantara mereka yang mencucurkan air mata. Karena kelebihannya itu, dalam hati Abdussamad
4
yang salih itu terbersit pikiran dan kekhawatiran adanya rasa takabur dalam dirinya. Ia memohon ampunan Allah dari sifat buruk tersebut.
Kedua, suatu hari Abdussamad mohon izin untuk pergi meninggalkan ayah, ibu, dan saudaranya untuk mencari orang yang dapat mengobati penyakit yang dideritanya. Ia berangkat tanpa arah yang dituju, ia berjalan menelusuri tebing-tebing batu, dan sampailah di suatu perkampungan, kemudian ia menuju sebuah rumah. Ia disambut dengan baik dan ramah oleh pemilik rumah yang ternyata adalah seorang Yahudi yang mengetahui bahwa yang datang itu adalah putra Khalifah. Dalam obrolannya ia mengutarakan keadaannya yang sakit, dan kepergiaannya untuk mencari orang yang dapat mengobatinya sampai sembuh. Dengan disertai kata-kata sumpah, Yahudi itu berjanji bahwa ia sanggup menyembuhkan penyakitnya dengan obat yang dimilikinya. Abdussamad demikian percaya dan ia berjanji akan membayar berapa pun harga obat itu. Tak lama kemudian Yahudi itu mengambil sebotol obat dan menuangkannya ke dalam gelas, lalu diserahkannya kepada Abdussamad. Tanpa banyak bertanya dan dengan penuh harapan Abdussamad pun meminumnya. Namun setelah selesai minum Abdussamad tersadar, ia merasakan sesuatu yang lain, bahwa yang diminumnya bukan obat tetapi arak, suatu minuman haram yang semestinya ia hindari, lalu ia memarahi Yahudi yang telah meracuninya, dan ia mulai merasa pusing, mabuk, hilang kesadarannya dan terjatuh pingsan. Cukup lama ia pingsan, dan begitu ia tersadar, ia pun berupaya keras mengeluarkan arak dari perutnya, tetapi usahanya itu tidak berhasil, lalu ia berkumur-kumur membersihkan sisa-sisa arak pada mulutnya. Dalam keadaan masih mabuk, ia pergi meninggalkan Yahudi dengan dipenuhi segala perasaan, penyesalan, cemas, dan takut karena perbuatan maksiat yang telah menimpa dirinya, ia meminum arak yang nyata-nyata diharamkan dan ia telah melanggar hukum Allah.
Ketiga, dalam keadaan seperti itu Abdussamad terus berjalan siang dan malam tanpa arah yang dituju, dan akhirnya sampailah di sebuah perkampungan, ia melihat sebuah rumah yang pantas dijadikan tempat istirahat, lalu ia hampiri dan setelah mendapat izin ia pun masuk. Penghuni rumah itu adalah seorang laki-laki Yahudi bersama putrinya. Ketika Abdussamad masuk, suatu pemandangan tampak di matanya, seorang wanita cantik berbaring di ranjang tertutup kelambu. Yahudi itu mengetahui siapa anak muda
5
yang datang bertamu, lalu ia menyuruh putrinya melayani anak muda itu. Wanita itu berusaha merayu Abdussamad yang sedang hilang kesadarannya, dan usahanya berhasil, lalu tidurlah mereka bersama sampai pagi. Pada pagi harinya Abdussamad tersadar dan ia sangat kaget, ia mengingat-ingat mengapa ia berada di tempat itu, mengapa dirinya berada dalam pelukan seorang wanita, kemudian ia berusaha melepaskan diri dari pelukan wanita itu, ia marah sekali dan memaki-makinya. Abdussamad menangis keras dengan penuh penyesalan, ia telah terjerumus pada perilaku fasik yang dimurkai oleh Allah, lalu ia baca istighfar memohon ampunan Allah. Ia ingat akan dua ayat al-Qur’an yang berisi larangan mendekati zina dan hukumannya berupa seratus cambukan (al-Quran, al-Isra : 32; An-Nur : 2). Ia segera mandi membersihkan diri, lalu ia lakukan shalat subuh, ia tersungkur bersujud di hadapan Allah, ia berdoa dan terus-menerus memohon ampunan Allah.
Keempat, singkat cerita akhirnya wanita Yahudi itu hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Dengan kehadiran bayi itu ia beserta keluarganya sangat bahagia karena bayi itu seorang anak terhormat anak keturunan penguasa dan bangsawan. Ketika bayi itu telah berusia tiga bulan, wanita itu membawanya menghadap Khalifah Umar, ia berdiri di depan pintu Masjid al-Haram menunggu Khalifah keluar dari masjid setelah menunaikan shalat, begitu Khalifah keluar ia langsung mengutarakan maksudnya, bahwa bayi yang dibawanya adalah cucu Khalifah putra Abdussamad, dan ia datang hendak menyerahkannya di pangkuan Khalifah Umar. Sungguh kaget Khalifah mendengar pernyataan wanita itu, dan ia marah luar biasa, ia merasa tidak dihormati, bahkan dipermalukan oleh perempuan itu. Lalu wanita itu menunjukkan bukti-bukti berupa kemiripan paras bayi dengan paras Abdussamad yang tampan bercahaya, dan ia pun menceritakan rangkaian peristiwa yang pernah terjadi sampai dengan kelahiran bayi itu. Walaupun dalam keadaan marah, akhirnya Khalifah sadar dan ia menerima bayi itu sebagai cucunya, lalu ia memberi wanita itu empat puluh keping uang dinar dan pakaian yang bagus untuk bayinya, dan ia pun menyuruh wanita itu pulang membawa kembali bayi bersamanya, dan ia menjanjikan akan memberikan uang untuk biaya hidup bayi dan biaya hidup yang mengurusinya.
6
Kelima, Khalifah membicarakan masalah putranya dalam pertemuan dengan para pejabat negeri itu. Para pejabat negeri itu sepakat untuk melindungi Abdussamad, dan menyarankan agar Khalifah bersabar serta mempelajari kasus ini dengan teliti dan bertindak dengan seksama, karena tidaklah mustahil bahwa berita itu merupakan fitnah, dan kalaupun peristiwa itu benar, perlu dipertimbangkan bahwa semua itu dilakukan oleh Abdussamad karena tipu-daya Yahudi, dan perzinaan yang dilakukannya merupakan perbuatan tanpa niat, berada di luar kesengajaan, dan dalam keadaan tidak sadar diri. Namun Khalifah tetap bertekad akan melaksanakan hukum Allah dengan adil, akan menegakkannya kepada siapa pun pelakunya. Ibunya menangis dalam kesedihan mendalam, ia merasa turut menanggung dosa putra kesayangannya, dan ia memohon agar Khalifah (ayahnya) memaafkannya dan memberinya ampunan. Tetapi semua itu sedikitpun tidak mengubah tekad Khalifah untuk menegakkan hukum sesuai dengan syariat Islam.
Keenam, kini tibalah saatnya hukuman dilaksanakan, Abdussamad dibawa oleh Khalifah ke tempat hukuman dengan berjalan melewati perkampungan dan pasar, disaksikan oleh banyak orang. Mereka menyayangi Abdussamad, mereka turut bersedih mengkhawatirkan nasib putra Khalifah itu, mereka pun menyesalkan keputusan Khalifah yang memutuskan hukuman tanpa ada pertimbangan sedikitpun. Abdussamad berjalan menuju tempat hukuman sambil menangis, ia berjalan didampingi oleh ayahnya, begitu tiba di tempat eksekusi, hukuman pun siap dilaksanakan, dan Khalifah langsung menyuruh Aflah (petugas eksekusi) untuk segera melaksanakan tugasnya. Ia menegaskan bahwa hukuman cambuk harus dilaksanakan sesuai dengan hukum syariat, baik dalam jumlahnya, maupun dalam ukurannya, dan petugas pelaksana hukuman tidak berhak mengurangi atau menambahnya sedikit pun. Hukuman pun dilaksanakan, disaksikan masyarakat negeri itu, setiap cambukan mengenai badan Abdussamad, darah tampak mengalir dari badannya, ia meringis kesakitan, tetapi hukuman terus berjalan. Namun melihat keadaan Abdussamad semakin parah, sungguh Aflah tidak tega melanjutkannya dan ia berhenti mengangkat cambuknya, ia tidak sanggup meneruskan tugasnya itu. Melihat keadaan itu Khalifah pun murka dan memaksanya untuk melaksanakan hukuman sampai tuntas, Khalifah sangat takut akan murka Allah, apabila
7
hukum tidak ditegakkan dan keadilan diabaikan (al-Quran, al-Maidah : 49). Dengan berat hati dan menahan perasaan yang menekan, Aflah pun melanjutkan tugasnya. Ketika cambukan telah mencapai enam puluh kali, Abdussamad sudah tidak berdaya, ibunya menangis keras, demikian luluh hatinya melihat nasib putranya, demikian pula para sahabat dan seisi bumi turut menangis sedih tiada tara. Ibunya memohon agar hukuman segera dihentikan, dan ia bernazar akan menggantinya dengan melaksanakan haji-umrah, akan bersidkah dua puluh mistqal, dan akan terus melaksanakan puasa. Tetapi Khalifah menolak semua permohonan itu, lalu ia mendekat kepada putranya yang sudah tidak berdaya, memberikan semangat kepadanya untuk bersabar dan taat akan hukum Allah, karena semua itu dilaksanakan atas dasar kasih-sayangnya yang besar pada dirinya, dan dengan cara demikian ia ingin menyelamatkan Abdussamad dari hukuman akhirat yang sangat berat.
Ketujuh, hukuman cambuk telah dilaksanakan seratus kali, Abdussamad hampir sekarat. Ali bin Abi Thalib menghadap Khalifah menyarankan agar hukuman segera dihentikan, hukuman seratus cambukan sudah cukup bagi Abdussamad, tetapi Khalifah menyatakan hukuman masih kurang empat puluh cambukan, karena anaknya selain melakukan perzinaan, ia juga telah meminum arak, yang menuntut hukuman empat puluh kali cambukan, lalu Aflah diperintahkan untuk melanjutkan pelaksanaan hukuman, sampai pada cambukan ketiga puluh Abdussamad membaca takbir (Allahu Akbar) dan ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Khalifah masih tetap menyuruh Aflah menyempurnakan cambukan sampai empat puluh cambukan. Hukuman pun disempurnakan dan pada saat itu terdengarlah suara dari langit yang didengar oleh semua orang. Suara itu menyuruh malaikat untuk menyambut kedatangan Abdussamad dan menyediakan surga yang indah baginya.
Kedelapan, merupakan paparan akhir menceritakan orang Yahudi yang meminumkan arak kepada Abdussamad dipanggil dan baginya ditetapkan hukuman sesuai dengan syariat Islam, dan hukuman dilaksanakan keesokan harinya. Suatu kejadian aneh terjadi, yaitu Khalifah beserta tiga pejabat lainnya yaitu Umar, Usman, dan Ali secara bersamaan bermimpi bertemu Nabi Muhammad yang sedang duduk berhadapan dengan Abdussamad, dan Abdussamad berkata kepada ayahnya, bahwa ia
8
telah mendapat rahmat Allah dan syafa’at Rasulullah. Ia lebih bahagia dengan kehidupan akhirat karena hukuman dunia dengan seratus empat puluh pukulan telah diterimanya dengan segala kepasrahan, kesabaran dan keridaan.
Keteguhan Pemimpin dalam Menegakkan Keadilan dan Nilai-nilai Keteladanan dalam WHA.
Inti dari kisah ini dapat disimpulkan adanya kandungan nilai-nilai keteladanan dan pelajaran berharga yang tertumpu pada tingkat keimanan dua tokoh utamanya, yaitu Khalifah Umar bin Khattab dan Abdussamad putranya. Dalam kisah ini banyak pelajaran yang dapat diambil bagi kehidupan individual, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan bernegara. Di samping itu, juga banyak nilai-nilai berharga yang bisa diambil dari pribadi dan perilaku Umar bin Khattab sebagai pemimpin, sebagai seorang ayah, dan sebagai seorang muslim, demikian pula dari pribadi dan perjalanan hidup Abdussamad sebagai seorang anak khalifah yang salih dan karena perjalanan hidupnya ia tergelincir pada perilaku salah dan dosa.
Pertama, keteladanan pada pribadi Khalifah Umar bin Kahttab
Umar bin Khattab adalah khalifah kedua dari Khulafa al-Rasyidin. Ia seorang khalifah yang memiliki latar belakang kehidupan hitam sebelum mendapat sinar Islam dikenal sebagai seorang yang paling ganas menentang N. Muhammad, ia seorang pemberani yang tidak mengenal takut dan gentar, memiliki ketabahan dan kemauan yang keras dan tidak mengenal bingung dan ragu. N. Muhammad termasuk yang memperhatikan karakternya, dengan harapan dan doanya agar Umar bin Khattab mendapat petunjuk Allah untuk menerima kebenaran Islam. Doa Nabi terkabul, lima tahun dari masa kerasulan Umar pun masuk Islam yang memiliki dampak yang sangat besar terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Pada akhir masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab merupakan sosok yang dipilih oleh Abu Bakar dan tokoh sahabat lainnya untuk menggantikannya, dan setelah diangkat menjadi khalifah kekuasaan Islam berkembang meluas dan mampu menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya di bawah kekuasaan Romawi dan Persia (Syalaby I, 2000 : 236-237).
9
Karena prestasinya yang gemilang, Michael H. Hart (1987 : 264-266) menempatkan Umar bin Khattab pada posisi ke-51 dari urutan seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Ia berani menempatkan Umar bin Khattab pada posisi ini karena kekagumannya pada keberhasilan Umar bin Khattab dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa memang akan merupakan kejutan- bagi orang Barat yang tidak begitu mengenal Umar bin Khattab- membaca penempatannya lebih tinggi dari orang-orang kenamaan, seperti Charemagne atau Julius Caesar dalam urutan daftar bukunya. Soalnya, penaklukan orang Arab di bawah pimpinan Umar bin Khattab jauh lebih luas, lebih tahan lama, dan lebih bermakna ketimbang apa yang diperbuat oleh kedua tokoh ini.
Kisah kepemimpinan yang bijaksana tetapi teguh dalam menegakkan hukum dan gambaran keteladanan Umar bin Khattab sejak dulu sampai kini banyak diungkapkan, baik dalam bentuk tulisan, maupun bentuk lisan, seperti dalam khutbah dan ceramah keagamaan. Namun demikian, Philip K. Hitti (2001 : 69) menuduh Umar sebagai khalifah bertabiat keras di antaranya ia pernah menghajar putranya yang suka mabuk dengan tangannya sendiri hingga mati. Naskah WHA merupakan salah satu dari pengungkapan keteladanan Umar bin Khattab. Dari delapan paparan di atas terdapat sejumlah pesan moral yang tergambar dalam pribadinya sebagai seorang khalifah, seorang ayah, dan seorang muslim.
(1) Sebagai seorang khalifah pemimpin umat, ia berusaha menegakkan keadilan dengan memberlakukan hukum bagi semua rakyat yang dipimpinnya, termasuk bagi anak kesayangannya (al-Quran, al-Maidah : 8); demikian keteguhan hatinya dalam melaksanakan hukum Allah, betapa pun beratnya tantangan yang dihadapinya dalam melaksanakan tugas suci ini, ia harus berjuang melawan perasaan kasih-sayang yang besar terhadap putranya, melawan hambatan dari keluarga dan para pejabat lainnya yang tidak menyetujui sikapnya. Dalam hal ini sangatlah pantas Umar bin Khattab menjadi teladan bagi para penegak hukum di mana dan kapan pun mereka berada.
(2) Sebagai seorang ayah, ia tetap menyayangi putranya dengan caranya sendiri, yaitu ia terapkan hukuman cambuk 100 kali karena melakukan perzinaan (Sabiq II, 1995 : 554) dan 40 kali karena meminum arak (Ibid : 542), tanpa pengurangan sedikitpun,
10
walaupun akibatnya dipastikan akan mengantar putranya pada kematian. Namun Umar yakin, bahwa langkahnya berada dalam jalan yang benar, dan kasih sayangnya pada putranya tetap dipertahankannya dalam bentuk lain, yaitu penyelamatan putranya dari hukuman akhirat yang lebih berat dan abadi.
(3) Sebagai seorang Muslim, betapa kuat dan kokoh imannya, betapa taat dan patuh kepada ketentuan Allah SWT, dan demikian takut melanggar ketentuan-Nya (al-Quran : al-Maidah : 44). Dalam situasi dirinya diliputi kemarahan yang berat, karena merasa dipermalukan oleh wanita Yahudi dan oleh perilaku putranya, namun ia mampu menguasai dirinya (al-Quran, Ali-Imran : 134), ia bisa berpikir jernih melaksanakan tugas kemanusiaan, dengan menerima bayi yang dinyatakan putra Abdussamad sebagai cucunya, dan ia serahkan semua hak bayi dan pengasuhnya tanpa pengurangan. Dalam hal ini sangatlah pantas Umar bin Khattab menjadi teladan bagi pribadi-pribadi yang mengaku dirinya beriman untuk mampu menguasai diri dalam keadaan apapun, sehingga segala kewajiban dapat dilaksanakan dengan baik tanpa mengganggu hak dari pemiliknya.
Kedua, pelajaran berharga dari pribadi Abdussamad
Abdussamad adalah anak seorang khalifah yang digambarkan sebagai seorang salih yang mendapat musibah yang berkaitan dengan perilakunya
(1) Sebagai seorang mukmin (orang beriman), digambarkan bahwa betapapun kuatnya iman seorang Abdussamad, dengan segala kesalihannya, namun ia adalah manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan (al-Quran, Ali Imran : 135), semua luluh hanya karena segelas arak yang mengakibatkan ia mabuk dan kehilangan kesadaran akan dirinya, dan pintu dosa lainnya pun terbuka lebar, dengan mudah ia lakukan perzinaan. Pelajaran berharga, yang dapat diambil dari kasus ini, bahwa betapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh minuman keras terhadap sikap dan perilaku manusia yang mengarah pada kerusakan moral dan runtuhnya nilai kemanusiaan.
(2) Sebagai seorang muslim (orang yang patuh) Abdussamad menunjukkan sikap kepasrahannya saat ayahnya menjatuhkan hukuman cambuk 140 kali. Kepasrahannya bukan hanya gambaran dari keimanannya yang kuat kepada Allah, tetapi lebih pada ketaatan dan kepasrahannya terhadap hukum Allah bagi dirinya. Pelajaran lainnya
11
adalah bahwa seorang muslim yang melakukan suatu perbuatan dosa, bukan berarti tertutupnya pintu ampunan dan pintu kebahagiaan abadi dan hakiki bagi dirinya, masih ada pintu keluar yang bisa dia lalui agar terlepas dari murka Allah dan terbuka kembali harapan kebahagiaan, yaitu pintu tobat yang telah disediakan oleh Allah untuk mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya (al-Quran, al-Furqan : 70).
(3) Sebagai seorang anak salih, Abdussamad menunjukkan kepatuhan dan hormat yang tinggi terhadap ayahnya (al-Quran, al-Isra : 23), dengan menerima seluruh keputusannya, batapapun keputusan itu mengantarnya ke pintu kematian. Ia tetap yakin, bahwa keputusan ayahnya sebagai khalifah adalah bagian dari kasih sayangnya yang besar yang akan membebaskannya dari hukuman akhirat yang sangat berat, sebagaimana diungkapkan dalam akhir cerita. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sabiq, Al-Sayyid. (1995). Fiqh al-Sunnah. Cairo, Mesir: Sy. Manar al-Dauliyah.
Behrend, T.E. (1998) ; Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.
Ekadjati, Edi Suhardi, (1988). Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian UNPAD [Universitas Padjadjaran].
--------- & Undang A. Darsa. (1999). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Jilid 5A, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hasymi, A. (1981). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Alma’arif.
Hidayat, Syarief. (2007). Usul al-Din dalam Naskah Sunda : Suntingan Teks dan Kajian Pemikiran Kalami, Bandung, Universitas Padjadjaran.
Hitti, Philip K. (2001). Sejarah Ringkas Dunia Arab, Yogyakarta : Iqra Pustaka.
Syalabi. (2000). Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra.
Tim Peneliti IAIN Sultan Maualan Hasanuddin (2006). Al-Mawahib Ar-Rabbaniyyah “an Al-As’ilah al-Jawiyyah dan Etika kekuasaan, dalam Naskah Klasik Keagamaan Nusantara II, Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan, Dep. Agama RI.
Tjandrasasmita, Dr. H. Uka; (2006) ; Kajian Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia; Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan, Dep. Agama RI.
Yatim, Badri. (2000). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Alquran. (1991). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah, Arab Saudi: Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd.
Yunus, Mahmud ; (1979) . Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Penerbit Mutiara.