Jangjawokan Nyadarkeun
oleh Reza Saeful Rachman
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“hana nguni hana mangke tan hana nguni tan hana mangke aya ma beuheula aya tu ayeuna hanteu ma beuheula heunteu tu ayeuna hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna aya tu catangana”
“ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu maka takkan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini bila tiada masa silam maka tiada pula masa kini ada tonggak tentu ada batang bila tak ada tonggak maka tak ada batang bila ada tunggulnya tentu ada catangnya” Kropak 632 kabuyutan ciburuy
Kutipan diatas seolah mengingatkan kita tentang amat bermanfaatnya masa dahulu untuk masa sekarang. Masa dahulu dapat kita jadikan sebuah cerminan atau sebagai pedoman hidup di masa yang akan datang. Begitu pula dalam pola tradisi, sebuah produk karya kebudayaan lama dapat berguna pula untuk pola kebudayaan masa kini.
Pada dasarnya, karya kebudayaan lama adalah artefak, teks, dan benda. Karya tersebut ada yang bersifat auditif, visual, adapula yang bersifat auditif visual. Karya tersebut berkomunikasi melalui sebuah subjek melalui potensi-potensinya. Sebelum melakukan analisis terhadap suatu karya kebudayaan lampau, ada baiknya kita kenali dahulu potensi-potensinya. Dari situ baru dapat kita kenali bentuknya, pemahamannya, pemaknaannya, perasaannya, pemanfaatannya, serta fungsinya. Karena sebuah karya budaya lama mungkin diciptakan beratus, bahkan beribu tahun yang lampau.
Karena karya kebudayaan lama diciptakan pada masa lampau yang bersifat mengkomunikasikan gagasan atau pengalaman, maka alamat komunikannya adalah masyarakat pada zamannya pula. Apabila kita sebagai komunikan yang “modern“ ingin melakukan penganalisisan terhadap karya lama tersebut, maka kita pun harus melakukan pembacaan karya tersebut melalui pendekatan konteks kebudayaan pada masa aslinya. Jika tidak, maka penganalisisan tersebut hanya sia-sia belaka.
Folklor adalah salah satu kajian keilmuan yang dipergunakan sebagai acuan penganalisisan sebuah karya budaya lama. Folk sama artinya dengan kolektif. Alan dundes seorang ahli folklor (dalam james danandjaja: 1986) menyatakan bahwa folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Folk biasanya memiliki tradisi, yakni sebuah budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun. Sedangkan yang dimaksud lore adalah tradisi dari folk, yaitu sebagai kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Dalam makalah ini, saya akan melakukan analisis terhadap salah satu mantra dari wilayah tatar sunda yaitu jangjawokan nyadarkeun. Jangjawokan adalah semacam mantra dari tatar sunda yang memiliki proses komunikasi secara khusus dan memiliki tujuan khusus pula. Jangjawokan nyadarkeun disini adalah sebuah jangjawokan yang di pergunakan untuk menyadarkan kembali keadaan orang yang kesurupan untuk kembali ke keadaan semula. Jangjawokan ini biasa digunakan oleh seorang malim (pawang dalam kesenian benjang) dalam kesenian benjang helaran. Sebelum melakukan analisis terhadap jangjawokan nyadarkeun sebagai salah satu kesatuan dalam kesenian benjang helaran, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu asal muasal dari kesenian benjang helaran secara singkat.
Benjang helaran adalah salah satu bagian dari kesenian benjang secara luas. Benjang helaran merupakan arak-arakan sebelum melakukan benjang gelut. Dalam perkembangannya, benjang helaranpun dipergunakan sebagai pendukung penghibur dalam beberapa acara seperti khitanan, kawinan, hari besar nasional, dll.
Kesenian ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1938, yakni 18 tahun setelah masa awal kelahiran seni benjang gelut. Seni ini dikembangkan oleh beberapa tokoh kesenian ubrug dan doger diantaranya adalah al wasim dari kampung ciwaru ujungberung dan asnarif dari cigupakan ujungberung. Kesenian ini mengalami masa kejayaan pada awal tahun 1950 hingga akhir tahun 1965. hanya samapi akhir tahun 1965 karena oleh pemerintah republik indonesia pada masa itu, kesenian benjang helaran dianggap sebagai salah satu kesenian berideologi kiri yang digagas oleh LEKRA. Baru setelah tahun 1990 kesenian ini mulai merangkak kembali sejalan dengan agak melunaknya sikap presiden terhadap beberapa kesenian yang pada awalnya dianggap sebagai seni yang bermuatan paham komunis.
Dalam prosesi kesenian ini, yang paling ditunggu adalah saat para pemain kesenian benjang helaran ini mengalami kesurupan. Untuk menyadarkan kembali para pemain tersebut, maka dibutuhkan sebuah ritual pengembalian kembali keadaan si pemain ke keadaan sebelum kesurupan (sadar).
Pengembalian atau penyadaran kembali pemain yang kesurupan dilakukan dengan membaca sebuah mantra yang ditengarai memiliki semacam kekuatan magis yang dapat berhubungan dengan dunia roh atau dewa (mitis). Mantra tersebut adalah mantra jangjawokan nyadarkeun yang penulis pilih sebagai objek kajiannya karena penulis merasa amat tertarik dengan bentuk, pemaknaan, pemanfaatan, historitas, penggunaan, dan fungsi dari mantra tersebut. Penulis menjadikan objek tersebut sebagai kajian dalam ilmu folklor yang sedang penulis pelajari. Yaitu melakukan analisis terhadap bentuk-bentuk folklor. Salah satunya adalah mantra yang tidak lain adalah salah satu jenis puisi atau sajak tradisional.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dijabarkan dalam bentuk pertanyaan analisis sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur mantra jangjawokan nyadarkeun?
2. Apa fungsi dari mantra jangjawokan nyadarkeun?
3. Lingkungan masyarakat mana yang masih mempergunakan mantra ini?
4. Kapan mantra jangjawokan nyadarkeun dibacakan?
5. Mengapa jangjawokan ini dipergunakan dalam kesenian benjang helaran?
1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai penulis dalam pembuatan makalah ini yakni:
1. memahami mantra jangjawokan nyadarkeun secara mendasar
2. mengetahui fungsi sintaksis dari mantra jangjawokan nyadarkeun
3. menggali nilai- nilai dalam mantra jangjawokan nyadarkeun
4. memahami isotopi-isotopi tema dalam mantra jangjawokan nyadarkeun
5. mengetahui konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi serta makna
1.4 Manfaat
Setelah melakukan analisis dan menyusun makalah, ada beberapa manfaat yang penulis rasakan antara lain:
1. lebih memahami wawasan dan pengetahuan dalam bidang kesusastraan
2. lebih memahami bentuk-bentuk folklor
3. menambah pengalaman
II
ANALISIS
2.1 Jangjawokan Nyadarkeun
Mantra terdapat di setiap kesusastraan daerah di seluruh indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhannya, diperlukan kata-kata pilihan yang dinilai memiliki kekuatan gaib sebagai ritual yang oleh penciptanya dianggap dapat mempermudah proses kontak dengan Tuhannya.dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap dapat dipenuhi oleh Tuhannya.
Teks yang dianalisis merupakan teks mantra berupa jangjawokan yang diperoleh dari Bapak Ucun atau Bah Ucun, seorang seniman senior kesenian benjang sekaligus pimpinan dari kelompok seni benjang mekar budaya. Beliau beralamat di kampung cipatat, desa ciporeat, kecamatan cilengkrang, kabupaten bandung. Mantra jangjawokan yang dianalisis adalah jangjawokan nyadarkeun. Mantra tersebut digunakan beliau ketika berperan sebagai malim (pawang) dalam kesenian benjang helaran. Mantra jangjawokan tersebut diawali basmallah dan diakhiri kalimat tauhid (kebudayaan islam), sedangkan isi menggunakan bahasa jawa cirebon (kebudayaan asli). Konon pada awalnya mantra ini digunakan oleh leluhur kita (masih mantra asli belum dibubuhi kebudayaan islam -masih kebudayaan asli) untuk mengusir roh-roh yang kerap menganggu masyrakat tatar sunda. Karena dalam kepercayaan masyarakat sunda buhun, tatar sunda dahulunya adalah tanah tempat tinggal para dewa, roh, serta lelembut. Lalu setelah sekian lama, sunan gunung jati mempergunakannya untuk mengalahkan kekuatan ilmu hitam di jawa barat. Karena benjang awalnya merupakan perkembangan dari seni terebangan yang notebene adalah kesenian bercorak islam, maka mantra jangjawokan ini pula yang digunakan sebagai pengusir roh halus pada kesenian benjang.
Seperti disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa mantra jangjawokan ini diawali kalimat basmallah serta diakhiri dengan kalimat tauhid. Sedangkan isi dari jangjawokan berisi mantra asli (kejawen) berbahasa jawa cirebon. Ini memberi informasi bahwa ternyata pada zaman perkembangan awal agama islam, proses islamisasi belum menyentuh ke fondasi, substansi, aqidah, atau iman yang sebenarnya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengislaman oleh wali sanga baru secara sederhana, tidak radikal, dan masih memanfaatkan kebudayaan masyarakat sebelumnya yang masih menonjolkan mistik. Ini tidak hanya terjadi pada proses penyebaran agama islam di jawa barat, sunan kalijaga pun menggunakan mantra-mantra yang bersifat kejawen (kebudayaan asli) pada proses penyebaran agama islam di nusantara seperti melalui kidung rumeksa ing wengi dan tembang ilir-ilir.
Pada realitasnya, sebelum budaya islam masuk ke pulau jawa, masyarakat terdahulu lebih mengenal konsep budaya mitis atau boleh pula kita sebut “budaya asli” masyarakat jawa. Konsep budaya ini berakar pada kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, sebuah kesatuan yang imanen dan transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh atau dengan dunia para dewa (hyang).
Prinsip hidup masyarakat yang hidup pada zaman yang “mendewakan” kemitisan adalah selalu selaras dengan kosmos-Nya(dewa atau roh), maka tidak dapat secara sembarang sebuah budaya baru memasuki “pemikiran asli” atau kepercayaan asli mereka.
Menurut Jakob Sumarjo, perlunya kita merekonstruksi ulang tentang sistem kepercayaan purba nenek moyang kita sebagai suatu keutuhan, sehingga kita memiliki pegangan untuk melakukan pemaknaan dalam bentuk budaya yang mereka hasilkan. Tanpa ini, pemaknaan terhadap estetika produk kebudayaan tradisional dapat disamakan dengan pemaknaan praktis di masa sekarang.
Bagi masyarakat mitis, alam merupakan prioritas tidak hanya karena keindahan atau keelokannya. Tapi juga karena kedahsyatannya, keagungannya, terlebih lagi karena alam itu ada.dalam alam pemikiran masyarakat mitis, estetika adalah selaras dengan kosmos dan estetika dapat membantu sebuah pencapaian nilai religius. Pengalaman religius dapat diperolah setelah proses berestetika selesai.
Pengalaman religius mitis dapat kita rasakan saat melihat peninggalan-peninggalan masyarakat purba, mendengar goong renteng, menyaksikan kesenian tarawangsa, mendengar mantra asihan, atau saat menyaksikan kesenian benjang helaran. Sebagian orang merasa bahwa seni-seni tersebut sangat membosankan. Akan tetapi adapula sebagian orang yang terpesona oleh daya transendental yang ada di dalamnya. Saat si pelaku seni ada yang mengalami kesurupan, biasanya mereka terasuki oleh roh-roh atau dangiang(lelembut), penonton akan merasakan sebuah pengalaman antara pengalaman estetis dan pengalaman magis. Disitulah pengalaman religius “kepercayaan asli” muncul.
Jika dalam sebuah kejadian yang sifatnya berdaya magis atau mitis (kebudayaan asli) seolah sudah tak terkendali, maka keadaan itu harus dinetralisir kembali oleh kebudayaan asli itu sendiri. Seperti dalam kesenian benjang helaran, para pemain yang mengalami kesurupan disadarkan kembali oleh mantra jangjawokan nyadarkeun.
2.1.1 Analisis Struktur Teks jangjawokan nyadarkeun
Analisis struktur teks terhadap teks jangjawokan nyadarkeun antara lain: formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, gaya bahasa, dan tema. Berikut penyajian teks jangjawokan nyadarkeun:
Teks Asli:
(1) Bismillahirrahmannirrahim
(2) gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku
(3) teka wedi teka gemeter kang sengit maringku
(4) teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku
(5) la ilaha illah Muhammaddarrosullullah
Terjemahan:
(1) Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
(2) gajah badak macan galak
semua beranak dimulutku
(3) datanglah takut datanglah gentar
bagi setiap orang yang benci kepadaku
(4) datanglah rasa cinta datanglah rasa kasih
dari semua orang
yang mendengar ucapanku
(5) tiada tuhan selain allah
bahwa muhammad adalah utusannya
2.1.1.1 Formula Sintaksis
Mantra jangjawokan nyadarkeun terdiri atas 5 larik. Secara keseluruhan, penulis pertama-tama akan mencoba menganalisis tataran formula sintaksis, terutama aspek fungsi, kategori, peranan komponen-komponen teks mantra jangjawokan tersebut.
Larik pertama merupakan kalimat basmallah (selalu diucapkan umat islam sebagai penanda awal suatu proses kegiatan) sebagai pembuka, sedangkan kalimat yang pertama akan saya analisis fungsi sintaksisnya adalah larik ke-2 /gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku/ yang merupakan kalimat yang dibentuk dengan konstruksi S-P . larik ini terdiri dari 7 kata dan terdiri dari 16 suku kata. Gajah warak macan galak menempati fungsi sebagai fungsi subjek yang berkategori kata nomina (kata benda). Sedangkan anak-anak ing lambeku menempati fungsi predikat yang berkategori frase preposisi.
Analisis sintaksis Gajah warak macan galak Anak-anak ing lambeku
Fungsi S P
Kategori N Frasa preposisi
Peran penderita perbuatan
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa frasa gajah warak macan galak merupakan subjek pada konstruksi kalimat yang berkategori kata benda (Nomina). Peran dari subjek ini adalah sebagai penderita karena merupakan jawaban dari apa yang predikat. Anak-anak ing lambeku. Predikat sendiri berkategori frasa preposisi karena ada kata ing- yang berarti di-.
Kalimat kedua pada teks jangjawokan nyadarkeun adalah /teka wedi teka gemeter kang sengit maringku/. Konstuksi kalimatnya adalah:
P - K
↓
P - S = P – S
Dapat dilihat bahwa kalimat ini merupakan kalimat majemuk. Dimana kalimat /teka wedi teka gemeter/ yang merupakan predikat mempunyai fungsi turunan P1-S1 =P2-S2. Fungsi turunan dari P adalah teka sebagai P1 dan wedi sebagai S1. Sedangkan P2 adalah teka dan S2-nya adalah gemeter. Sedangkan /kang sengit maringku/ merupakan K alias keterangan. Kalimat pada larik kedua merupakan kalimat inversi karena P diletakan di awal kalimat.
Struktur larik ketiga hampir sama dengan larik kedua yaitu sama-sama merupakan kalimat inversi. Larik ketiga adalah /teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku/ yang mempunyai fungsi utama P-S dimana /teka welas teka asih/ sebagai P dan /sakabehe wong kang kerungu omongku/ sebagai S.
Kalimat terakhir untuk jangjawokan ini adalah kalimat tauhid yaitu la ilaha illaha Muhammaddarrosullullah. Larik ketiga dapat disebut sebagai penutup dan berupa berupa pengikraran.
Mantra jangjawokan nyadarkeun ini secara garis besar memiliki 4 unsur atau bagian yaitu unsur tujuan , unsur pembuka, unsur penutup, dan unsur sugesti.
Unsur tujuan dalam jangjawokan ini terlihat pada /teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku/. Unsur tujuan ini merupakan semacam intisari dari struktur teks mantra tersebut. Dimana tujuan membaca jangjawokan ini adalah sebagai penyadar dengan cara mendatangkan rasa cinta dan rasa kasih kepada semua orang yang mendengar ucapan si pengamal.
Unsur pembuka. Unsur pembuka untuk jangjawokan ini adalah pada kalimat basmallah. Sudah terkonvensi dalam ajaran islam bahwa bacaan basmallah adalah pembuka atau awal dari berbagai hal. Begitu pula dalam jangjawokan ini yang merupakan jangjawokan hasil percampuran antara budaya islam dan budaya asli.
Unsur sugesti adalah unsur yang berisi kalimat majasi atau analogi yang dianggap memilki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan daya magis atau mitis. Pada jangjawokan nyadarkeun unsur sugesti terdapat pada kalimat gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku yang berarti gajah badak macan galak semuanya beranak dalam mulutku. Gajah badak dan macan disini adalah sebutan untuk roh-roh yang waktu itu dikenal di tatar pasundan karena waktu itu daerah tatar pasundan dekat dengan kehidupan pertanian dan sebagian masih berupa hutan rimba.
Unsur penutup pada jangjawokan ini adalah pada larik terakhir yang berisi kalimat tauhid. Kalimat ini seolah merupakan pengikraran bahwa dalam agama islam hanya satu tuhan yang di tuhankan yaitu Allah s.w.t dan rasulnya adalah nabi besar Muhammad s.a.w
2.1.1.2 Formula Bunyi
Rachmat joko pradopo menyebut bahwa dalam pembahasan mengenai bunyi pada puisi (dalam kajian ini yaitu mantra) atau sajak meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek yang ditimbulkannya pada teks. Pada jangjawokan nyadarkeun asonansi yang amat dominan adalah pada suara vokal /a/.
Karena larik pertama pada jangjawokan ini adalah bacaan basmallah, saya kira rata-rata setiap pemeluk agama islam telah mengetahi formula bunyi bacaan basmallah yang didominasi vokal /i/ memberikan efek ringan dan berirama sehingga mempermudah proses penghapalan.
Pada larik kedua yang dominan adalah bunyi vokal /a/, yang dikombinasikan dengan beberapa konsonan. Diantaranya dengan kosonan /g/, /l/, /k/ pada kata galak, serta konsonan /n/, /k/ pada kata anak-anak. Efek yang ditimbulkan pada pengucapannya ringan namun agak agak berat karena ada penekanan pada konsonan /k/. akan tetapi dengan adanya dominasi bunyi vokal /a/, si pengamal akan lebih mudah untuk menghapal teks mantra tersebut. Seperti pada kata warak, galak, anak-anak.
Larik ketiga didominasi oleh bunyi vokal /e/. vokal /e/ dikombinasikan dengan konsonan /g/,/m/,/t/,/r/ pada kata gemeter yang memberi efek getar. Bunyi vokal lain yang muncul adalah vokal /i/ yang dikombinasikan dengan konsonan /w/, /d/ serta vokal /i/ dalam kata wedi memberi efek senyap sementara.
Pada larik keempat, dominasi asonansi adalah pada bunyi vokal /a/. bunyi vokal lain adalah /e/, /u/. kombinasi vokal /a/ dan /e/ pada kata sakabehe memberikan efek agak ringan sehingga mempermudah pengucapan. Sedangkan kombinasi vokal /e/ dan vokal /u/ dalam kata kerungu memberi efek agak berat.
Larik terakhir pada jangjawokan ini adalah kalimat tauhid yang di dominasi bunyi vokal /a/ yang memberikan efek ringan dan memberikan kemudahan dalam penghapalan.
Untuk lebih memperjelas tentang analisis bunyi, dibawah ini disajikan tabel yang berisikan konsonan serta vokal dalam setiap larik mantra jangjawokan nyadarkeun.
Larik Vokal Konsonan
1 /i/ /a/ /b/ /s/ /m/ /l/ /h/ /r/ /n/
2 /a/ /i/ /e/ /u/ /g/ /j/ /h/ /w/ /r/ /k/ /m/ /c/ /l/ /n/ /ng/ /b/
3 /e/ /i/ /a/ /u/ /t/ /k/ /w/ /d/ /g/ /m/ /r/ /s/ /ng/
4 /e/ /a/ /i/ /o/ /u/ /t/ /k/ /w/ /h/ /s/ /b/ /ng/ /m/
5 /a/ /i/ /u/ /o/ /l/ /h/ /m/ /d/ /r/ /s/
Asonansi yang paling dominan dalam teks mantra ini adalah vokal /a/ yang menghasilkan efek ringan serta mempermudah proses penghapalan bagi si pengamal. Itu artinya bunyi vokal /a/ berfungsi sebagai alat pembantu pengingat (mnemonic device) untuk membantu proses penghapalan teks.
Aliterasi yang dominan adalah /k/ yang memberi efek agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh perpaduan bunyi antara bunyi vokal dan konsonan menjadikan teks mantra jangjawokan ini memiliki keseimbangan serta keindahan. Keseimbangan disini berarti teks ini mudah dihapal oleh si pengamal sedangkan keindahan diperoleh dengan mengkaji bunyi-bunyi tertentu pada mantra jangjawokan yang menjadikannya indah dan ampuh saat diperdengarkan.
2.1.1.3 Formula Irama
Mantra jangjawokan nyadarkeun adalah jenis mantra kanthika yang karnika. Artinya mantra ini dibacakan hanya dengan dibisikan ke telinga.
Irama yang digunakan dalam pembacaan teks mantra ini adalah bersifat arbiter atau mana suka. Artinya dalam pembacaan teks tersebut tidak terdapat batasan-batasan atau aturan-aturan pembacaan. Untuk mempermudah penganalisisan pola irama maka akan digunakan beberapa simbol antara lain:
∩ = pembacaan pendek
≥ = pembacaan sedang
- = pembacaan panjang
Pemberian simbol-simbol tersebut di lakukan pada setiap suku kata. Jadi satu tanda untuk satu suku kata. Formulasi bunyi untuk teks jangjawokan nyadarkeun adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmannirrahim ∩ ∩ ≥ ∩ ∩ ≥ ∩ ∩ ≥
Gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
Teka wedi teka gemeter kang sengit maringku ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
Teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
La illahaillallah ≥ ∩ ≥ ∩ ∩ ∩ ≥
Dominasi nada untuk mantra jangjawokan nyadarkeun adalah pendek (∩). sedangkan lainnya adalah sedang (≥) yang memberikan penekanan pada pengucapannya.
Contoh penekanan adalah sebagai berikut:
La illahaillallah
Bagian yang ditebalkan merupakan suku kata yang diucapkan dengan penekanan. Artinya si pengamal (dalam kajian ini: malim) mengucapkan mantra ini dengan adanya penekanan-penekanan pada suku kata tertentu. Penekanan-penekanan itu ditengarai sebagai penguatan mantra agar roh yang terdapat pada orang yang kesurupan merasa gentar dan akan cepat sadar.
2.1.1.4 Gaya Bahasa
Dalam proses penganalisisan teks mantra jangjawokan nyadarkeun ditemukan beberapa gaya bahasa antara lain:
1. Anastrof
Anastrof adalah gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan cara membalikkan susunan kata yang biasa dalam sebuah kalimat(abdul rani, 1997:139). dalam teks jangjawokan ini, gaya bahasa anastrof terdapat pada teka wedi, teka gemeter, teka welas , teka asih yang berarti datanglah takut, datanglah gentar, datanglah cinta, datanglah kasih.
2. Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Pada jangjawokan ini terdapat pada: gajah warak macan galak
3. Antitesis
Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan atau maksud yang bertentangan. Pada jangjawokan ini terdapat pada kalimat : gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku. Lambe yang berarti mulut dibuat seolah-olah dapat melahirkan.
4. Asindenton
Asindenton adalah suatu gaya bahasa yang berupa referensi atau acuan yang bersifat padat, dimana kata-kata atau frasa-frasa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung sebagai penghubung. Dalam jangjawokan ini yaitu terdapat pada teka wedi teka gemeter yang berarti datanglah takut datanglah gentar yang sebenarnya dapat disisipi kata hubung -dan-.
2.1.1.5 Diksi
Bahasa yang digunakan dalam teks jangjawokan nyadarkeun ini merupakan bahasa jawa cirebon. Bahasa jawa cirebon pada zaman dahulu kerap dipergunakan karena bahasa ini merupakan bahasa yang dipergunakan masyarakat sunda ketika budaya aksara cacarakan yang tidak lain merupakan aksara jawa masuk ke tatar sunda dan menciptakan bahasa jawa cirebon yang merupakan hasil akulturasi dari budaya jawa dan sunda. Sebenarnya masih terdapat banyak jangjawokan yang berbahasa sunda buhun akan tetapi kebetulan yang penulis dapatkan dan penulis kaji adalah jangjawokan yang berbahasa jawa cirebon.
Bahasa yang terdapat dalam mantra jangjawokan adalah bahasa yang cukup puitis. Terdapat kalimat bermajas yang cenderung sering ditemukan pada karya bergenre puisi. Seperti pada kalimat:
gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku (gajah, badak, macan galak beranak di mulutku)
Kepuitisan pada kalimat tersebut dirasakan karena adanya pembangkangan konteks asli dengan konteks dalam kalimat tersebut. Tidaklah mungkin kita temukan ada gajah, macan, atau badak yang dapt beranak di mulut seseorang.
2.1.1.6 Tema
Menurut Herman J. Waluyo, mantra adalah puisi yang berdaya magis sebagai penghubung antara manusia dengan hal gaib dan tidak bisa dipergunakan secara sembarangan. Ini berarti bahwa mantra adalah sebuah penghubung antara dunia kita dengan dunia gaib. Salah satunya adalah Jangjawokan nyadarkeun yang digunakan sebagai penyadar orang yang kemasukkan roh halus.
Analisis tema untuk mantra jangjawokan ini mempergunakan teori isotopi yang di kemukakan oleh greimas. Dalam analisi ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai suatu yang mewakili suatu gagasan. Berikut analisis isotopi-isotopi untuk mantra jangjawokan ini.
1. Isotopi pekerjaan
Kata/Klausa Intensitas Denotatif(D) Konotatif(F) Komponen Makna Bersama
Sifat Perintah Peringatan aktivitas
Anak-anak 1 x D/K - + - +
kerungu 1 x D - - + +
Dari komponen-komponen makna yang digambarkan bahwa komponen makna aktifitas adalah paling dominan. Hal ini menunjukan bahwa jangjawokan ini merupakan aktifitas, sebuah laku mistik, atau sebuah ritual. Komponen makna lain adalah perintah dan peringatan. Kedua komponen makna tersebut menggambarkan perintah dan peringatan dari suatu aktifitas. Artinya, mantra jangjawokan nyadarkeun ini merupakan sebuah aktifitas yang memerintahkan dan memperingatkan sebuah subjek untuk melakukan sesuatu. Ini direalisasikan saat sang malim memerintahkan dan memperingatkan roh yang berada pada orang yang kesurupan segera meninggalkan raga orang yang dimasuki roh tersebut. Aktifitas tersebut merupakan laku mistik. Motif untuk isotopi pekerjaan ini adalah deskripsi mengenai aktifitas manusia dalam hubungannya dengan yang terlihat (nyata) maupun yang tidak (gaib).
2. Isotopi perasaan
Kata/Klausa Intensitas Denotatif(D) Konotatif(F) Komponen Makna Bersama
Senang cinta gundah takut
wedi 1 x D - - - +
gemeter 1 x D - - - +
welas 1x D - + - -
asih 1x D - + - -
Pemunculan kata yang termasuk kedalam isotopi ini hanya beberapa kata saja. Komponen makna antara takut dan cinta berjumlah sama. Ini disebabkan adanya hubungan kausal antara takut dan cinta dimana komponen makna takut sebagai sebab dan cinta pada akibat. Yang termasuk untuk komponen makna cinta adalah kata welas dan kata asih, sedangkan komponen makna takut adalah wedi dan gemeter. Kedua komponen makna tersebut mewakili perasaan-perasaan yang akan dirasakan kekuatan jahat (dalam konteks kajian ini: roh). Dengan kata lain setelah sang malim membacakan mantra ini ke telinga orang yang kesurupan maka roh yang merasuki orang tersebut akan takut adan akhirnya akan dengan rela meninggalkan orang tersebut karena rasa cinta kasih yang diberikan sang malim. Motif yang dihasilkan adalah penggambaran roh dan manusia ketika beraktifitas dalam kekuatan gaib.
3. Isotopi manusia
Kata/Klausa Intensitas Denotatif(D) Konotatif(F) Komponen Makna Bersama
tubuh Berakal budi aktifitas aktivitas
maringku 1 x D + + + +
lambeku 1 x D + + - +
Terdapat dua kata yang masuk ke dalam isotopi manusia yaitu kata maringku dan kata lambeku. Komponen makna yang dominan adalah komponen makna tubuh dan berakal budi. Hal ini menunjukan bahwa manusia yang menggunakan mantra jangjawokan ini adalah manusia yang sempurna dan berakal budi. Komponen makna lain adalah aktifitas. Jadi mantra jangjawokan ini adalah mantra yang diucapkan oleh si pengamal yang sempurna, berakal budi, serta beraktifitas. Motif yang dibentuk adalah deskripsi manusia dengan segala aktifitasnya yang berhubungan dengan mantra jangjawokan.
Isotopi-isotopi yang telah disebutkan diatas tidak lepas dari motif-motif. Artinya semua isotopi yang telah dianalisi merupakan suatu kesatuan. Untuk lebih jelasnya mengenai pembentukan motif berdasarkan isotopi yang dianalisis dapat melihat bagan pada halaman selanjutnya.
Bagan pembentukan tema
2.1.2 Konteks penuturan jangjawokan nyadarkeun
Dalam konteks penuturan teks mantra jangjawokan nyadarkeun, akan berkaitan dengan laku dan ritual yang mengiringi mantra tersebut. Berdasarkan cara penuturan, pembacaan, dan pengucapannya, mantra dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu:
1. Mantra yang diucapkan kanthika (melalui tenggorokan). Artinya, mantra yang disampaikan dengan suara. Kanthika terdiri dari 4 macam, yaitu:
a. vachika (ucapan). Artinya, diucapkan dengan suara keras.
b. bhramara (berdengung). Artinya, diucapkan dengan cara diucapkan berulang- ulang.
c. janantika (bisikan). Dengan suara yang lirih.
d. karnika (dibisikan ke telinga).
2. Mantra yang tidak diucapkan disebut dengan ajapa ”tanpa ucapan”, maksudnya mantra yang diucapkan di dalam hati. Terdiri dari 2 jenis, yaitu:
a. upamsu (diam). Artinya, mantra yang divisualisasikan dalam aksara atau tulisan.
b. manasa (batin). Artinya, dijalankan pada meditasi (walker dalam wardhana).
Jangjawokan nyadarkeun termasuk kedalam jenis mantra yang kanthika. Artinya , mantra ini dibacakan atau di suarakan melalui tenggorokan. Adapun jenis kanthika-nya adalah jenis karnika, dibacakan dengan cara dibisikan ke telinga. Karena pada mantra jangjawokan nyadarkeun konteks penuturannya adalah dengan cara dibisikan melalui telinga.
Konteks penuturan dalam jangjawokan nyadarkeun pada dasarnya adalah pengucapan tentang sebuah proses komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukung secara khusus pula. Artinya, dalam mantra ini terdapat beberapa hubungan antara penutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubungannya dengan lingkungan masyarakat pendukungnya. Pada teks mantra jangjawokan ini, konteks penuturan terdiri dari 1 tahapan, yaitu:
1. penutur (malim) kepada pendengar (orang yang kesurupan)
Dalam tahap ini sang malim akan membisikan mantra tersebut kepada orang yang sedang kesurupan dengan cara membisikan mantra tersebut ke telinga orang yang sedang kesurupan. Peristiwa komukikasi ini dilakukan secara khusus diantara sang malim dengan orang yang kesurupan yang ditandai adanya hubungan timbal balik antara penutur (malim) dengan pendengar (orang yang kesurupan). Proses seperti ini biasanya dilakukan pada pergelaran kesenian benjang helaran saat ada seseorang yang mengalami kesurupan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada alur konteks penuturan di bawah ini:
Malim → kesempatan bertutur
→ tujuan bertutur → orang yang kesurupan (kesurupan).
→ laku mistik
Sebagai teks yang memiliki hubungan dengan sebuah proses ritual yaitu saat prosesi penyadaran kembali orang yang kesurupan dalam kesenian benjang, jangjawokan nyadarkeun memiliki ritual (laku mistik) yang telah ditentukan. Laku mistik atau ritual tersebut adalah:
1. “ngagaleuh” atau membeli kekuatan jangjawokan nyadarkeun dengan melakukan puasa mutih sesuai dengan weton hari lahirnya. Sebagai contoh bah ucun lahir pada hari sabtu. Dalam paririmbon maka weton sabtu adalah berjumlah 9. maka beliau harus berpuasa mutih selama 9 hari serta harus berbuka setelah berpuasa 9 hari dengan 9 genggam nasi putih dan air putih. Apabila ritual tersebut telah dijalankan dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka bah ucun akan mendapat kekuatan dari mantra tersebut lewat ritual dimandikan dengan air dari tujuh sumur.
Apabila kekuatan mantra jangjawokan itu telah didapat, maka sang malim (bah ucun) dapat menggunakan kekuatan mantra tersebut untuk menyadarkan orang yang sedang kesurupan ke keadaan semula. Akan tetapi menurut bah ucun, terkadang beliau agak sulit menyadarkan orang kesurupan yang sifat aslinya pemarah. Menurut beliau, orang yang bersifat pemarah biasanya sulit untuk mengusir roh yang ada di dalamnya. Maka harus diberi sedikit “kemanjaan” yaitu dengan cara menuruti apa yang diminta roh penghuni orang yang kesurupan tersebut.
2.1.3 Proses penciptaan
Proses penciptaan berhubungan linear dengan tradisi masyarakat yang bergantung didalamnya. Proses penciptaan itu dapat terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, pilihan proses penciptaan itu dikembalikan pada kebiasaan masyarakat penguna tradisi lisan tersebut. Proses penciptaan tersebut menilik pada proses kratif penciptaan.
Proses penciptaan dalam penganilisisan ini adalah pembicaraan mengenai proses kreatif penciptaan sebuah mantra. Artinya, proses mencipta sesuatu (mantra/puisi lisan) oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, baik melalui pengajaran, pewarisan, maupun penyebaran.
Pada mantra jangjawokan nyadarkeun ini terdapat tiga tahap proses penciptaan. Pertama proses penciptaan dari penutur pertama . Kedua proses penciptaan dari penutur ke dua. Ketiga proses penciptaan dari penutur ketiga kepada si pengamal. Untuk lebih jelas perhatikan bagan proses penciptaan mantra jangjawokan nyadarkeun berikut:
Leluhur
(kebudayaan asli)
↓
Sunan gunung jati
(kebudayaan islam)
↓
guru sang malim
↓
malim
(pengamal)
Berdasarkan pendapat yang didapat dari narasumber, mantra jangjawokan tersebut diperoleh dengan cara disebarkan melalui pengajaran melalui lisan dan terkadang karena keterbatasan proses mengingat terkadang disertai teks rujukan. Artinya pewarisan ini diajarkan oleh generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda turun temurun baik secara lisan maupun terstruktur. Pada awalnya pun narasumber menggunakan teks rujukan akan tetapi setelah sekian lama, narasumber menjadi fasih mengucapkan jangjawokan ini.
Ada proses pembelajaran dalam sistem pewarisan jangjawokan ini. Salah satu indikasinya adalah ada yang disebut izazah yaitu proses pewarisan harus dari guru ke murid (dari yang tua ke yang lebih muda atau dari yang mengerti kepada yang tidak mengerti). Bila tidak begitu, maka akan terjadi beberapa hal yang justru akan merugikan. Sebagai contoh apabila pewarisan dilakukan secara sembarangan maka akan berdampak negatif. Seperti semakin sulitnya mengusir roh, roh makin menjadi, atau bahkan roh yang merasuki orang lain akan pindah ke dalam tubuh kita.
Dapat kita simpulkan bahwa dalam proses penciptaan mantra jangjawokan ini dilakukan secara lisan maupun terstruktur (merujuk teks). Pewarisan mantra jangjawokan ini dilakukan secara ketat karena jika tidak, maka akan timbul efek-efek yang justru akan merugikan.
2.1.4 Fungsi jangjawokan nyadarkeun
Teks mantra jangjawokan nyadarkeun ini memiliki beberapa fungsi. Fungsi yang dominan untuk teks mantra jangjawokan nyadarkeun terdiri dari tiga fungsi. Pertama, sebagai sisitem proyeksi. Kedua, sebagai alat pengesah budaya. Tiga, sebagai alat penghubung (mitis) antara manusia dengan kosmos-Nya (tuhan).
Sebagai sistem proyeksi berarti pada saat mantra diucapkan maka dengan praktis si pengamal (malim) solah menciptakan suatu proyeksi dalam pemikirannya atau hal yang serta merta ingin dicapainya, yaitu membuat orang yang kesurupan kembali ke keadaan awal sebelum mengalami kesurupan.
Fungsi lain dari teks mantra jangjawokan nyadarkeun ini adalah sebagai alat pengesah budaya, yaitu pada saat sang malim membaca mantra tersebut dengan tujuan agar orang yang mengalami kesurupan ke keadaan semula, maka kita akan melihat bahwa ada faktor seolah superior yang secara tidak langsung diperlihatkan sang malim. Sang malim terlihat lebih superior karena pada saat prosesi penyadaran beliaulah yang memegang kendali paling kuat dibanding faktor-faktor lain.
Terakhir, fungsi dari mantra jangjawokan ini adalah sebagai penghubung antara manusia dengan kosmos-Nya. Fungsi ini dapat dirasakan apabila kita mencoba berpikir dengan pola pemikiran masyarakat yang pra-modern. Karena manusia zaman sekarang cenderung bersifat ontologis. Artinya pemikiran kita cenderung menganggap bahwa pengetahuan adalah hal-hal yang hanya bisa dibuktikan secara rasional serta logis. Berbeda dengan nenek moyang kita yang cenderung berpikir totalis-holistik (sumardjo, 2006:5) artinya bahwa tidak ada batas antara objek dengan subjek. Seseorang menganggap bahwa mantra ini berdaya magis seolah mantra ini adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan kosmos-Nya agar sang makrokosmos mengabulkan atau memberi kemudahan untuk mengusir roh dari raga orang yang kesurupan agar kembali ke keadaan semula. Daya magis ini amat terasa saat mantra ini dibisikan ke telinga sambil diperdengarkan musik yang ritmisnya khusus. Seolah ada ritme khusus saat proses ini dilakukan, sehingga tercipta sebuah pengalaman esetetis yang berdaya magis (widjaja, 2006:132).
2.1.5 Analisis semiotis terhadap mantra jangjawokan nyadarkeun
Menganalisis sajak (puisi lisan/mantra) bertujuan untuk memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra itu bermakana. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sisitem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa (pradopo,2007:120-121).
Mantra jangjawokan ini seolah merupakan monolog sang malim kepada orang yang kesurupan. Parafrasenya adalah sebagai berikut.
Gajah, badak, macan galak disini dianggap sebagi roh leluhur yang pada zaman itu dianggap sebagai kosmos dari para manusia. Mengapa roh binatang yang dituju, karena menurut Van peurseun roh pada zaman dahulu yang mendiami tatar sunda sebagian adalah roh binatang (dangiang). Karena pada zaman dahulu tatar sunda merupakan wilayah yang masih berupa hutan rimba. Si aku seolah meminta kepada kosmosnya untuk “beranak” di ”mulut” sang malim. Beranak disini bukan berarti beranak dalam makna yang sebenarnya. Beranak disini merupakan konotasi mengambil kuasa dari sang kosmos untuk memberi kekuatan kepada si aku agar dapat mengatur roh-roh lain yang merasuki si pelaku seni yang sedang kesurupan. Sedangkan mulutku disini adalah bahwa dalam ucapan si aku tersebut semua kendali dipegang. Si aku bersifat nyata sedangkan isotopi-isotopi roh kosmosnya bersifat gaib.
Dalam kalimat pada larik kedua /teka wedi teka gemeter kang sengit maringku/ , bermakna bahwa si aku berharap akan diberi kemudahan-kemudahan dari sang kosmos agar dapat mengatur atau menghaluskan kekuatan-kekuatan yang berada di luarnya. Khusunya kekuatan-kekuatan yang bersifat menentang kehendak si aku dan yang membenci si aku. hubungan antara si aku dengan dengan orang yang mendengar ucapan si aku adalah hubungan yang pada dasarnya bersifat berlawanan. Tanda pertentangan itu terasa amat jelas pada kata: wedi (takut), gemeter (gentar).
Terakhir, dalam larik ke tiga yaitu /teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku/ si aku berharap bahwa setiap orang atau roh yang mendengar ucapannya akan patuh dan menyerah pada si aku. Aku lirik berharap datang rasa cinta dan kasih. Seolah ada hubungan yang berupa sebuah kausalitas dengan larik sebelumnya. Dimana rasa takut dan gemetar berakhir dengan rasa cinta dan kasih.
Dari analisis diatas didapat bahwa kalimat atau larik mantra jangjawokan tersebut jalin menjalin satu larik dengan lainnya sehingga membentuk jaringan efek yang kaya dan pada akhirnya menciptakan sebuah hubungan kausalitas antara si aku dengan subyek lain (roh dalam orang yang kesurupan).
III
KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis terhadap teks mantra jangjawokan nyadarkeun, maka didapat beberapa hal yang patut dicatat:
1. Jangjawokan ini dianggap paling tepat digunakan untuk menyadarkan orang yang kesurupan dalam kesenian benjang helaran yang tidak lain adalah bagian dari kesenian benjang yang merupakan pengembangan dari kesenian terebangan yang bersifat islam karena dalam jangjawokan ini terdapat mantra hasil perpaduan dari dua kebudayaan. Yaitu kebudayaan asli dan kebudayaan islam.
2. Jangjawokan yang berbentuk mantra ini memiliki tiga fungsi. Yaitu sebagai sistem proyeksi, alat pengesah budaya, dan merupakan penghubung antara dunia manusia dengan kosmos-Nya (berdaya magis dan mitis).
3. Proses penciptaan mantra jangjawokan nyadarkeun ini bersifat terstruktur. Artinya pewarisan mantra ini dilakukan secara turun temurun (dari tua ke yang lebih muda, atau dari yang menguasai kepada yang tidak menguasai). Penyebaran dilakukan secara ketat dalam upaya mencegah terjadinya efek-efek yang tidak diinginkan atau bahkan merugikan.
4. Jangjawokan nyadarkeun di bacakan malim sebagai pengamal kepada orang yang kesurupan agar kembali ke keadaan semula dengan cara dibisikan ke telinga yang merupakan mantra jenis kanthika yang karnika.
5. Secara semiotis maka didapat bahwa larik demi larik dalam mantra jangjawokan nyadarkeun jalin menjalin antara satu larik dengan lainnya sehingga membentuk jaringan efek yang kaya dan pada akhirnya menciptakan sebuah hubungan kausalitas antara si aku dengan subyek lain (roh dalam orang yang kesurupan).
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James, Folklor indonesia: Ilmu gosip dongeng,dan lainnya, grafiti, jakarta, 2002.
Capra, Fritjof, menyatu dengan semesta, fajar pustaka baru, yogyakarta, 1999.
Atmamiharja, Ma'mun, sejarah sunda, NV Ganaco, Bandung, 1958.
Lengevel, M.J, menuju kepemikiran filsafat, trans. G.J Claossen, pembangunan, jakarta, 1961.
Widjaja, Anto sumiarto, benjang dari seni terebangan ke bentuk seni bela diri dan pertunjukan, gentameta press, bandung, 2006
Sumardjo, Jakob, Estetika paradoks, sunan ambu press, bandung, 2006.
J.waluyo, Herman, teori dan apresiasi puisi, erlangga, jakarta, 1987.
LAMPIRAN
1. Transkripsi
Bismillahirrahmannirrahim
gajah warak macan galak
anak-anak ing lambeku
teka wedi teka gemeter
kang sengit maringku
teka welas teka asih
sakabehe wong
kang kerungu omongku
la ilaha illah
Muhammaddarrosullullah
2. Transliterasi
Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
gajah badak macan galak
semua beranak dimulutku
datanglah takut datanglah gentar
bagi setiap orang yang benci kepadaku
datanglah rasa cinta datanglah rasa kasih
dari semua orang
yang mendengar ucapanku
tiada tuhan selain allah
bahwa muhammad adalah utusannya
3. penutur
Nama : Bpk. Ucun alias Bah Ucun
Alamat : kampung cipatat rt 05 rw 04
desa ciporeat kecamatan cilengkrang
Kabupaten Bandung
Umur : 76 tahun
Pendidikan : -
Aktifitas kini : menjadi pemimpin sekaligus malim grup kesenian benjang helaran “Mekar Budaya”
Dituturkan : 13-12-08 10:31:21 (pada saat grup benjang Mekar Budaya pentas di kampung kampung pasir kunci, kel. Pasirjati kota Bandung)
4. Riwayat Hidup Penulis
Nama : Reza Saeful Rachman
TTL : Bandung, 26 juni 1989
Alamat : Kaum kaler no.100 RT 04 RW 04
desa cigeunding kecamatan Ujung berung
kota Bandung 40611
Agama : Islam
Pendidikan : - TK Haruman
- SD Negeri Ujung Berung 2
- SMP Negeri 8 Bandung
- SMA Negeri 24 Bandung
- Universitas Pendidikan Indonesia
Aktifitas kini : - Penulis lepas untuk beberapa surat kabar.
- Pustakawan di perpustakaan Rumah Baca Sunda jeung Sajabana.
- Anggota diskusi di Pusat Studi Sunda
- Bloger (www.abdiredja.blogspot.com)
- anggota menulis gratis.com
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“hana nguni hana mangke tan hana nguni tan hana mangke aya ma beuheula aya tu ayeuna hanteu ma beuheula heunteu tu ayeuna hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna aya tu catangana”
“ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu maka takkan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini bila tiada masa silam maka tiada pula masa kini ada tonggak tentu ada batang bila tak ada tonggak maka tak ada batang bila ada tunggulnya tentu ada catangnya” Kropak 632 kabuyutan ciburuy
Kutipan diatas seolah mengingatkan kita tentang amat bermanfaatnya masa dahulu untuk masa sekarang. Masa dahulu dapat kita jadikan sebuah cerminan atau sebagai pedoman hidup di masa yang akan datang. Begitu pula dalam pola tradisi, sebuah produk karya kebudayaan lama dapat berguna pula untuk pola kebudayaan masa kini.
Pada dasarnya, karya kebudayaan lama adalah artefak, teks, dan benda. Karya tersebut ada yang bersifat auditif, visual, adapula yang bersifat auditif visual. Karya tersebut berkomunikasi melalui sebuah subjek melalui potensi-potensinya. Sebelum melakukan analisis terhadap suatu karya kebudayaan lampau, ada baiknya kita kenali dahulu potensi-potensinya. Dari situ baru dapat kita kenali bentuknya, pemahamannya, pemaknaannya, perasaannya, pemanfaatannya, serta fungsinya. Karena sebuah karya budaya lama mungkin diciptakan beratus, bahkan beribu tahun yang lampau.
Karena karya kebudayaan lama diciptakan pada masa lampau yang bersifat mengkomunikasikan gagasan atau pengalaman, maka alamat komunikannya adalah masyarakat pada zamannya pula. Apabila kita sebagai komunikan yang “modern“ ingin melakukan penganalisisan terhadap karya lama tersebut, maka kita pun harus melakukan pembacaan karya tersebut melalui pendekatan konteks kebudayaan pada masa aslinya. Jika tidak, maka penganalisisan tersebut hanya sia-sia belaka.
Folklor adalah salah satu kajian keilmuan yang dipergunakan sebagai acuan penganalisisan sebuah karya budaya lama. Folk sama artinya dengan kolektif. Alan dundes seorang ahli folklor (dalam james danandjaja: 1986) menyatakan bahwa folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Folk biasanya memiliki tradisi, yakni sebuah budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun. Sedangkan yang dimaksud lore adalah tradisi dari folk, yaitu sebagai kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Dalam makalah ini, saya akan melakukan analisis terhadap salah satu mantra dari wilayah tatar sunda yaitu jangjawokan nyadarkeun. Jangjawokan adalah semacam mantra dari tatar sunda yang memiliki proses komunikasi secara khusus dan memiliki tujuan khusus pula. Jangjawokan nyadarkeun disini adalah sebuah jangjawokan yang di pergunakan untuk menyadarkan kembali keadaan orang yang kesurupan untuk kembali ke keadaan semula. Jangjawokan ini biasa digunakan oleh seorang malim (pawang dalam kesenian benjang) dalam kesenian benjang helaran. Sebelum melakukan analisis terhadap jangjawokan nyadarkeun sebagai salah satu kesatuan dalam kesenian benjang helaran, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu asal muasal dari kesenian benjang helaran secara singkat.
Benjang helaran adalah salah satu bagian dari kesenian benjang secara luas. Benjang helaran merupakan arak-arakan sebelum melakukan benjang gelut. Dalam perkembangannya, benjang helaranpun dipergunakan sebagai pendukung penghibur dalam beberapa acara seperti khitanan, kawinan, hari besar nasional, dll.
Kesenian ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1938, yakni 18 tahun setelah masa awal kelahiran seni benjang gelut. Seni ini dikembangkan oleh beberapa tokoh kesenian ubrug dan doger diantaranya adalah al wasim dari kampung ciwaru ujungberung dan asnarif dari cigupakan ujungberung. Kesenian ini mengalami masa kejayaan pada awal tahun 1950 hingga akhir tahun 1965. hanya samapi akhir tahun 1965 karena oleh pemerintah republik indonesia pada masa itu, kesenian benjang helaran dianggap sebagai salah satu kesenian berideologi kiri yang digagas oleh LEKRA. Baru setelah tahun 1990 kesenian ini mulai merangkak kembali sejalan dengan agak melunaknya sikap presiden terhadap beberapa kesenian yang pada awalnya dianggap sebagai seni yang bermuatan paham komunis.
Dalam prosesi kesenian ini, yang paling ditunggu adalah saat para pemain kesenian benjang helaran ini mengalami kesurupan. Untuk menyadarkan kembali para pemain tersebut, maka dibutuhkan sebuah ritual pengembalian kembali keadaan si pemain ke keadaan sebelum kesurupan (sadar).
Pengembalian atau penyadaran kembali pemain yang kesurupan dilakukan dengan membaca sebuah mantra yang ditengarai memiliki semacam kekuatan magis yang dapat berhubungan dengan dunia roh atau dewa (mitis). Mantra tersebut adalah mantra jangjawokan nyadarkeun yang penulis pilih sebagai objek kajiannya karena penulis merasa amat tertarik dengan bentuk, pemaknaan, pemanfaatan, historitas, penggunaan, dan fungsi dari mantra tersebut. Penulis menjadikan objek tersebut sebagai kajian dalam ilmu folklor yang sedang penulis pelajari. Yaitu melakukan analisis terhadap bentuk-bentuk folklor. Salah satunya adalah mantra yang tidak lain adalah salah satu jenis puisi atau sajak tradisional.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dijabarkan dalam bentuk pertanyaan analisis sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur mantra jangjawokan nyadarkeun?
2. Apa fungsi dari mantra jangjawokan nyadarkeun?
3. Lingkungan masyarakat mana yang masih mempergunakan mantra ini?
4. Kapan mantra jangjawokan nyadarkeun dibacakan?
5. Mengapa jangjawokan ini dipergunakan dalam kesenian benjang helaran?
1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai penulis dalam pembuatan makalah ini yakni:
1. memahami mantra jangjawokan nyadarkeun secara mendasar
2. mengetahui fungsi sintaksis dari mantra jangjawokan nyadarkeun
3. menggali nilai- nilai dalam mantra jangjawokan nyadarkeun
4. memahami isotopi-isotopi tema dalam mantra jangjawokan nyadarkeun
5. mengetahui konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi serta makna
1.4 Manfaat
Setelah melakukan analisis dan menyusun makalah, ada beberapa manfaat yang penulis rasakan antara lain:
1. lebih memahami wawasan dan pengetahuan dalam bidang kesusastraan
2. lebih memahami bentuk-bentuk folklor
3. menambah pengalaman
II
ANALISIS
2.1 Jangjawokan Nyadarkeun
Mantra terdapat di setiap kesusastraan daerah di seluruh indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhannya, diperlukan kata-kata pilihan yang dinilai memiliki kekuatan gaib sebagai ritual yang oleh penciptanya dianggap dapat mempermudah proses kontak dengan Tuhannya.dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap dapat dipenuhi oleh Tuhannya.
Teks yang dianalisis merupakan teks mantra berupa jangjawokan yang diperoleh dari Bapak Ucun atau Bah Ucun, seorang seniman senior kesenian benjang sekaligus pimpinan dari kelompok seni benjang mekar budaya. Beliau beralamat di kampung cipatat, desa ciporeat, kecamatan cilengkrang, kabupaten bandung. Mantra jangjawokan yang dianalisis adalah jangjawokan nyadarkeun. Mantra tersebut digunakan beliau ketika berperan sebagai malim (pawang) dalam kesenian benjang helaran. Mantra jangjawokan tersebut diawali basmallah dan diakhiri kalimat tauhid (kebudayaan islam), sedangkan isi menggunakan bahasa jawa cirebon (kebudayaan asli). Konon pada awalnya mantra ini digunakan oleh leluhur kita (masih mantra asli belum dibubuhi kebudayaan islam -masih kebudayaan asli) untuk mengusir roh-roh yang kerap menganggu masyrakat tatar sunda. Karena dalam kepercayaan masyarakat sunda buhun, tatar sunda dahulunya adalah tanah tempat tinggal para dewa, roh, serta lelembut. Lalu setelah sekian lama, sunan gunung jati mempergunakannya untuk mengalahkan kekuatan ilmu hitam di jawa barat. Karena benjang awalnya merupakan perkembangan dari seni terebangan yang notebene adalah kesenian bercorak islam, maka mantra jangjawokan ini pula yang digunakan sebagai pengusir roh halus pada kesenian benjang.
Seperti disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa mantra jangjawokan ini diawali kalimat basmallah serta diakhiri dengan kalimat tauhid. Sedangkan isi dari jangjawokan berisi mantra asli (kejawen) berbahasa jawa cirebon. Ini memberi informasi bahwa ternyata pada zaman perkembangan awal agama islam, proses islamisasi belum menyentuh ke fondasi, substansi, aqidah, atau iman yang sebenarnya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengislaman oleh wali sanga baru secara sederhana, tidak radikal, dan masih memanfaatkan kebudayaan masyarakat sebelumnya yang masih menonjolkan mistik. Ini tidak hanya terjadi pada proses penyebaran agama islam di jawa barat, sunan kalijaga pun menggunakan mantra-mantra yang bersifat kejawen (kebudayaan asli) pada proses penyebaran agama islam di nusantara seperti melalui kidung rumeksa ing wengi dan tembang ilir-ilir.
Pada realitasnya, sebelum budaya islam masuk ke pulau jawa, masyarakat terdahulu lebih mengenal konsep budaya mitis atau boleh pula kita sebut “budaya asli” masyarakat jawa. Konsep budaya ini berakar pada kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, sebuah kesatuan yang imanen dan transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh atau dengan dunia para dewa (hyang).
Prinsip hidup masyarakat yang hidup pada zaman yang “mendewakan” kemitisan adalah selalu selaras dengan kosmos-Nya(dewa atau roh), maka tidak dapat secara sembarang sebuah budaya baru memasuki “pemikiran asli” atau kepercayaan asli mereka.
Menurut Jakob Sumarjo, perlunya kita merekonstruksi ulang tentang sistem kepercayaan purba nenek moyang kita sebagai suatu keutuhan, sehingga kita memiliki pegangan untuk melakukan pemaknaan dalam bentuk budaya yang mereka hasilkan. Tanpa ini, pemaknaan terhadap estetika produk kebudayaan tradisional dapat disamakan dengan pemaknaan praktis di masa sekarang.
Bagi masyarakat mitis, alam merupakan prioritas tidak hanya karena keindahan atau keelokannya. Tapi juga karena kedahsyatannya, keagungannya, terlebih lagi karena alam itu ada.dalam alam pemikiran masyarakat mitis, estetika adalah selaras dengan kosmos dan estetika dapat membantu sebuah pencapaian nilai religius. Pengalaman religius dapat diperolah setelah proses berestetika selesai.
Pengalaman religius mitis dapat kita rasakan saat melihat peninggalan-peninggalan masyarakat purba, mendengar goong renteng, menyaksikan kesenian tarawangsa, mendengar mantra asihan, atau saat menyaksikan kesenian benjang helaran. Sebagian orang merasa bahwa seni-seni tersebut sangat membosankan. Akan tetapi adapula sebagian orang yang terpesona oleh daya transendental yang ada di dalamnya. Saat si pelaku seni ada yang mengalami kesurupan, biasanya mereka terasuki oleh roh-roh atau dangiang(lelembut), penonton akan merasakan sebuah pengalaman antara pengalaman estetis dan pengalaman magis. Disitulah pengalaman religius “kepercayaan asli” muncul.
Jika dalam sebuah kejadian yang sifatnya berdaya magis atau mitis (kebudayaan asli) seolah sudah tak terkendali, maka keadaan itu harus dinetralisir kembali oleh kebudayaan asli itu sendiri. Seperti dalam kesenian benjang helaran, para pemain yang mengalami kesurupan disadarkan kembali oleh mantra jangjawokan nyadarkeun.
2.1.1 Analisis Struktur Teks jangjawokan nyadarkeun
Analisis struktur teks terhadap teks jangjawokan nyadarkeun antara lain: formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, gaya bahasa, dan tema. Berikut penyajian teks jangjawokan nyadarkeun:
Teks Asli:
(1) Bismillahirrahmannirrahim
(2) gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku
(3) teka wedi teka gemeter kang sengit maringku
(4) teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku
(5) la ilaha illah Muhammaddarrosullullah
Terjemahan:
(1) Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
(2) gajah badak macan galak
semua beranak dimulutku
(3) datanglah takut datanglah gentar
bagi setiap orang yang benci kepadaku
(4) datanglah rasa cinta datanglah rasa kasih
dari semua orang
yang mendengar ucapanku
(5) tiada tuhan selain allah
bahwa muhammad adalah utusannya
2.1.1.1 Formula Sintaksis
Mantra jangjawokan nyadarkeun terdiri atas 5 larik. Secara keseluruhan, penulis pertama-tama akan mencoba menganalisis tataran formula sintaksis, terutama aspek fungsi, kategori, peranan komponen-komponen teks mantra jangjawokan tersebut.
Larik pertama merupakan kalimat basmallah (selalu diucapkan umat islam sebagai penanda awal suatu proses kegiatan) sebagai pembuka, sedangkan kalimat yang pertama akan saya analisis fungsi sintaksisnya adalah larik ke-2 /gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku/ yang merupakan kalimat yang dibentuk dengan konstruksi S-P . larik ini terdiri dari 7 kata dan terdiri dari 16 suku kata. Gajah warak macan galak menempati fungsi sebagai fungsi subjek yang berkategori kata nomina (kata benda). Sedangkan anak-anak ing lambeku menempati fungsi predikat yang berkategori frase preposisi.
Analisis sintaksis Gajah warak macan galak Anak-anak ing lambeku
Fungsi S P
Kategori N Frasa preposisi
Peran penderita perbuatan
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa frasa gajah warak macan galak merupakan subjek pada konstruksi kalimat yang berkategori kata benda (Nomina). Peran dari subjek ini adalah sebagai penderita karena merupakan jawaban dari apa yang predikat. Anak-anak ing lambeku. Predikat sendiri berkategori frasa preposisi karena ada kata ing- yang berarti di-.
Kalimat kedua pada teks jangjawokan nyadarkeun adalah /teka wedi teka gemeter kang sengit maringku/. Konstuksi kalimatnya adalah:
P - K
↓
P - S = P – S
Dapat dilihat bahwa kalimat ini merupakan kalimat majemuk. Dimana kalimat /teka wedi teka gemeter/ yang merupakan predikat mempunyai fungsi turunan P1-S1 =P2-S2. Fungsi turunan dari P adalah teka sebagai P1 dan wedi sebagai S1. Sedangkan P2 adalah teka dan S2-nya adalah gemeter. Sedangkan /kang sengit maringku/ merupakan K alias keterangan. Kalimat pada larik kedua merupakan kalimat inversi karena P diletakan di awal kalimat.
Struktur larik ketiga hampir sama dengan larik kedua yaitu sama-sama merupakan kalimat inversi. Larik ketiga adalah /teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku/ yang mempunyai fungsi utama P-S dimana /teka welas teka asih/ sebagai P dan /sakabehe wong kang kerungu omongku/ sebagai S.
Kalimat terakhir untuk jangjawokan ini adalah kalimat tauhid yaitu la ilaha illaha Muhammaddarrosullullah. Larik ketiga dapat disebut sebagai penutup dan berupa berupa pengikraran.
Mantra jangjawokan nyadarkeun ini secara garis besar memiliki 4 unsur atau bagian yaitu unsur tujuan , unsur pembuka, unsur penutup, dan unsur sugesti.
Unsur tujuan dalam jangjawokan ini terlihat pada /teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku/. Unsur tujuan ini merupakan semacam intisari dari struktur teks mantra tersebut. Dimana tujuan membaca jangjawokan ini adalah sebagai penyadar dengan cara mendatangkan rasa cinta dan rasa kasih kepada semua orang yang mendengar ucapan si pengamal.
Unsur pembuka. Unsur pembuka untuk jangjawokan ini adalah pada kalimat basmallah. Sudah terkonvensi dalam ajaran islam bahwa bacaan basmallah adalah pembuka atau awal dari berbagai hal. Begitu pula dalam jangjawokan ini yang merupakan jangjawokan hasil percampuran antara budaya islam dan budaya asli.
Unsur sugesti adalah unsur yang berisi kalimat majasi atau analogi yang dianggap memilki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan daya magis atau mitis. Pada jangjawokan nyadarkeun unsur sugesti terdapat pada kalimat gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku yang berarti gajah badak macan galak semuanya beranak dalam mulutku. Gajah badak dan macan disini adalah sebutan untuk roh-roh yang waktu itu dikenal di tatar pasundan karena waktu itu daerah tatar pasundan dekat dengan kehidupan pertanian dan sebagian masih berupa hutan rimba.
Unsur penutup pada jangjawokan ini adalah pada larik terakhir yang berisi kalimat tauhid. Kalimat ini seolah merupakan pengikraran bahwa dalam agama islam hanya satu tuhan yang di tuhankan yaitu Allah s.w.t dan rasulnya adalah nabi besar Muhammad s.a.w
2.1.1.2 Formula Bunyi
Rachmat joko pradopo menyebut bahwa dalam pembahasan mengenai bunyi pada puisi (dalam kajian ini yaitu mantra) atau sajak meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek yang ditimbulkannya pada teks. Pada jangjawokan nyadarkeun asonansi yang amat dominan adalah pada suara vokal /a/.
Karena larik pertama pada jangjawokan ini adalah bacaan basmallah, saya kira rata-rata setiap pemeluk agama islam telah mengetahi formula bunyi bacaan basmallah yang didominasi vokal /i/ memberikan efek ringan dan berirama sehingga mempermudah proses penghapalan.
Pada larik kedua yang dominan adalah bunyi vokal /a/, yang dikombinasikan dengan beberapa konsonan. Diantaranya dengan kosonan /g/, /l/, /k/ pada kata galak, serta konsonan /n/, /k/ pada kata anak-anak. Efek yang ditimbulkan pada pengucapannya ringan namun agak agak berat karena ada penekanan pada konsonan /k/. akan tetapi dengan adanya dominasi bunyi vokal /a/, si pengamal akan lebih mudah untuk menghapal teks mantra tersebut. Seperti pada kata warak, galak, anak-anak.
Larik ketiga didominasi oleh bunyi vokal /e/. vokal /e/ dikombinasikan dengan konsonan /g/,/m/,/t/,/r/ pada kata gemeter yang memberi efek getar. Bunyi vokal lain yang muncul adalah vokal /i/ yang dikombinasikan dengan konsonan /w/, /d/ serta vokal /i/ dalam kata wedi memberi efek senyap sementara.
Pada larik keempat, dominasi asonansi adalah pada bunyi vokal /a/. bunyi vokal lain adalah /e/, /u/. kombinasi vokal /a/ dan /e/ pada kata sakabehe memberikan efek agak ringan sehingga mempermudah pengucapan. Sedangkan kombinasi vokal /e/ dan vokal /u/ dalam kata kerungu memberi efek agak berat.
Larik terakhir pada jangjawokan ini adalah kalimat tauhid yang di dominasi bunyi vokal /a/ yang memberikan efek ringan dan memberikan kemudahan dalam penghapalan.
Untuk lebih memperjelas tentang analisis bunyi, dibawah ini disajikan tabel yang berisikan konsonan serta vokal dalam setiap larik mantra jangjawokan nyadarkeun.
Larik Vokal Konsonan
1 /i/ /a/ /b/ /s/ /m/ /l/ /h/ /r/ /n/
2 /a/ /i/ /e/ /u/ /g/ /j/ /h/ /w/ /r/ /k/ /m/ /c/ /l/ /n/ /ng/ /b/
3 /e/ /i/ /a/ /u/ /t/ /k/ /w/ /d/ /g/ /m/ /r/ /s/ /ng/
4 /e/ /a/ /i/ /o/ /u/ /t/ /k/ /w/ /h/ /s/ /b/ /ng/ /m/
5 /a/ /i/ /u/ /o/ /l/ /h/ /m/ /d/ /r/ /s/
Asonansi yang paling dominan dalam teks mantra ini adalah vokal /a/ yang menghasilkan efek ringan serta mempermudah proses penghapalan bagi si pengamal. Itu artinya bunyi vokal /a/ berfungsi sebagai alat pembantu pengingat (mnemonic device) untuk membantu proses penghapalan teks.
Aliterasi yang dominan adalah /k/ yang memberi efek agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh perpaduan bunyi antara bunyi vokal dan konsonan menjadikan teks mantra jangjawokan ini memiliki keseimbangan serta keindahan. Keseimbangan disini berarti teks ini mudah dihapal oleh si pengamal sedangkan keindahan diperoleh dengan mengkaji bunyi-bunyi tertentu pada mantra jangjawokan yang menjadikannya indah dan ampuh saat diperdengarkan.
2.1.1.3 Formula Irama
Mantra jangjawokan nyadarkeun adalah jenis mantra kanthika yang karnika. Artinya mantra ini dibacakan hanya dengan dibisikan ke telinga.
Irama yang digunakan dalam pembacaan teks mantra ini adalah bersifat arbiter atau mana suka. Artinya dalam pembacaan teks tersebut tidak terdapat batasan-batasan atau aturan-aturan pembacaan. Untuk mempermudah penganalisisan pola irama maka akan digunakan beberapa simbol antara lain:
∩ = pembacaan pendek
≥ = pembacaan sedang
- = pembacaan panjang
Pemberian simbol-simbol tersebut di lakukan pada setiap suku kata. Jadi satu tanda untuk satu suku kata. Formulasi bunyi untuk teks jangjawokan nyadarkeun adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmannirrahim ∩ ∩ ≥ ∩ ∩ ≥ ∩ ∩ ≥
Gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
Teka wedi teka gemeter kang sengit maringku ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
Teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩
La illahaillallah ≥ ∩ ≥ ∩ ∩ ∩ ≥
Dominasi nada untuk mantra jangjawokan nyadarkeun adalah pendek (∩). sedangkan lainnya adalah sedang (≥) yang memberikan penekanan pada pengucapannya.
Contoh penekanan adalah sebagai berikut:
La illahaillallah
Bagian yang ditebalkan merupakan suku kata yang diucapkan dengan penekanan. Artinya si pengamal (dalam kajian ini: malim) mengucapkan mantra ini dengan adanya penekanan-penekanan pada suku kata tertentu. Penekanan-penekanan itu ditengarai sebagai penguatan mantra agar roh yang terdapat pada orang yang kesurupan merasa gentar dan akan cepat sadar.
2.1.1.4 Gaya Bahasa
Dalam proses penganalisisan teks mantra jangjawokan nyadarkeun ditemukan beberapa gaya bahasa antara lain:
1. Anastrof
Anastrof adalah gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan cara membalikkan susunan kata yang biasa dalam sebuah kalimat(abdul rani, 1997:139). dalam teks jangjawokan ini, gaya bahasa anastrof terdapat pada teka wedi, teka gemeter, teka welas , teka asih yang berarti datanglah takut, datanglah gentar, datanglah cinta, datanglah kasih.
2. Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Pada jangjawokan ini terdapat pada: gajah warak macan galak
3. Antitesis
Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan atau maksud yang bertentangan. Pada jangjawokan ini terdapat pada kalimat : gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku. Lambe yang berarti mulut dibuat seolah-olah dapat melahirkan.
4. Asindenton
Asindenton adalah suatu gaya bahasa yang berupa referensi atau acuan yang bersifat padat, dimana kata-kata atau frasa-frasa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung sebagai penghubung. Dalam jangjawokan ini yaitu terdapat pada teka wedi teka gemeter yang berarti datanglah takut datanglah gentar yang sebenarnya dapat disisipi kata hubung -dan-.
2.1.1.5 Diksi
Bahasa yang digunakan dalam teks jangjawokan nyadarkeun ini merupakan bahasa jawa cirebon. Bahasa jawa cirebon pada zaman dahulu kerap dipergunakan karena bahasa ini merupakan bahasa yang dipergunakan masyarakat sunda ketika budaya aksara cacarakan yang tidak lain merupakan aksara jawa masuk ke tatar sunda dan menciptakan bahasa jawa cirebon yang merupakan hasil akulturasi dari budaya jawa dan sunda. Sebenarnya masih terdapat banyak jangjawokan yang berbahasa sunda buhun akan tetapi kebetulan yang penulis dapatkan dan penulis kaji adalah jangjawokan yang berbahasa jawa cirebon.
Bahasa yang terdapat dalam mantra jangjawokan adalah bahasa yang cukup puitis. Terdapat kalimat bermajas yang cenderung sering ditemukan pada karya bergenre puisi. Seperti pada kalimat:
gajah warak macan galak anak-anak ing lambeku (gajah, badak, macan galak beranak di mulutku)
Kepuitisan pada kalimat tersebut dirasakan karena adanya pembangkangan konteks asli dengan konteks dalam kalimat tersebut. Tidaklah mungkin kita temukan ada gajah, macan, atau badak yang dapt beranak di mulut seseorang.
2.1.1.6 Tema
Menurut Herman J. Waluyo, mantra adalah puisi yang berdaya magis sebagai penghubung antara manusia dengan hal gaib dan tidak bisa dipergunakan secara sembarangan. Ini berarti bahwa mantra adalah sebuah penghubung antara dunia kita dengan dunia gaib. Salah satunya adalah Jangjawokan nyadarkeun yang digunakan sebagai penyadar orang yang kemasukkan roh halus.
Analisis tema untuk mantra jangjawokan ini mempergunakan teori isotopi yang di kemukakan oleh greimas. Dalam analisi ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai suatu yang mewakili suatu gagasan. Berikut analisis isotopi-isotopi untuk mantra jangjawokan ini.
1. Isotopi pekerjaan
Kata/Klausa Intensitas Denotatif(D) Konotatif(F) Komponen Makna Bersama
Sifat Perintah Peringatan aktivitas
Anak-anak 1 x D/K - + - +
kerungu 1 x D - - + +
Dari komponen-komponen makna yang digambarkan bahwa komponen makna aktifitas adalah paling dominan. Hal ini menunjukan bahwa jangjawokan ini merupakan aktifitas, sebuah laku mistik, atau sebuah ritual. Komponen makna lain adalah perintah dan peringatan. Kedua komponen makna tersebut menggambarkan perintah dan peringatan dari suatu aktifitas. Artinya, mantra jangjawokan nyadarkeun ini merupakan sebuah aktifitas yang memerintahkan dan memperingatkan sebuah subjek untuk melakukan sesuatu. Ini direalisasikan saat sang malim memerintahkan dan memperingatkan roh yang berada pada orang yang kesurupan segera meninggalkan raga orang yang dimasuki roh tersebut. Aktifitas tersebut merupakan laku mistik. Motif untuk isotopi pekerjaan ini adalah deskripsi mengenai aktifitas manusia dalam hubungannya dengan yang terlihat (nyata) maupun yang tidak (gaib).
2. Isotopi perasaan
Kata/Klausa Intensitas Denotatif(D) Konotatif(F) Komponen Makna Bersama
Senang cinta gundah takut
wedi 1 x D - - - +
gemeter 1 x D - - - +
welas 1x D - + - -
asih 1x D - + - -
Pemunculan kata yang termasuk kedalam isotopi ini hanya beberapa kata saja. Komponen makna antara takut dan cinta berjumlah sama. Ini disebabkan adanya hubungan kausal antara takut dan cinta dimana komponen makna takut sebagai sebab dan cinta pada akibat. Yang termasuk untuk komponen makna cinta adalah kata welas dan kata asih, sedangkan komponen makna takut adalah wedi dan gemeter. Kedua komponen makna tersebut mewakili perasaan-perasaan yang akan dirasakan kekuatan jahat (dalam konteks kajian ini: roh). Dengan kata lain setelah sang malim membacakan mantra ini ke telinga orang yang kesurupan maka roh yang merasuki orang tersebut akan takut adan akhirnya akan dengan rela meninggalkan orang tersebut karena rasa cinta kasih yang diberikan sang malim. Motif yang dihasilkan adalah penggambaran roh dan manusia ketika beraktifitas dalam kekuatan gaib.
3. Isotopi manusia
Kata/Klausa Intensitas Denotatif(D) Konotatif(F) Komponen Makna Bersama
tubuh Berakal budi aktifitas aktivitas
maringku 1 x D + + + +
lambeku 1 x D + + - +
Terdapat dua kata yang masuk ke dalam isotopi manusia yaitu kata maringku dan kata lambeku. Komponen makna yang dominan adalah komponen makna tubuh dan berakal budi. Hal ini menunjukan bahwa manusia yang menggunakan mantra jangjawokan ini adalah manusia yang sempurna dan berakal budi. Komponen makna lain adalah aktifitas. Jadi mantra jangjawokan ini adalah mantra yang diucapkan oleh si pengamal yang sempurna, berakal budi, serta beraktifitas. Motif yang dibentuk adalah deskripsi manusia dengan segala aktifitasnya yang berhubungan dengan mantra jangjawokan.
Isotopi-isotopi yang telah disebutkan diatas tidak lepas dari motif-motif. Artinya semua isotopi yang telah dianalisi merupakan suatu kesatuan. Untuk lebih jelasnya mengenai pembentukan motif berdasarkan isotopi yang dianalisis dapat melihat bagan pada halaman selanjutnya.
Bagan pembentukan tema
2.1.2 Konteks penuturan jangjawokan nyadarkeun
Dalam konteks penuturan teks mantra jangjawokan nyadarkeun, akan berkaitan dengan laku dan ritual yang mengiringi mantra tersebut. Berdasarkan cara penuturan, pembacaan, dan pengucapannya, mantra dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu:
1. Mantra yang diucapkan kanthika (melalui tenggorokan). Artinya, mantra yang disampaikan dengan suara. Kanthika terdiri dari 4 macam, yaitu:
a. vachika (ucapan). Artinya, diucapkan dengan suara keras.
b. bhramara (berdengung). Artinya, diucapkan dengan cara diucapkan berulang- ulang.
c. janantika (bisikan). Dengan suara yang lirih.
d. karnika (dibisikan ke telinga).
2. Mantra yang tidak diucapkan disebut dengan ajapa ”tanpa ucapan”, maksudnya mantra yang diucapkan di dalam hati. Terdiri dari 2 jenis, yaitu:
a. upamsu (diam). Artinya, mantra yang divisualisasikan dalam aksara atau tulisan.
b. manasa (batin). Artinya, dijalankan pada meditasi (walker dalam wardhana).
Jangjawokan nyadarkeun termasuk kedalam jenis mantra yang kanthika. Artinya , mantra ini dibacakan atau di suarakan melalui tenggorokan. Adapun jenis kanthika-nya adalah jenis karnika, dibacakan dengan cara dibisikan ke telinga. Karena pada mantra jangjawokan nyadarkeun konteks penuturannya adalah dengan cara dibisikan melalui telinga.
Konteks penuturan dalam jangjawokan nyadarkeun pada dasarnya adalah pengucapan tentang sebuah proses komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukung secara khusus pula. Artinya, dalam mantra ini terdapat beberapa hubungan antara penutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubungannya dengan lingkungan masyarakat pendukungnya. Pada teks mantra jangjawokan ini, konteks penuturan terdiri dari 1 tahapan, yaitu:
1. penutur (malim) kepada pendengar (orang yang kesurupan)
Dalam tahap ini sang malim akan membisikan mantra tersebut kepada orang yang sedang kesurupan dengan cara membisikan mantra tersebut ke telinga orang yang sedang kesurupan. Peristiwa komukikasi ini dilakukan secara khusus diantara sang malim dengan orang yang kesurupan yang ditandai adanya hubungan timbal balik antara penutur (malim) dengan pendengar (orang yang kesurupan). Proses seperti ini biasanya dilakukan pada pergelaran kesenian benjang helaran saat ada seseorang yang mengalami kesurupan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada alur konteks penuturan di bawah ini:
Malim → kesempatan bertutur
→ tujuan bertutur → orang yang kesurupan (kesurupan).
→ laku mistik
Sebagai teks yang memiliki hubungan dengan sebuah proses ritual yaitu saat prosesi penyadaran kembali orang yang kesurupan dalam kesenian benjang, jangjawokan nyadarkeun memiliki ritual (laku mistik) yang telah ditentukan. Laku mistik atau ritual tersebut adalah:
1. “ngagaleuh” atau membeli kekuatan jangjawokan nyadarkeun dengan melakukan puasa mutih sesuai dengan weton hari lahirnya. Sebagai contoh bah ucun lahir pada hari sabtu. Dalam paririmbon maka weton sabtu adalah berjumlah 9. maka beliau harus berpuasa mutih selama 9 hari serta harus berbuka setelah berpuasa 9 hari dengan 9 genggam nasi putih dan air putih. Apabila ritual tersebut telah dijalankan dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka bah ucun akan mendapat kekuatan dari mantra tersebut lewat ritual dimandikan dengan air dari tujuh sumur.
Apabila kekuatan mantra jangjawokan itu telah didapat, maka sang malim (bah ucun) dapat menggunakan kekuatan mantra tersebut untuk menyadarkan orang yang sedang kesurupan ke keadaan semula. Akan tetapi menurut bah ucun, terkadang beliau agak sulit menyadarkan orang kesurupan yang sifat aslinya pemarah. Menurut beliau, orang yang bersifat pemarah biasanya sulit untuk mengusir roh yang ada di dalamnya. Maka harus diberi sedikit “kemanjaan” yaitu dengan cara menuruti apa yang diminta roh penghuni orang yang kesurupan tersebut.
2.1.3 Proses penciptaan
Proses penciptaan berhubungan linear dengan tradisi masyarakat yang bergantung didalamnya. Proses penciptaan itu dapat terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, pilihan proses penciptaan itu dikembalikan pada kebiasaan masyarakat penguna tradisi lisan tersebut. Proses penciptaan tersebut menilik pada proses kratif penciptaan.
Proses penciptaan dalam penganilisisan ini adalah pembicaraan mengenai proses kreatif penciptaan sebuah mantra. Artinya, proses mencipta sesuatu (mantra/puisi lisan) oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, baik melalui pengajaran, pewarisan, maupun penyebaran.
Pada mantra jangjawokan nyadarkeun ini terdapat tiga tahap proses penciptaan. Pertama proses penciptaan dari penutur pertama . Kedua proses penciptaan dari penutur ke dua. Ketiga proses penciptaan dari penutur ketiga kepada si pengamal. Untuk lebih jelas perhatikan bagan proses penciptaan mantra jangjawokan nyadarkeun berikut:
Leluhur
(kebudayaan asli)
↓
Sunan gunung jati
(kebudayaan islam)
↓
guru sang malim
↓
malim
(pengamal)
Berdasarkan pendapat yang didapat dari narasumber, mantra jangjawokan tersebut diperoleh dengan cara disebarkan melalui pengajaran melalui lisan dan terkadang karena keterbatasan proses mengingat terkadang disertai teks rujukan. Artinya pewarisan ini diajarkan oleh generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda turun temurun baik secara lisan maupun terstruktur. Pada awalnya pun narasumber menggunakan teks rujukan akan tetapi setelah sekian lama, narasumber menjadi fasih mengucapkan jangjawokan ini.
Ada proses pembelajaran dalam sistem pewarisan jangjawokan ini. Salah satu indikasinya adalah ada yang disebut izazah yaitu proses pewarisan harus dari guru ke murid (dari yang tua ke yang lebih muda atau dari yang mengerti kepada yang tidak mengerti). Bila tidak begitu, maka akan terjadi beberapa hal yang justru akan merugikan. Sebagai contoh apabila pewarisan dilakukan secara sembarangan maka akan berdampak negatif. Seperti semakin sulitnya mengusir roh, roh makin menjadi, atau bahkan roh yang merasuki orang lain akan pindah ke dalam tubuh kita.
Dapat kita simpulkan bahwa dalam proses penciptaan mantra jangjawokan ini dilakukan secara lisan maupun terstruktur (merujuk teks). Pewarisan mantra jangjawokan ini dilakukan secara ketat karena jika tidak, maka akan timbul efek-efek yang justru akan merugikan.
2.1.4 Fungsi jangjawokan nyadarkeun
Teks mantra jangjawokan nyadarkeun ini memiliki beberapa fungsi. Fungsi yang dominan untuk teks mantra jangjawokan nyadarkeun terdiri dari tiga fungsi. Pertama, sebagai sisitem proyeksi. Kedua, sebagai alat pengesah budaya. Tiga, sebagai alat penghubung (mitis) antara manusia dengan kosmos-Nya (tuhan).
Sebagai sistem proyeksi berarti pada saat mantra diucapkan maka dengan praktis si pengamal (malim) solah menciptakan suatu proyeksi dalam pemikirannya atau hal yang serta merta ingin dicapainya, yaitu membuat orang yang kesurupan kembali ke keadaan awal sebelum mengalami kesurupan.
Fungsi lain dari teks mantra jangjawokan nyadarkeun ini adalah sebagai alat pengesah budaya, yaitu pada saat sang malim membaca mantra tersebut dengan tujuan agar orang yang mengalami kesurupan ke keadaan semula, maka kita akan melihat bahwa ada faktor seolah superior yang secara tidak langsung diperlihatkan sang malim. Sang malim terlihat lebih superior karena pada saat prosesi penyadaran beliaulah yang memegang kendali paling kuat dibanding faktor-faktor lain.
Terakhir, fungsi dari mantra jangjawokan ini adalah sebagai penghubung antara manusia dengan kosmos-Nya. Fungsi ini dapat dirasakan apabila kita mencoba berpikir dengan pola pemikiran masyarakat yang pra-modern. Karena manusia zaman sekarang cenderung bersifat ontologis. Artinya pemikiran kita cenderung menganggap bahwa pengetahuan adalah hal-hal yang hanya bisa dibuktikan secara rasional serta logis. Berbeda dengan nenek moyang kita yang cenderung berpikir totalis-holistik (sumardjo, 2006:5) artinya bahwa tidak ada batas antara objek dengan subjek. Seseorang menganggap bahwa mantra ini berdaya magis seolah mantra ini adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan kosmos-Nya agar sang makrokosmos mengabulkan atau memberi kemudahan untuk mengusir roh dari raga orang yang kesurupan agar kembali ke keadaan semula. Daya magis ini amat terasa saat mantra ini dibisikan ke telinga sambil diperdengarkan musik yang ritmisnya khusus. Seolah ada ritme khusus saat proses ini dilakukan, sehingga tercipta sebuah pengalaman esetetis yang berdaya magis (widjaja, 2006:132).
2.1.5 Analisis semiotis terhadap mantra jangjawokan nyadarkeun
Menganalisis sajak (puisi lisan/mantra) bertujuan untuk memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra itu bermakana. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sisitem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa (pradopo,2007:120-121).
Mantra jangjawokan ini seolah merupakan monolog sang malim kepada orang yang kesurupan. Parafrasenya adalah sebagai berikut.
Gajah, badak, macan galak disini dianggap sebagi roh leluhur yang pada zaman itu dianggap sebagai kosmos dari para manusia. Mengapa roh binatang yang dituju, karena menurut Van peurseun roh pada zaman dahulu yang mendiami tatar sunda sebagian adalah roh binatang (dangiang). Karena pada zaman dahulu tatar sunda merupakan wilayah yang masih berupa hutan rimba. Si aku seolah meminta kepada kosmosnya untuk “beranak” di ”mulut” sang malim. Beranak disini bukan berarti beranak dalam makna yang sebenarnya. Beranak disini merupakan konotasi mengambil kuasa dari sang kosmos untuk memberi kekuatan kepada si aku agar dapat mengatur roh-roh lain yang merasuki si pelaku seni yang sedang kesurupan. Sedangkan mulutku disini adalah bahwa dalam ucapan si aku tersebut semua kendali dipegang. Si aku bersifat nyata sedangkan isotopi-isotopi roh kosmosnya bersifat gaib.
Dalam kalimat pada larik kedua /teka wedi teka gemeter kang sengit maringku/ , bermakna bahwa si aku berharap akan diberi kemudahan-kemudahan dari sang kosmos agar dapat mengatur atau menghaluskan kekuatan-kekuatan yang berada di luarnya. Khusunya kekuatan-kekuatan yang bersifat menentang kehendak si aku dan yang membenci si aku. hubungan antara si aku dengan dengan orang yang mendengar ucapan si aku adalah hubungan yang pada dasarnya bersifat berlawanan. Tanda pertentangan itu terasa amat jelas pada kata: wedi (takut), gemeter (gentar).
Terakhir, dalam larik ke tiga yaitu /teka welas teka asih sakabehe wong kang kerungu omongku/ si aku berharap bahwa setiap orang atau roh yang mendengar ucapannya akan patuh dan menyerah pada si aku. Aku lirik berharap datang rasa cinta dan kasih. Seolah ada hubungan yang berupa sebuah kausalitas dengan larik sebelumnya. Dimana rasa takut dan gemetar berakhir dengan rasa cinta dan kasih.
Dari analisis diatas didapat bahwa kalimat atau larik mantra jangjawokan tersebut jalin menjalin satu larik dengan lainnya sehingga membentuk jaringan efek yang kaya dan pada akhirnya menciptakan sebuah hubungan kausalitas antara si aku dengan subyek lain (roh dalam orang yang kesurupan).
III
KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis terhadap teks mantra jangjawokan nyadarkeun, maka didapat beberapa hal yang patut dicatat:
1. Jangjawokan ini dianggap paling tepat digunakan untuk menyadarkan orang yang kesurupan dalam kesenian benjang helaran yang tidak lain adalah bagian dari kesenian benjang yang merupakan pengembangan dari kesenian terebangan yang bersifat islam karena dalam jangjawokan ini terdapat mantra hasil perpaduan dari dua kebudayaan. Yaitu kebudayaan asli dan kebudayaan islam.
2. Jangjawokan yang berbentuk mantra ini memiliki tiga fungsi. Yaitu sebagai sistem proyeksi, alat pengesah budaya, dan merupakan penghubung antara dunia manusia dengan kosmos-Nya (berdaya magis dan mitis).
3. Proses penciptaan mantra jangjawokan nyadarkeun ini bersifat terstruktur. Artinya pewarisan mantra ini dilakukan secara turun temurun (dari tua ke yang lebih muda, atau dari yang menguasai kepada yang tidak menguasai). Penyebaran dilakukan secara ketat dalam upaya mencegah terjadinya efek-efek yang tidak diinginkan atau bahkan merugikan.
4. Jangjawokan nyadarkeun di bacakan malim sebagai pengamal kepada orang yang kesurupan agar kembali ke keadaan semula dengan cara dibisikan ke telinga yang merupakan mantra jenis kanthika yang karnika.
5. Secara semiotis maka didapat bahwa larik demi larik dalam mantra jangjawokan nyadarkeun jalin menjalin antara satu larik dengan lainnya sehingga membentuk jaringan efek yang kaya dan pada akhirnya menciptakan sebuah hubungan kausalitas antara si aku dengan subyek lain (roh dalam orang yang kesurupan).
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James, Folklor indonesia: Ilmu gosip dongeng,dan lainnya, grafiti, jakarta, 2002.
Capra, Fritjof, menyatu dengan semesta, fajar pustaka baru, yogyakarta, 1999.
Atmamiharja, Ma'mun, sejarah sunda, NV Ganaco, Bandung, 1958.
Lengevel, M.J, menuju kepemikiran filsafat, trans. G.J Claossen, pembangunan, jakarta, 1961.
Widjaja, Anto sumiarto, benjang dari seni terebangan ke bentuk seni bela diri dan pertunjukan, gentameta press, bandung, 2006
Sumardjo, Jakob, Estetika paradoks, sunan ambu press, bandung, 2006.
J.waluyo, Herman, teori dan apresiasi puisi, erlangga, jakarta, 1987.
LAMPIRAN
1. Transkripsi
Bismillahirrahmannirrahim
gajah warak macan galak
anak-anak ing lambeku
teka wedi teka gemeter
kang sengit maringku
teka welas teka asih
sakabehe wong
kang kerungu omongku
la ilaha illah
Muhammaddarrosullullah
2. Transliterasi
Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
gajah badak macan galak
semua beranak dimulutku
datanglah takut datanglah gentar
bagi setiap orang yang benci kepadaku
datanglah rasa cinta datanglah rasa kasih
dari semua orang
yang mendengar ucapanku
tiada tuhan selain allah
bahwa muhammad adalah utusannya
3. penutur
Nama : Bpk. Ucun alias Bah Ucun
Alamat : kampung cipatat rt 05 rw 04
desa ciporeat kecamatan cilengkrang
Kabupaten Bandung
Umur : 76 tahun
Pendidikan : -
Aktifitas kini : menjadi pemimpin sekaligus malim grup kesenian benjang helaran “Mekar Budaya”
Dituturkan : 13-12-08 10:31:21 (pada saat grup benjang Mekar Budaya pentas di kampung kampung pasir kunci, kel. Pasirjati kota Bandung)
4. Riwayat Hidup Penulis
Nama : Reza Saeful Rachman
TTL : Bandung, 26 juni 1989
Alamat : Kaum kaler no.100 RT 04 RW 04
desa cigeunding kecamatan Ujung berung
kota Bandung 40611
Agama : Islam
Pendidikan : - TK Haruman
- SD Negeri Ujung Berung 2
- SMP Negeri 8 Bandung
- SMA Negeri 24 Bandung
- Universitas Pendidikan Indonesia
Aktifitas kini : - Penulis lepas untuk beberapa surat kabar.
- Pustakawan di perpustakaan Rumah Baca Sunda jeung Sajabana.
- Anggota diskusi di Pusat Studi Sunda
- Bloger (www.abdiredja.blogspot.com)
- anggota menulis gratis.com