EKSISTENSIALISME DALAM DRAMA “PETANG DI TAMAN” KARYA IWAN SIMATUPANG

oleh
Reza Saeful Rachman

A.Pengertian Eksistensialisme

“Gerombolan itu terdiri atas banyak perorangan yang kekuatannya seharusnya terletak pada kemampuan masing-masing individu untuk tampil sebagaimana dirinya: sebagai individu; dan tak ada, sama sekali tak ada, tak seorangpun dihalangi untuk tampil sebagai individu kecuali kalu ia menghalangi dirinya sendiri—dengan jalan menjadi unsur suatu massa.”(Soren Aabye Kierkegaard)

Kutipan diatas adalah salah satu penggalan tulisan seorang denmark bernama soren aabye kierkegaard. Dalam jurnalnya, kierkegaard menulis beberapa pandangannya mengenai eksistensi yang sejatinya ia anggap sebagai tugas bagi manusia. Kierkegaard berpendapat seperti itu karena menurutnya, eksistensi itu amat penting dan berhubungan dengan tanggung jawab manusia. Tidak sekedar pada massa, eksistensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggungjawabnya sendiri.

Meskipun pada awalnya kierkegaard hidup menderita dan tak lekang dari cemoohan karena pemikirannya itu, kini kierkegaard telah tampil dan dikenal sebagai seorang pemikir ulung yang dari pemikirannya telah menjadi awal atau perangsang dari sebuah paham yang besar pengaruhnya. Eksistensialisme. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang dianggap berawal dari pemikiran-pemikiran kierkegaard. Jauh sebelum Nietzsche, jaspers, camus, atau sartre.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Kaum eksistensialis mengartikan Eks berarti keluar, sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi berarti berdiri sebagai diri sendiri. Akan tetapi, pandangan tersebut masih dianggap belum baku. Ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara para filsuf eksistensial satu sama lain. Heidegger menyebut eksistensialisme: “Das wesen des daseins liegh in seiner Existenz”. Da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “Da” berarti disana. Sein bearti berada. Artinya manusia sadar dengan tempatnya dan harus ada. Itu titik pangkalnya. Sedangkan menurut Jean Paul Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre”” melainkan “ a etre. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya. Nietzsche menyebut Eksistensial sebagai cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan ada ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya manusia.

Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda

Berdasarkan pendapat beberapa filsuf eksistensialis dapat kita simak beberapa hal. Pertama, motif pokok apa yang disebut eksistensi yaitu cara manusia berada. Kedua, Hanya manusialah yang bereksistensi. Ketiga, pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu eksistensialisme bersifat humanistik.


B.Sejarah filsafat Eksistensialisme
Sebagai filsafat yang menentukan eksisitensi sebagai tema sentral, eksisitensialisme tumbuh sebagai suatu ragam filsafat yang berkembang setelah selesainya perang dunia II. Akan tetapi hal ini tidak berarti filsafat eksistensialsme itu baru menjelma setelah perang dunia II. Adalah soren aabye kierkegaard yang pertama kali mencetuskan pemikiran ini, jauh sebelum perang dunia I.(Hassan, 2005:7)
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kierkeggard dan Nietzche. Kierkegaard Filsuf Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kierkegaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nietzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.

C. Teori Eksistensialisme
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan ekstensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon menjadi pohon. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan pohon mangga, kursi, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, dan sungguh hadir. Disinilah peran eksistensia.

Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada—eksis. Oleh ekstensia kursi dapat berada di tempat. Manusia dapat hidup, bekerja, dan berkelompok dengan manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat hidup, hadir, dan tampil. Namun, manakala eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak hidup, tidak hadir, dan tidak tampil.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang lebih menekankan aspek eksistensia. Karl jaspers, seorang filsuf eksistensial mengartikan filsafat eksistensialisme adalah pemikiran yang memanfaatkan semua pengetahuan obyektif tetapi juga mengatasi pemikiran obyektif tersebut. Menurut jaspers pula, filsafat eksitensi bukanlah sebuah filsafat yang yang merenungkan kebenaran. Filsafat eksistensi itu bersifat praksis, yaitu menghayati kebenaran. Artinya, kebenaran cara berpikir manusia dibuktikan melalui tindakannya yang berdasarkan pemikirannya itu.

Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Eksistensialisme Jean-Paul Sartre bertitik tolak pada paham kebebasan manusia sebagai makhluk yang merdeka, bereksistensi, dan terhormat. Paham kebebasan dari Sartre yang mengabaikan nilai atau norma moral yang disepakati masyarakat atau norma agama dapat menimbulkan anarkhisme dalam masyarakat, walaupun Sartre menuntut tanggungjawab terhadap setiap kebebasan manusia. Dengan kebebasan tersebut, Sartre pesimis dengan eksistensi Tuhan. Terhadap Tuhan ini, ia memilih membe¬rontak daripada tunduk kepada-Nya. Filsafat Eksistensisalisme Sartre lebih bermanfaat bagi perjuangan kelompok kiri yang melawan tirani kapitalisme. Untuk itu pula, Sartre ikut memperjuangkan masyarakat kelas bawah yang kebebasannya ditindas oleh penguasa.
Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.
D. Pembahasan Drama Petang di taman karya Iwan Simatupang berdasar sudut pandang filsafat eksistensialisme.
Dalam setiap karya sastra, bagi pembaca pada umumnya, beban yang ada di pundak para pembaca adalah menganalisa fenomena yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai téori yang ada. Sebaiknya teori-teori tersebut haruslah kita aplikasikan dalam sebuah karya ilmiah yang teoritis dan terkadang harus kita akali bahasanya agar terlihat indah, ilmiah, dan analitik. Hal ini berlaku bagi setiap peneliti yang hendak meneliti sebuah karya yang bahasanya mungkin terlalu puitis, satiris ataupun metaforis tetapi tidak memiliki estetika keindahan, yang memberatkan adalah seorang peneliti harús meneliti karya tersebut dan menulîsnya dalam keadaan lengkap tanpa cacat secuil pun. Tetapi tidak pula demikian apabila kita menganalisis sebuah karya yang terkesan subyektif, dan benar-benar mencerminkan ideologi pengarangnya.
Schopenhauer menyebutnya, membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain. Akan tetapi karya pengarang-pengarang yang cenderung berpaham eksistensialis justru berseberangan dengan argumen, orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi. Karya yang mencerminkan ideologi sang pengarang biasanya berhubungan pula dengan segala hal dan peristiwa yang ada di sekelilingnya biasanya adalah ruang lingkup sosiologi sastra sudut pandang ideologi sejarah, dalam sudut pandang sejarah, maka suatu peristiwa dalam karya sastra mau tidak mau terkait dengan peristiwa sejarah pada réalita empirisnya, yakni dunia nyata.
Secara umum, karya seni atau sastra harus diartikan sebagai kesatuan hal-hal yang universal dan khusus. Maka, dengan demikian, hal tersebut tidak dapat dinikmati jika tidak disertai dengan nilai kesatuan/unitas. Pada karya teater simbolis, nilai kesatuan dari yang universal sampai dengan yang khusus (lokal) dapat diterima sebagai suatu kenyataan tanpa adanya pertimbangan lain; sedangkan pada karya surealisime nilai kesatuan/unitas selalu dihadirkan oleh adanya hal-hal yang bersifat tidak langsung. Definisi-definisi demikian sesungguhnya belum selesai. Masih banyak ruang yang perlu diperdebatkan.
Menurut Budi Darma, perkembangan sastra dalam negara kita adalah perkembangan yang akhirnya akan mengkristal, pada hakekatnya pengertian sastra mutakhir adalah nisbi. Budi Darma mengemukakan hal demikian karena melihat sejarah perkembangan sastra di Indonsia, masihlah belum panjang. Jarak ini makin tidak jelas karena pengarang yang sanggup bertahan dalam proses kristalisasi tersebut tidaklah banyak. Misalkan saja: Sutan Takdir Alisyahbana mulai menulis pada tahun 1930-an, Mochtar Lubis pada akhir dekade 1940-an, dan tetap tegak. Sementara Iwan Simatupang menulis sekitar tahun 1960-an, namun karyanya tetap hidup kendati Iwan sendiri telah meninggal pada era tahun 1970-an. Novel yang masih bernafas sampai sekarang, misalnya Atheis (1949) karya Achdiat K. Mihardja. Perkembangan sastra mutakhir tidak mungkin semata dibatasi oleh waktu, khususnya untuk sastra yang benar-benar ampuh. Meskipun demikian sastra mutakhir akan menjadi sebuah ancang-ancang bagi sastra di masa depan.

Banyak hal yang juga menjadi unsur untuk membangun karya sastra. Pada zaman Balai Pustaka, tidak akan ada label Balai Pustaka apabila tidak adanya keputusan politis yang diberikan Pemerintahan Hindia Belanda mengenai penerbit Balai Pustaka. Sastra Pujangga Baru pun juga tidak akan ada, apabila Indonesia waktu itu sudah merdeka. Pada saat sekarang sudah mulai muncul kembali gejala-gejala yang mempunyai implikasi terhadap karya sastra, dan membentuk sastra indonesia Mutakhir. Banyak hal yang menjadi menyangkut gejala-gejala itu, filsafat, kerinduan arkitipal dan sufhistifikasi.

Kadang-kadang filsafat dan sastra menjadi satu unsur yang saling mempengaruhi. Filsafat dapat diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri sekaligus dapat bertindak sebagai filsafat. Dalam perkembangan karya sastra sendiri dari zaman Balai Pustaka sampai sekarang, pemakaian filsafat dalam karya sastra berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena perbedaan lingkungan sosialnya dan perkembangan zaman.

Kita tahu sebelum pecah perang dunia ke-II, gaung filsafat dalam karya sastra masih sangat kurang. Namun setelah tahun 1960-an, riak-riak Eksistensialisme dan Absurdisme menjamur memenuhi novel-novel Iwan Simatupang, bahkan sampai sekarang, gema filsafat dalam karya sastra masih ada dan akan terus terasa.

Terpengaruh dari pengarang-pengarang filsafat, Albert Camus dan Jean Paul-Sartre pasca perang dunia ke-II. Para sastrawan di Indonesia mulai menggali eksistensialisme yang ada dalam dirinya. Salah satu unsur penting dalam eksistensialisme adalah filsafat ketakutan seperti yang ditunjukkan oleh Mochtar Lubis dalam novelnya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung (1952). Eksplorasi tentang ketakutan, tentang hakekat ketakutan, mewarnai karya-karyanya. Walau dalam novel ini Mochtar Lubis mengutip kata-kata dari Jules Romantis, mengenai makna akan ketakutan. Mochtar Lubis tetap dijadikan pioner dalam filsafat sastra di Indonesia.

Muncul kemudian yang namanya allienisme dan absurditas. Allienisme merupakan perasaan kesendirian yang tiba-tiba muncul dalam diri seseorang ketika orang itu berada di keramaian. Hubungan dengan tetangga dan yang tidak begitu akrab karena sibuk pada pekerjaan atau pikiran masing-masing juga merupakan pengejawantahannya. Contoh novel yang terdapat unsur Allienisme adalah novel-novel milik Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo dan lain-lain.

Absurdisme juga dianggap sebagai simpul eksistensialisme. Pada hakekatnya pengertian dari absurdisme adalah betapa tidak “bermaknanya” kehidupan kita. Landasan pemikiran tentang wacana absurdisme yang dikemukakan pertama kali oleh Albert Camus adalah sebuah mitologi Yunani kuno tentang Sisipus. Pada saat mendorong batu ke atas Sisipus merasa bahagia karena menggangap kehidupannya kini bermakna. Setelah sampai puncak bukit dan kemudian mengelinding kembali ke bawah, dia mendorongnya kembali keatas bukit. Demikianlah pekerjaan Sisipus terus menerus, sama halnya perjalanan kita.

Perkembangan sastra pun menjadi bermacam-macam, antara lain berbentuk karya sastra anti logika, anti plot, anti perwatakan dan lain sebagainya. Absurdisme dan eksistensialisme dalam karya sastra dapat kita temukan pada karya beberapa pengarang mutakhir Indonesia, salah satunya adalah Iwan Simatupang.

Iwan Simatupang bernama lengkap Iwan Maratua Dongan Simatupang, dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928. Masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian, akhir 1954 dia menuju Amsterdam, Belanda untuk belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden, lalu masuk jurusan Filsafat Barat Universitas Sorbonne, Paris, Perancis.

Ketika di Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di Amsterdam, Iwan pun mengarang drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya, dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu diberi judul Petang di Taman.

Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi, selain menulis esai, drama dan novel. Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di Laut, dan Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang. Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah Monolog Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhaI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab dan lain-lain.

Sebagai wartawan Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih terpinggirkan. Misalnya, Iwan menulis di kolomnya itu, Oleh-oleh untuk Pulau Bawean, Prasarana; Apa Itu Anakku?, Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!, Husy! Geus! Hoechst!, Di Suatu Pagi, Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan, dan Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.

Kritikus sastra menyebut karyanya sebagai avant garde terhadap buah pena Iwan. Iwan sendiri menyebut dirinya manusia marjinal, manusia perbatasan. Dalam novelnya Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya, Petang di Taman, RT 0 RW 0, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, tidak rasional. Bukan para hero yang ingar-bingar yang penuh gegap gempita dan senang retorika, serta hidup dala sepi tapi optimis. Dalam drama Senja di Taman yang liris puitis, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.

Petang di taman karya Iwan Simatupang adalah sebuah lakon yang mengangkat nilai-nilai eksistensialisme. bercerita tentang seorang Lelaki setengah baya (LSB) atau penyair yang terdampar di sebuah taman yang bertemu dengan orang tua (OT). Mereka mempertengkarkan hal-hal sepele. Kedatangan Wanita (W) semakin menguatkan absurditas manusia, dan penjual balon (PB) yang menjadi korban tuduhan mereka.


Drama ini berlatar di sebuah taman entah di mana. Akan tetapi seperti galibnya sebuah taman, ia hadir sebagai ruang publik. Ruang sosial, mungkin juga ruang antisosial. Pohon-pohon rindang dan juga bunga-bunga hadir dalam keteraturan dan beku. Bangku-bangku terpaku di sudut-sudut taman. Kadang taman itu sangat sepi, pun sebaliknya. Orang-orang singgah melepas semua yang terasa lalu pergi: bertemu dan berpisah. Taman adalah “rumah” bagi manusia yang lelah dan ruang gembira bagi binatang piaraan. Taman juga lanskapis nan indah tapi kemurungan tak mungkin menghidar darinya.
Drama ini dimulai dengan datangnya dua tokoh dari drama ini yaitu orang tua (OT) dan Lelaki setengah baya (LSB) yang membincangkan masalah perihal musim. Musim yang dipandang dari perspektif yang amat subyektif pada awalnya. Lalu berkembang ke dalam sebuah pergumulan yang amat individualis. Pemikiran akan eksistensi diri tokoh orang tua (OT) mulai terlihat disini, ketika mereka mulai mengakui kekeliruan pembacaan subyektif mereka tentang musim.

OT Tidak, tidak. Yang lebih tua mesti tahu diri dan mau mengalah. Ini musim kemarau.

Kutipan diatas, sangat memperlihatkan nilai eksistensia daripada essensia. Dimana konvensi publik tentang seharusnya yang tua yang lebih dihormati, secara realistis ditolak oleh tokoh orang tua (OT) yang lebih mengakui dirinya lah sebagai titik pangkal kesalahan.

Penggalan dialog kedua tokoh orang tua (OT) dan Lelaki setengah baya (LSB) itu membuka perdebatan tentang “posisi” manusia, dan juga absurditas keberadaan “musim”. Secara faktual, memang tampak hujan akan turun tapi dalam pandangan berada dan tidak berada (Korrie Layun Rampan, Ed-1985), malah sebaliknya. Perdebatan tentang musim selanjutnya membuka cerita manusia-manusia yang tidak pernah kunjung selesai.

LSB Pakai silahkan segala! Ini kan taman! Dia duduk atau tidak, terserah dia, habis perkara!

Kutipan diatas merupakan potongan dialog Lelaki setengah baya (LSB) dengan orang tua (OT) perihal kedatangan tokoh penjual balon (PB) yang datang dengan kecengengan masa lalunya. Pertemuan tiga “jiwa” dengan masa hidup dan pengalaman yang berbeda bukan menyuguhkan sebuah perdebatan yang “solusif”, malah memperuncing posisi dan eksistensi mereka. Tokoh Lelaki setengah baya (LSB), secara gamblang mengambil sebuah ketegasan mengenai kebebasan manusia. Kaum eksistensialis seperti pada umumnya, menganggap kemerdekaan adalah sebuah kebebasan yang tak terbatas.
Perbincangan perihal eksistensi tak terbatas sampai sana saja, dalam salah satu bagian, dapat kita simak dialog tokoh yang secara jelas makin mengakui keber-ADA-an dirinya. Pembenaran menjadi sebuah hal yang subyektif dan malah cenderung sangat individualis.
LSB kenapa kau duduk?
PB ee..saya mau duduk.
LSB kenapa bapak tertawa?
OT karena saya mau tertawa..
Dalam potongan dialog diatas, kita dapat melihat dua tokoh (PB dan OT) secara jelas mengakui secara absolute keberadaan mereka lewat kehendak yang tak bisa dibatasi—seperti kebiasaan pemikir eksistensi lain. Makna mengenai hal serupa juga dapat kita simak pada kutipan:
LSB hei, kenapa kau menangis?
OT karena dia memang mau menangis.

Kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, ketika situasi tersebut mulai goyah, pandangannya menjadi terbatas. Ini lah yang diperlihatkan tokoh penjual balon (PB) yang menolak anggapan bahwa dia adalah seorang penjual balon (PB) semata. Penolakannya itu berdasar pembenaran dirinya bahwa dia memegang balon hanya sebagai wujud kecintaannya saja pada balon.
LSB mengapa?
PB saya lebih suka balon.
LSB tapi kau pedagang balon kan?
PB itu alasan saja untuk dapat memegang balon. Saya pecinta balon.
Balon yang dibawa oleh tokoh penjual balon (PB) —yang memang sesuatu yang lazim di taman-taman orang membawa balon— malah jadi “sesuatu” yang mengiris kenangan kanak-kanak yang tidak sedap bagi orang tua.

OT ahh, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Tidak nak, sebaiknya kau ambil kembali balonmu ini.
PB saya tak sudi dan tak berhak menerima kenangan orang lain.

Segumpal taman di petang itu, mendedahkan manusia yang sia-sia. Wanita (W) dengan kereta bayi (hasil hubungan Wanita itu dengan Entah Siapa) menambah deretan manusia-manusia yang punya sisi gelap, murung, dan muram. Lengkaplah. Petang itu, taman kecil dipenuhi suara-suara yang keluar dari jiwa yang renta, sedih, obsesif, penuh kegagalan, nafsu, dan juga nista. Manusia yang tersingkir.
Titik pangkal dari pemikiran eksistensialis adalah meletakkan pandangan yang termat subyektif dimana kebenaran adalah yang ia anggap benar.

LSB bukan saya tak mau menolong, tapi secara prinsipil tak mau ikut campur dalam urusan yang bukan urusan saya.

Sisi individualisme dan pengakuan eksistensi tokoh Lelaki setengah baya (LSB) amat terlihat. Pandangan dan prinsip yang teramat subyektif. Sangat anti sosial. Pandangan Lelaki setengah baya (LSB) tersebut juga dapat kita simak pada tokoh orang tua (OT),

OT katakanlah saya hanya ingin mempertegas kedudukan saya dalam peristiwa yang kita hadapi ini. Ketuaan saya melarang saya terlibat sedikitpun ke dalamnya. Dan kalau kalian tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa yang sedikit rumit ini, maka jawab saya, saya pro pada kalian berdua,lepas dari pertanyaan apakah benar atau tidak, peristiwa itu telah benar-benar terjadi. Tegasnya: saya pro pada setiap peristiwa beginian.

Drama ini diakhiri dengan “berpulangnya” semua tokoh keculai Lelaki setengah baya (LSB) yang lebih memilih taman sebagai tempatnya melepas letih. penjual balon (PB) pergi kembali ke kecintaannya pada balon, tokoh wanita kembali pada “ketidakjelasannya”, sedangkan tokoh orang tua (OT) kembali lagi kepada hidup yang tak berpihak padanya—tanpa minah tentunya.
Menyimak drama ini, dapat kita anggap seperti sedang meneropong sebuah pemandangan yang amat landskapis mengenai keeksistensialisan masing-masing tokoh yang tak menutup kemungkinan merupakan representasi dari kehidupan manusia. Manusia yang kosong, marjinal, menderita, terasing seperti yang selalu iwan simatupang sajikan dalam karya-karyanya.

DAFTAR PUSTAKA
Gordimer, Nadine. Writing & Being. 2008. Yogyakarta: jalasutra.
Hamersma, Harry, Dr. Pintu masuk ke dunia filsafat. 1992. Yogyakarta: kanisius.
Hardjana, Andre. Kritik sastra sebuah pengantar. 1985. Jakarta: Gramedia.
Hassan, Fuad. Berkenalan dengan eksistensialisme. 2001. Jakarta: Pustaka jaya.
Mangunhardjana, A. Isme isme dari A sampai Z. 2001. Yogyakarta: kanisius.
Nadeak, Wilson. Tentang sastra. 1984. Bandung: CV. Sinar baru.
Prasetyo, A. Bagus. Epipenomenon. 2005. Jakarta: grasindo.
Simatupang, Iwan. PETANG DI TAMAN. Re-type Tim kreatif teater Anonimous.
Zaidan, Dkk. Kamus istilah sastra. 2004. Jakarta: Balai pustaka.