Jaipong, diantara eksotisme dan pandangan erotisme
Oleh reza saeful rachman
Bukan tanpa alasan gugum gumbira mencipta sebuah kreasi tari baru sekitar tahun 1980an. Setelah melakukan pencarian yang cukup lama, gugum seolah telah menemukan implementasi dari proses pencariannya. Jaipong atau jaipongan, itu sebutan bagi kreasi baru ciptaannya. Sebuah tari yang ia anggap merupakan paduan yang apik dari keahlian pencak dan ketuk tilu yang ia punya. Di awal kemunculannya, kesenian ini langsung mempengaruhi pertunjukan kliningan bajidoran di wilayah pantura. Gerak eksotisme jaipongan ala gugum, berhasil membius masyarakat dan makin lama, tari ini pun jadi santapan pejabat.
Meski pada perjalanannya gugum kerap menuai kontroversi, gugum tetap keukeuh memasyarakatkan kreasinya seraya mengupayakan tempat yang layak bagi kelangsungan jaipong di ranah seni sunda. Ia tak peduli dengan anggapan-anggapan miring tentang kreasinya. Karena bagi gugum, tari merupakan sebuah bahasa tubuh yang dilafalkan lewat gerak-gerak. Alhasil, lewat kesabarannya dan keseriusannya tarian jaipong telah sampai ke bentuk yang dianggap paling sempurna.
Jaipongan gugum mempunyai kekhasan gerak yakni: dituntut adanya kebebasan, sikap tangan dengan posisi ke atas, banyak gerakan menendang seperti tejeh, depok, emprak, serta arah pandangan tajam menuju penonton menandakan suatu kewaspadaan. Gerakan menendang dicomot gugum dari keahlian pencaknya. Ini ia anggap sebagai luapan emosi positif yang akan membawa kepada suatu suasana bebas. Factor yang paling penting dari tarian jaipongan adalah penarinya harus memiliki keikhlasan “mengganti” keterbelengguan diri menjadi sosok bebas yang atraktif. Oleh karenanya dalam tarian jaipongan tak hanya mengandalkan perasaan, tetapi dituntut suatu keberanian dalam mengungkapkan gerak dengan energy ekstra dari setiap unsure bagian tubuh. Mulai dari kaki, tangan, kepala, dan bagian tubuh lainnya. Inilah yang tidak dimilki oleh tarian asal sunda lainnya. Jaipongan merupakan bentuk tarian dari proses penjelajahan gerak yang diformalisasikan ke bentuk tema orisinalitas dan individualitas. Apabila tarian lain yang bergaya klasik lebih dominan pada tepak kendang, jaipongan cenderung lebih. Eksotis, itulah pandangan masyarakat sunda terhadap kesenian ini.
Jaipongan menjadi dikenal di berbagai kalangan tidak hanya terbatas di perkotaan saja, tetapi juga di wilayah peedesaan. Jaipongan pun kemudian telah menjadikan banyak seniman atau penari cukup mapan dalam menjalani kehidupan. Jaipong telah menjelma menjadi penopang ekonomi. Bahkan banyak bermunculan berbagai sanggar tari yang khusus menjadikan jaipong sebagai hiburan bagi para laki-laki yang mencari hiburan lalu menghamburkan uang saweran. Karena terkadang, penonton terbius oleh “serangan 3G” para penari jaipong yaitu gitek, geol, dan goyang.
Sebenarnya, gitek, geol, dan goyang bukan formula esensi dari kreasi gugum. Ketiga gerakan tersebut merupakan spontanitas para penari jaipong yang terkadang bertubuh sintal. Akan tetapi karena tiga unsure gerak tersebut, jaipongan malah dicekal dan dianggap sebagai kesenian yang erotis. Pro kontra muncul dimana-mana, khusunya dengan diangkatnya polemic mengenai jaipong ke seminar-seminar atau di blow-up di media massa. Akibat dari pandangan-pandangan salah mengenai jaipong, pada akhirnya malah menjudge jaipongan sebagai sebuah tarian yang lebih mengedepankan sensualitas dan menonjolkan erotisme.
Sekitar empat atau lima bulan yang lalu, sempat terjadi polemic tentang tari jaipong. Gubernur jawa barat Ahmad Heryawan cukup risau dengan dandanan dan gerakan para penari jaipong. Heryawan mengimbau agar para seniman jaipong lebih diperhalus. Muncul beberapa gunjingan yang merupakan pro dan kontra terhadap permasalahan ini. Kaum yang pro membela heryawan dengan alasan apabila tari jaipong terlihat “lebih sopan” maka pandangan masyarakat luas terhadap provinsi jawa barat akan lebih baik. Sedangkan yang kontra terhadap pendapat heryawan, malah menganggap imbauan ini ada sangkut pautnya dengan partai pengusung heryawan. Perdebatan ini cukup merisaukan jajaran seniman dan budayawan sunda, bahkan permasalahan ini sempat meruncing walau pada akhirnya semua telah dianggap selesai.
Sebenarnya, kerisauan pejabat seperti itu tak usah dianggap sebagai sebuah penghakiman akan kelangsungan jaipong. Karena telah lama kita ketahui, atas inisiatif nonpemerintahpun, jaipongan cukup popular hingga ke taraf mancanegara, dan bahkan disebut sebagai salah satu ikon Indonesia. Jangan sampai karena terlalu serius menanggapi imbauan pejabat, salah-salah malah bisa menimbulkan kesan bahwa kegiatan seniman cenderung telah masuk ke dalam lingkaran birokrasi.
Ada baiknya para seniman jaipong menggagas sebuah pemikiran yang otokritik dengan memikirkan jalan mana yang akan digunakan sebagai pijakan untuk melangkah ke depan. Jika perlu, apabila campur tangan birokrat dianggap sudah terlalu mencampuri kreativitas artistik, berlalulah saja dari keberingsutan dinas kebudayaan atau lembaga sejenisnya.
Bukan tanpa alasan gugum gumbira mencipta sebuah kreasi tari baru sekitar tahun 1980an. Setelah melakukan pencarian yang cukup lama, gugum seolah telah menemukan implementasi dari proses pencariannya. Jaipong atau jaipongan, itu sebutan bagi kreasi baru ciptaannya. Sebuah tari yang ia anggap merupakan paduan yang apik dari keahlian pencak dan ketuk tilu yang ia punya. Di awal kemunculannya, kesenian ini langsung mempengaruhi pertunjukan kliningan bajidoran di wilayah pantura. Gerak eksotisme jaipongan ala gugum, berhasil membius masyarakat dan makin lama, tari ini pun jadi santapan pejabat.
Meski pada perjalanannya gugum kerap menuai kontroversi, gugum tetap keukeuh memasyarakatkan kreasinya seraya mengupayakan tempat yang layak bagi kelangsungan jaipong di ranah seni sunda. Ia tak peduli dengan anggapan-anggapan miring tentang kreasinya. Karena bagi gugum, tari merupakan sebuah bahasa tubuh yang dilafalkan lewat gerak-gerak. Alhasil, lewat kesabarannya dan keseriusannya tarian jaipong telah sampai ke bentuk yang dianggap paling sempurna.
Jaipongan gugum mempunyai kekhasan gerak yakni: dituntut adanya kebebasan, sikap tangan dengan posisi ke atas, banyak gerakan menendang seperti tejeh, depok, emprak, serta arah pandangan tajam menuju penonton menandakan suatu kewaspadaan. Gerakan menendang dicomot gugum dari keahlian pencaknya. Ini ia anggap sebagai luapan emosi positif yang akan membawa kepada suatu suasana bebas. Factor yang paling penting dari tarian jaipongan adalah penarinya harus memiliki keikhlasan “mengganti” keterbelengguan diri menjadi sosok bebas yang atraktif. Oleh karenanya dalam tarian jaipongan tak hanya mengandalkan perasaan, tetapi dituntut suatu keberanian dalam mengungkapkan gerak dengan energy ekstra dari setiap unsure bagian tubuh. Mulai dari kaki, tangan, kepala, dan bagian tubuh lainnya. Inilah yang tidak dimilki oleh tarian asal sunda lainnya. Jaipongan merupakan bentuk tarian dari proses penjelajahan gerak yang diformalisasikan ke bentuk tema orisinalitas dan individualitas. Apabila tarian lain yang bergaya klasik lebih dominan pada tepak kendang, jaipongan cenderung lebih. Eksotis, itulah pandangan masyarakat sunda terhadap kesenian ini.
Jaipongan menjadi dikenal di berbagai kalangan tidak hanya terbatas di perkotaan saja, tetapi juga di wilayah peedesaan. Jaipongan pun kemudian telah menjadikan banyak seniman atau penari cukup mapan dalam menjalani kehidupan. Jaipong telah menjelma menjadi penopang ekonomi. Bahkan banyak bermunculan berbagai sanggar tari yang khusus menjadikan jaipong sebagai hiburan bagi para laki-laki yang mencari hiburan lalu menghamburkan uang saweran. Karena terkadang, penonton terbius oleh “serangan 3G” para penari jaipong yaitu gitek, geol, dan goyang.
Sebenarnya, gitek, geol, dan goyang bukan formula esensi dari kreasi gugum. Ketiga gerakan tersebut merupakan spontanitas para penari jaipong yang terkadang bertubuh sintal. Akan tetapi karena tiga unsure gerak tersebut, jaipongan malah dicekal dan dianggap sebagai kesenian yang erotis. Pro kontra muncul dimana-mana, khusunya dengan diangkatnya polemic mengenai jaipong ke seminar-seminar atau di blow-up di media massa. Akibat dari pandangan-pandangan salah mengenai jaipong, pada akhirnya malah menjudge jaipongan sebagai sebuah tarian yang lebih mengedepankan sensualitas dan menonjolkan erotisme.
Sekitar empat atau lima bulan yang lalu, sempat terjadi polemic tentang tari jaipong. Gubernur jawa barat Ahmad Heryawan cukup risau dengan dandanan dan gerakan para penari jaipong. Heryawan mengimbau agar para seniman jaipong lebih diperhalus. Muncul beberapa gunjingan yang merupakan pro dan kontra terhadap permasalahan ini. Kaum yang pro membela heryawan dengan alasan apabila tari jaipong terlihat “lebih sopan” maka pandangan masyarakat luas terhadap provinsi jawa barat akan lebih baik. Sedangkan yang kontra terhadap pendapat heryawan, malah menganggap imbauan ini ada sangkut pautnya dengan partai pengusung heryawan. Perdebatan ini cukup merisaukan jajaran seniman dan budayawan sunda, bahkan permasalahan ini sempat meruncing walau pada akhirnya semua telah dianggap selesai.
Sebenarnya, kerisauan pejabat seperti itu tak usah dianggap sebagai sebuah penghakiman akan kelangsungan jaipong. Karena telah lama kita ketahui, atas inisiatif nonpemerintahpun, jaipongan cukup popular hingga ke taraf mancanegara, dan bahkan disebut sebagai salah satu ikon Indonesia. Jangan sampai karena terlalu serius menanggapi imbauan pejabat, salah-salah malah bisa menimbulkan kesan bahwa kegiatan seniman cenderung telah masuk ke dalam lingkaran birokrasi.
Ada baiknya para seniman jaipong menggagas sebuah pemikiran yang otokritik dengan memikirkan jalan mana yang akan digunakan sebagai pijakan untuk melangkah ke depan. Jika perlu, apabila campur tangan birokrat dianggap sudah terlalu mencampuri kreativitas artistik, berlalulah saja dari keberingsutan dinas kebudayaan atau lembaga sejenisnya.