DAMALUNG Scriptorium : From the Hindu-Buddhist Period to the Islamic Period
By :
Ninie Susanti (Dep.Arkeologi FIB-UI)
Agung Kriswanto (Perpustakaan Nasional RI)
Centers for literacy activities had been known by the Old Javanese society since the invention of Javanese alphabet and literary scripts. The court was first thought to be respectable place for the poets (the Kawis), and inscription writers (citralekhas). They were probably selected from the educated young, and were given the task of ‘keeping’ important writings and documents and of writing them.
The written data available to us, however, indicate that there were also centers of activities outside the court that produced and kept literary scripts. Damalung ia a name of a location that is often mentioned in the Merapi-Merbabu scripts where old scripts were copied and is thought to be productive during the 15th-18th centuries. Damalung is also mentioned in a stone inscription of the late Majapahit era. Bujangga Manik, a renown Sundanese Poet of the 17th century mentioned Damalung as a place where people from literary centers in central and east Java went or visited in order to study.
Written sources, both inscriptions and literary scripts, produced by centers outside the court have different characteristics from these produced by the court scripts. These characteristics include form of alphabet, language, and kind of literary works.
Observation of these characteristic indicate that Damalung had been a religion center in the Hindu-Buddha period, center of inheritance, production and copying of scripts that had been productive since the beginning of the 15th century and sustained itself after the beginning of the development of Islam in Java (18th century A.D).
DAMALUNG
Skriptoria pada Masa Hindu-Budha sampai dengan Masa Islam
Oleh :
Ninie Susanti (Departemen Arkeologi FIB-UI)
Agung Kriswanto (Perpustakaan Nasional RI)
Pusat dan Pinggiran
Pengertian pusat dan pinggiran di dalam proses sejarah lebih dikaitkan dengan kepentingan kekuasaan politik. Artinya, pusat adalah tempat berhimpunan kekuatan-kekuatan yang menentukan jalannya percaturan politik, yaitu menentukan arah perkembangan bangsa dan negara, dalam skala apapun pengertian ini dipahami. Di pusat ini, fungsi dari berbagai kemudahan serta tuntutan keunggulan yang terus menerus, biasanya
1
terhimpun pula keutamaan-keutamaan dalam berbagai sektor kehidupan bangsa (Sedyawati 2001,25). Kemajuan kesusasteraan misalnya, dapat dilihat sebagai fungsi dari peningkatan kekuatan politik di pusat yang bersangkutan. Namun politik hendaknya tidak menjadi satu-satunya faktor penentu berbagai pemikiran yang mendasari ancangan untuk memisahkan identifikasi pusat; ekonomi, agama, ataupun budaya yang mempunyai andil. Dengan demikian dalam sebuah satuan kemasyarakatan bisa terdapat pusat-pusat yang berbeda untuk masing-masing sektor kehidupan tersebut. Pusat kegiatan sastra tidak hanya harus dilihat di pusat-pusat kekuasaan politik, melainkan juga dapat dilihat di pusat-pusat jenis lain (Sedyawati 2001,26).
Kesusasteraan Jawa berkembang di dua pusat kebudayaan, yaitu lingkungan keraton (dalam perannya sebagai pusat kekuatan politik) dan lingkungan luar keraton. Sumber tertulis yang berasal dari masa lalu memberi gambaran yang jelas mengenai hal ini. Karya sastra masa Jawa Kuno lebih dimungkinkan berkembang di lingkungan keraton karena belajar menggubah sajak-sajak dianggap sebagai suatu bagian mutlak dalam pendidikan seorang bangsawan. Mereka tidak hanya harus menikmati keindahan puisi serta pandai membawakannya, melainkan juga harus dapat menulis puisi sendiri, mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran dan secara spontan dalam sebuah kakawin (Zoetmulder, 1983:180).
Namun adapula para kawi (pengarang) profesional yang karya-karyanya sampai pada kita saat ini, mereka itu tinggal di keraton, tetapi bukan anggota keluarga raja atau bangsawan. Mereka termasuk kalangan pejabat, petugas dan hamba yang mengelilingi sang raja dan banyak di antara mereka juga memegang suatu jabatan religius. Dalam kalangan inilah bahasa Sanskerta dipelajari dan sastra dalam arti yang paling luas dikembangkan; pengutamaan diberikan pada teks-teks religius yang dipakai dalam pelaksanaan upacara-upacara atau merupakan bahan untuk memperdalam dan mengajarkan agama (Zoetmulder 1983:182).
Mandala
Dari sumber tertulis masa Jawa Kuno baik prasasti maupun naskah dapat diketahui bahwa ada pula para pujangga yang hidup jauh dari keramaian, di tempat-tempat sunyi atau di
2
lereng-lereng gunung. Mereka ini telah meninggalkan kehidupan duniawi untuk membaktikan diri pada hal-hal rohani (Wiryamartana 1990,25).
Pada masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi) perkampungan kaum agamawan disebut mandala, yang seluruhnya berjumlah 12 macam termasuk di dalamnya caturbhasma mandala, yaitu : mula-sagara, kukub, sukayajna, kasini (Pigeaud 1962,57-128). Keempat jenis mandala ini dianggap trpenting di antara mandala-mandala lainnya. Mandala yang dimaksudkan ini adalah sebuah wanasrama (Nagarakrtagama XXXII,2a) yaitu tempat sakral milik para rsi. Menurut naskah Rajapatigundala, sebuah naskah undang-undang yang dikarang oleh raja Bhatati (nama lain Krtanagara) dan disusun kembali pada jaman Majapahit, mandala itu dipimpin oleh seorang siddapandita yang disebut dewaguru; karena itu mandala dikenal pula sebagai kadewaguruan (Pigeaud 1962,87-89; Santiko 1986,3).
Soepomo pernah membicarakan jenis-jenis wanasrama, termasuk mandala, dan menurut pendapatnya patapan dan mandala tidak berbeda, karena keduanya adalah tempat untuk mengasingkan diri dan bertapa. Perbedaannya adalah apabila patapan adalah tempat perorangan mengasingkan diri dan bertapa untuk jarak waktu tertentu sehingga memperoleh yang diinginkannya sedangkan mandala adalah sebuah kompleks perumahan pertapa yang sifatnya permanen. Para pertapa itu disebut tapaswi (tapa) dan tapi (Soepomo 1977,66-67; Santiko 1986,3).
Keadaan lingkungan suatu mandala dapat ditafsirkan dari uraian kakawin Nagarakrtagama dan Arjunawijaya dan Sutasoma. Mandala, terletak di tengah hutan yang rindang dan asri, pondok-pondok teratur berjajar. Di tiap rumah terdapat serambi tempat orang duduk-duduk, tiang-tiang dihias relief cerita yang indah, di serambi-serambi juga biasanya menjadi tempat pembacaan kakawin. Banyak bangunan di bagian depannya ditulisi nama panggilan penghuninya, juga terdapat tulisan pañcāksara (lima huruf membentuk na-ma-si-wa-ya). Di halaman pañcāksara itu tumbuh bunga-bungaan, antara lain nagakusuma yang tumbuh di tepian kolam, juga terdapat pohon kelapa gading yang rendah buahnya lebat berwarna kuning (Nagarakrtagama 32;4-5; Arismunandar 2001,102).
Berdasarkan data dari berbagai karya sastra, Soepomo menafsirkan bahwa mandala merupakan perkampungan bagi kaum agamawan. Mandala, berpusat pada tapowana tempat tinggal mahārsi yang mungkin terletak di bagian puncak bukit atau lereng tertinggi di suatu wilayah. Di sekitar tapowana , disebut pajaran adalah tempat untuk memberi pelajaran-
3
pelajaran keagamaan, dan pada lereng agak ke bawah terdapat rumah-rumah ubwan, kili, tapi yang dinamakan pangubwanan (Arjunawijaya 23; Arismunandar 2001,102). Pendeta perempuan dan laki-laki yang masih dalam tahap belajar (śisya) menurut Nagarakrtagama, namanya endang dan kaki. Mereka tinggal dalam pedukuhan kaum agamawan tersebut yang dikenal dengan sebutan mandala atau kadewagurwan.
Selain berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, mandala juga merupakan tempat penulisan karya sastra. Kitab Tantu Panggelaran sebagai contoh karya sastra yang dihasilkan di lingkungan luar keraton, menyebutkan bahwa karya tersebut telah selesai ditulis dikarang kabhujanggan (daerah kepujanggaan) (Arismunandar 2001,106).
Dari penelitian yang pernah dilakukan dengan mengambil contoh kakawin Arjunawiwaha dan Bharatayuddha sebagai karya sastra dari lingkungan keraton dan Tantu Panggelaran dan Korawasrama dan Serat Manikmaya sebagai karya sastra dari lingkungan luar keraton, di dapat suatu perbedaan awal dari karya sastra tersebut. Perbedaan yang jelas adalah pada alur cerita. Karya sastra keraton berjenis kakawin sehingga alurnya lebih terkendali, sedangkan karya luar keraton lebih lazim berbentuk prosa sehingga mempunyai kebebasan lebih terbuka karena tidak terikat alur, tetapi terkendali oleh topik. Dari segi isi, diperoleh gambaran, karya sastra keraton lebih mengembangkan pemikiran mengenai aspek keagamaan yang mengarah kepada penjelasan mengenai hakekat tertinggi, nilai-nilai estetika dan nilai etika sedang karya sastra luar keraton lebih terkait dengan masyarakat pertanian dan terjadinya alam semesta, serta mitos-mitos tempat-tempat suci dan juga ajaran budi pekerti (Tim peneliti 1998,151-152). Walaupun adapula kegiatan penyaduran naskah-naskah sastra dari lingkungan keraton.
Tantu Panggelaran sebagai hasil karya sastra dari lingkungan luar keraton yang digubah pada akhir masa Majapahit (abad ke-16 Masehi) menyebutkan nama gunung-gunung sebagai lokasi mandala-mandala penghasil karya sastra. Karena naskah ini digubah di Jawa Timur, maka nama daerah-daerah yang disebutkan rata-rata berada di Jawa Timur, yaitu gunung Mahameru, gunung Katon, gunung Wilis, gunung Kampud, gunung Kawi, gunung Arjuna, gunung Kemukus dan gunung Kailasa (Tim Peneliti 1998,125). Sedangkan mandala-mandala yang disebutkan adalah mandala di Hahah, Geresik, dan Sunyagiri yang terletak di lereng-lerang gunung Mahameru, mandala Labdawara dan rabut Gĕnting di gunung Kawi, mandala Manguh di lereng sebelah utara gunung Wilis, mandala Panasagiri di
4
gunung Nangka, mandala di gunung Manuñjang, dan mandala di Dindug (Arismunandar 2001,107).
Serat Manikmaya sebagai contoh lain, yang ditulis pada tahun 1794 (masa Kartasura) yang isinya mempunyai kemiripan dan kutipan dari Tantu Panggelaran, namun ditulis dalam bahasa Jawa Baru. Karya ini digubah di suatu lokasi diluar lingkungan keraton di Jawa Tengah, menyebut ada 18 gunung yang berada di Jawa Tengah, sangat mungkin pada gunung-gunung tersebut terletak mandala-mandala tempat penghasil karya sastra, yaitu : jamur dipa, gunung Tampora, gunung Halahulu, gunung Cirebah, gunung Pragota, gunung Kendheng, gunung Sumbing, gunung Merapi, gunung Merbabu, Lawu, Kadiri, Munya, Barcah, Soharmi, Mardi Wulangan, dan gunung Kelud, Semeru (Tim Peneliti 1998,125).
Damalung
Bujangga Manik adalah seorang Hindu-Sunda yang hidup pada akhir abad ke-15-awal abad ke 16 masehi. Dalam pengembaraannya, ia pernah menempuh perjalanan darat dari wilayah Sunda hingga ujung timur Pulau Jawa dan Bali dan kembali lagi ke Jawa Barat. Pengalamannya itu, ia tuangkan dalam tulisan seperti laporan perjalanan (Noordijn 1984,1). Ia mencatat kunjungannya ke pertapaan-pertapaan dan mandala-mandala di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mandala penting yang didatangi oleh Bujangga Manik adalah pajaran Pamrihan yang terletak di gunung Damalung. Menurut Krom, Damalung adalah nama lama gunung Merbabu di Jawa Tengah. Terkesan memang bahwa Bujangga Manik telah mengunjungi daerah-daerah perguruan agama untuk mendalami ilmu agama(Noordijn 1984,7). Hal-hal yang dipelajari antara lain adalah kaidah-kaidah berperilaku, pengetahuan bahasa dan aksara.
Berdasarkan pada isi kolofon dari naskah-naskah berciri Merapi-Merbabu yang ada di Perpustakaan Nasional dan lainnya, dapat diperoleh gambaran bahwa mandala/daerah penghasil karya sastra atau disebut juga skriptoria di lingkungan gunung Merbabu, tersebar di beberapa lokasi. Di antaranya adalah di puncak gunung (ywagra), di lereng gunung (gĕgĕr) dan di kaki gunung (jőŋ).
Lokasi di sekitar gunung Merbabu adalah :
1. Sang Hyang Pamrihan, di kaki gunung, sebelah timur laut (kakawin Arjunawijaya:Supomo 1977:179).
5
2. Sang Hyang Ardi Giri Pwamrihan, di puncak, sebelah barat laut (Kunjarakarna, van der Molen 1983;279).
3. Sang Hyang Ardi Damalung, di kaki gunung, barat daya (Kunjarakarna L53).
4. Sang Hyang Giri Hardi Pamrihan, kaki gunung, sebelah barat, Rabut Pekik (Arjunawiwaha)
5. Sang Hyang Ngarddhi Giri Pamrihan, di kaki gunung, barat laut, Wanakasa, Patĕmon (Arjunawiwaha) (Wiryamartana, 1993,505)
Hal menarik yang menjadi fenomena atas hasil-hasil karya sastra di perguruan/mandala Merpati-Merbabu ini adalah jumlahnya yang sangat banyak, bentuk aksara yang memiliki karakter tersendiri dalam hal ini sangat berbeda dengan aksara-aksara yang dipergunakan pada karya sastra dari lingkungan keraton. Selain itu bahasa yang dipergunakan lebih mencirikan bahasa Jawa Pertengahan.
Nama Damalung pernah juga disebut di dalam sebuah prasasti batu yang berasal dari daerah Ngadoman (yaitu sekitar gunung Merapi) yang berangka tahun 1371 Śaka (1449 Masehi) yaitu pada masa kerajaan Majapahit berkuasa. Prasasti ini menjadi menarik karena mempergunakan aksara dengan tipe dan penanda yang sama dengan karya sastra yang berasal dari Merapi-Merbabu yang dituliskan pada lontar. Bahasa dan isi yang dipergunakan dalam prasasti inipun tidak serupa dengan bahasa yang lazim dipergunakan di dalam prasasti-prasasti dari raja Majapahit pada umumnya.
Isi prasasti Damalung memuat tentang pujian pada Sri Saraswati yang telah memakmurkan gunung perkasa Damalung. Selanjutnya, petuah mengenai ketaatan pada dewa, menjunjung tinggi kejujuran serta senantiasa memakai akal budi, serta mendengar doa untuk membebaskan diri dari keterikatan harta benda.
Serupa dengan gejala yang terdapat pada prasasti Damalung ini, terdapat 22 prasasti batu singkat yang berasal dari desa Pasrujambe dan desa Gerba, di kabupaten Lumajang. Bujangga Manik menyebut pula telah melewati desa Cakru, yang sekarang masih jelas lokasinya terdapat di pantai sebelah selatan Lumajang sampai di lurah Kĕnĕp dan di Lamajang Kidul (Noordijn 1984,27). Bentuk aksara, isi dan bahasa pada prasasti-prasasti singkat tersebut juga mempunyai kesamaan dengan prasasti Damalung, hanya saja cuma dua prasasti yang mencantumkan angka tahun yaitu prasasti Pasrujambe V dan Pasrujambe VII, sama-sama berangka tahun 1391 Śaka. Berdasarkan penelitian Anton Wibisono mengenai
6
kronologi aksara terhadap prasasti-prasasti jenis ini, ada 2 prasasti dengan bentuk aksara yang lebih tua dari prasasti Damalung (1371 Saka) yaitu prasasti Gerba dan prasasti Widodaren(Wibisono 2004,2004). Jelaslah bahwa prasasti-prasasti batu beraksara dan berpenanda sama dengan naskah-naskah sastra dari skriptoria Damalung ini telah ada sebelum tahun 1371 Saka (1449 Masehi).
Kembali kepada karya sastra yang dihasilkan dari Skriptoria Damalung.
Hasil-hasil Tradisi Penulisan dan Penyalinan di Damalung
Gunung Damalung atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Gunung Merbabu, pada masanya merupakan tempat berlangsungnya tradisi penulisan naskah-naskah yang sekarang dikenal dengan kelompok naskah Merapi-Merbabu. Masa ini diperkirakan berlangsung antara pertengahan akhir abad ke-17 dan perempat awal abad ke-18. Bahkan berdasarkan laporan perjalanan Bujangga Manik yang datang ke Jawa pada sekitar abad ke-15, Damalung sudah merupakan salah satu pusat studi di Jawa pada saat itu ( Wiryamartana, 1993 : 506-507). Hasil-hasil tradisi penulisan tersebut, salah satunya dibuktikan dengan adanya naskah-naskah Merapi-Merbabu yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI.
Koleksi naskah Merapi-Merbabu dulunya merupakan milik Kyai Windusana, lalu pada sekitar tahun 1852 di ambil alih oleh Bataviaasch Genootschap yang sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI (PNRI).( Wiryamartana dan Van der Molen, 2001 : 52). Untuk mengetahui naskah Merapi-Merbabu yang tersimpan di PNRI, dapat dilihat pada Katalog Naskah Merapi-Merbabu PNRI yang disusun oleh para pakar naskah Merapi-Merbabu, antara lain : I. Kuntara Wiryamartana, Willem van der Molen dan Kartika Setyawati.
Untuk itu, dalam tulisan akan dipetakan hasil-hasil tradisi penulisan di Gunung Damalung atau Merbabu, berdasarkan nama-nama daerah di sekeliling gunung Damalung atau Merbabu yang disebutkan pada kolofon dalam naskah-naskah tersebut. Naskah yang tersimpan di PNRI sekarang berjumlah sekitar empat ratus buah yang semuanya berupa naskah lontar ( Setyawati, 2002 : 1). Dari jumlah tersebut dapat diketahui sekitar 30 naskah yang ditulis di Gunung Damalung.
Sementara terdapat beberapa naskah yang di dalam kolofonnya mencantumkan nama Gunung Pamrihan. Menurut Noorduyn, Pamrihan adalah nama lain untuk Gunung
7
Damalung atau Merbabu ( Noorduyn, 1982 : 516). Disini temukan sekitar 18 naskah yang mencantumkan nama Gunung Pamrihan. Jadi terdapat hanya sekitar 48 naskah yang ditulis di Damalung atau Pamrihan. Kondisi ini sangat dimaklumi karena sebagian besar naskah Merapi-Merbabu tidak lagi ditemukan kolofonnya, hal ini mungkin disebabkan karena naskah tersebut sudah kehilangan lempir-lempirnya atau banyaknya lempir yang sudah tidak utuh lagi. Bahkan terdapat beberapa naskah yang hanya merupakan kumpulan-kumpulan lempir saja, antara lain : 8 L 63, 11 L 271 dll.
Selain yang tersebut di atas, tentunya naskah Merapi-Merbabu ditulis di wilayah Gunung Merapi atau di dalam teks dikenal dengan Mandarageni. Ditemukan juga nama gunung yang lain selain Merapi dan Damalung, antara lain : Tilamaya, Karungrungan, Kanistan, Wilis dan Lawu.
Tempat Penulisan atau Penyalinan
Teks-teks di dalam naskah Merapi-Merbabu ditulis di atas lontar dengan ukuran rata-rata yaitu ; panjang 36-46 cm. dan lebar 3-3,5 cm.serta ditulis menggunakan aksara buda atau aksara gunung ( Wiryamartana dan Van Der Molen, 2001 : 58). Tetapi, aksara Jawa juga sudah pasti dikenal dan dipakai oleh penyalin naskah Merapi-Merbabu, terbukti dengan adanya aksara Jawa yang dipakai bersama dengan aksara Buda ( Setyawati, 2002 : 2).
Di Damalung, tempat penulisan dan penyalinan naskah menyebar di beberapa sisi-sisinya. Setiap kolofon biasanya mencantumkan sisi yang menjadi lokasi penulisanya, tetapi ada juga beberapa naskah yang tidak mencantumkan nama lokasinya.
Di bawah ini diuraikan hasil-hasil penulisan naskah berdasarkan nama tempat di sisi Gunung Damalung yang terdapat di dalam kolofon, ke-48 naskah yang ditulis di Damalung adalah sebagai berikut :
a. Sisi Timur Laut
Pada sisi ini terdapat nama lereng yaitu lereng Sunyahara (7 L 10), lereng Sunyatara ( 7 L 18 III), lereng Loning ( 3 L 236, 36 L 260). Samakah Sunyahara dengan Sunyatara?.
Terdapat nama-nama desa yaitu Pangubonan (?) (10 L 222), Tremadang ( 256 (2)), Wanalalis (7 L 18 III), Gandariya ( 91 a I).
8
Naskah yang tidak mencantumkan nama lereng dan desa yaitu ( 10 L 144), (86 L 219), (2 L 137 a (1)).
Tahun penulisan : 1591 Tahun Jawa MM ( 10 L 144) ( Tentang tahun Merapi-Merbabu lihat (Wiryamartana dan van der Molen, 2001 : 55-58))
Bentuk atau isi teks antara lain : mantra ( 7 L 10, 7 L 18 (3), 10 L 144, 10 L 222, 11 L 256 (2), 8 L 91aI, 3 L 236), Primbon (36 L 260, 2 L 137a(1), Kakawin (86 L 219).
b. Sisi Utara
Pada sisi ini terdapat nama lereng yaitu lereng Sunyatara (2 L 495) lihat (7 L 10 dan 7 L 18 III), lereng Saranti dan lembah Tajuk (32 L 134 I (4), 32 L 206 II (2)).
Nama desa yaitu : Sumandha/ Sumadha ( 32 L 134 I (4), 32 L 206 II (2)
Tahun penulisan : 1641 ( 32 L 206 II (2))
Penulis atau penyalin kedua teks di desa Sumandha/Sumadha adalah Ki Tan Gingsir.
Bentuk atau isi teks : Primbon ( 2 L 495), Nasehat/Tutur ( 32 L 206 II (2), Suluk ( 32 L 134 (4).
c. Sisi Barat Laut
Terdapat nama lereng yaitu Wanadrana ( 32 L 231)
Nama desa antara lain : Wanakuda ( 32 L 7a (1)), Wanakirya (8 L 98, 1 L 170, 9 L 123a), Samagawe ( 32 L 313 (1)), Wanalalis ( 14 L 273 I) lihat ( 7 L 18 III), Wanakampir. (2 L 148)
Terdapat nama tempat Rabut Pamrihan (1 L 170) dan Wisma Darmasari (10 L 233 (1). Untuk nama terakhir kemungkinan adalah nama tempat penyalinan/ padepokan.
Tanpa menyebutkan nama tempat yaitu ( 33 L 13 (5), 2 L 148 (1), 33 L 154 (1), 3 L 171, 32 L 183, 14 L 205 (1), 31 L 220).
Bentuk atau isi teks : kakawin ( 33 L 154 (1), 31 L 220) Kidung ( 32 L 7a (1), 32 L 231, 32 L 183, 32 L 313 (1)), Primbon dan Pawukon ( 2 L 148 (1), 3 L 171, 14 L 205 (1), Mantra ( 8 L 98), 14 L 273 (1), 9 L 123a), Tutur/ ajaran ( 33 L 13 (5), 1 l 170, 10 l 233 (1).
9
Tahun penulisan : 1606 MM (2 L 148 (1), 1591/2/3 MM (31 L 220) (lihat Wiryamartana, 1990 : 18), 1598 MM ( 10 L 233 (1)), 1585 MM (1 L 170)
d. Sisi Barat
Terdapat nama lereng Panepen ( 6 L 130), Jayalaksana (?) ( 33 L 298), Wurawari (?) ( 32 L 293 (1)) dan lembah Deles ( 33 L 270)
Nama-nama desa antara lain : Warangan ( 6 L 130, 36 L 589 (1)), Jayalaksana (?) (33 L 270), Lurah pakis ( 69 L 65 b (1). Terdapat juga nama tempat Rabut Pamrihan ( 6 L 46 (1), nama tempat ini sama dengan nama tempat yang terdapat di sisi barat laut.
Bentuk atau isi : Primbon ( 6 L 130, 36 L 589 (1)), Pedoman ( 33 L 298), Mantra ( 32 L 293 (1), 33 L 270, 3 L 235)
Penulis : Wiranata ( 6 L 130)
Tahun Penulisan : 1539 MM ( 33 L 270), 1555 MM ( 69 L 65 b (1), 32 L 293 (1))
e. Sisi Barat Daya
Berdasarkan kolofon yang ada, hanya ditemukan satu naskah dengan nama lereng yaitu Windu Panesepan, teks berjudul Kunjarakarna (1 L 53 I) dan ditulis pada tahun 1633 MM ( Wiryamartana, 1993 : 506) atau 1710 AD ( lihat Wiryamartana van der Molen : 2002 : 58-63).
f. Sisi Tenggara
Terdapat nama lereng yaitu Candi Kapetek ( 10 159) dan lereng Sesela (7 L 31)
Nama-nama desa antara lain : Wanasepi (33 L 135)
Tanpa nama desa atau lereng ( 12 L 261 I), 4 L 143 I (3)
Bentuk atau isi : Mantra ( 10 L 159) Kakawin ( 33 L 135) Kidung ( 32 L 94 (1), Primbon ( 12 L 261 I) Tutur/ajaran ( 4 L 143 (3))
Tahun Penulisan : 1581 (10 L 159), 1589 ( 33 L 135), 1581 ( 10 L 159),
g. Sisi Timur
Terdapat nama desa yaitu Argawana ( 2 L 19 (1)
Tanpa nama desa ( 2 L 224)
Bentuk atau isi : Pawukon ( 2 L 19 (1), 2 L 224)
Tahun Penulisan : 1584
h. Tanpa tempat 10
Terdapat nama lereng Sukawalu ( 12 L 315 (1) dan nama desa Wanalaba (11 L 256 (1).
Bentuk atau isi : Kidung ( 206 II (1), Mantra ( 11 L 271 (12), 12 L 315 (1), 11 L 256 (1).
Dari seluruh sisi yang telah disebutkan, terlihat bahwa kedelapan penjuru mata angin yang mengelilingi Gunung Damalung hanya ada satu sisi yang tidak ditemukan tempat penulisannya yaitu sisi selatan. Mungkinkah hal ini disebabkan karena sebelah selatan merupakan jurang-jurang yang tidak dapat dijadikan tempat pemukiman? atau ada alasan lain yang mendasarinya.
Penyalinan dan Penulisan
* Di setiap akhir teks, pada awal kolofon biasanya tertulis :
telas tinular yang berarti selesai ditularkan,
telas tinulad yang berarti selesai disalin
kahuwusaning anurat.atau telas sinurat yang lebih tepat diartikan dengan selesai ditulis.
Teks-teks yang di dalam kolofonnya menggunakan kalimat telas sinurat: ( 10 L 144 (1)/ mantra), ( 8 L 98/ mantra), ( 6 L 130/ Primbon).
Teks yang menggunakan kalimat telas tinular dan telas tinulad.( 32 L 134/ Suluk Asmara), ( 1 L 170/ Utarasabda), (32 L 7a/ Kidung Subrata), ( 33 L 270/ mantra), dll.
Apakah penggunaan kedua kalimat dalam kolofon tersebut mengindikasikan bahwa teks-teks yang ditulis dengan telas sinurat adalah hasil penulisan dari tempat tersebut? Sedangkan kata tinulad sangat lazim dipergunakan oleh citralekha (penulis prasasti) pada prasasti-prasasti perunggu maupun batu yang disalin kembali pada masa sesudahnya.
* Disetiap teks terdapat penanda pembuka dan penutup yang khas dan hanya dijumpai pada naskah yang berasal dari lingkungan Merapi-Merbabu. Hal ini menjadi penting karena prasasti-prasasti batu yang mempergunakan aksara yang serupa dengan aksara pada naskah (aksara Buda) ternyata juga mempergunakan penanda yang sama di awal dan akhir prasasti. Penanda-penanda tersebut adalah :
11
11. Wanakuda 7. Sumadha/Sumandha1. Wanalalis 12. Wanakirya 8. lembah Tajuk 2.Tremadang 13. Wa nalalis 9. lereng Saranti 3.Pangubonan (?) 14. Samagawe 10. lereng Sunyatara 4.Gandariya 15. Wanakampir 5. lereng Sunyatara 16. lereng Wanadrana 6.lereng Loning 17. Warangan 27. Argawana 18. Lurah Pakis 19. Jayalaksana (?) 20. Wisma Darmasari 21. lembah Deles 22. lereng Jayalaksana 24. Wanasepi 25. lereng Candi Kapetek 23. lereng Windu panesepan 26. lereng Sesela G. Damalung
Bentuk isi, baik prasasti maupun naskah yang bertipe berasal dari Damalung (lingkungan Merapi-Merbabu) mempunyai perbedaan yang mendasar. Apabila prasasti-prasasti yang berasal dari pusat kerajaan berisi mengenai maklumat penganugerahan status sima, maka prasasti beraksara Buda mempunyai isi petuah serta pengajaran budi pekerti yang ditujukan pada semua orang. Hal ini menguatkan bahwa Damalung memang merupakan pusat pengajaran agama dan budipekerti pada masa Majapahit. Dikemudian hari, Damalung disebut-sebut sebagai tempat penulisan naskah yang berisi sebagian besar adalah primbon, rajah, pawukon, mantra, ajaran-ajaran (yang tidak selalu terikat pada keagamaan tertentu, contohnya Sĕrat Darmajati; Buduroh 2006), walaupun adapula kakawin.
Dari data yang ada, baik berupa prasasti batu maupun naskah sastra pada lontar dapatlah disimpulkan bahwa Damalung merupakan pusat keagamaan pada masa Hindu-Budha, pusat pewarisan, penyalinan dan penciptaan naskah yang berkembang pada awal abad ke-15 Masehi (masa Majapahit) dan terus bertahan pada saat berkembangnya agama Islam di Jawa yaitu pada zaman Kartasura (abad ke-18).
Damalung menjadi pusat keagamaan, skriptoria yang penting dalam sejarah kesusateraan Jawa dan telah mengangkat keberadaannya sebagai pusat penghasil karya sastra yang utama, karena prasasti dan naskah yang dihasilkan oleh para agamawan di tempat itu mempunyai ciri khas pada aksara, bahasa, penanda dan aliran keagamaannya.
12
Penelitian lanjutan mengenai hasil karya sastra dari skriptoria Damalung akan memberikan kontribusi penting mengenai perkembangan sejarah sastra Jawa yang dihasilkan oleh lingkungan di luar keraton secara lebih komperhensif.
Daftar Pustaka
Aris Munandar, Agus 2001
Pusat-pusat Keagamaan Masa Jawa Kuna,
Di dalam Sedyawati, Edi dkk (penyunting), Sastra Jawa; Suatu Tinjauan Umum. Penerbit Pusat Bahasa dan PN.Balai Pustaka, Jakarta.
Buduroh, Mamlahatun 2006
Naskah Darmajati
Edisi Teks, Terjemahan Disertai Tinjauan isi dan Aksara
Tesis Magister, FIB-UI, Depok
De Casparis, J.G. 1975
Indonesian Palaeography, A History of Writings in Indonesia from the Beginnings to C.AD.1500,
Leiden/Kőln, E.J.Brill.
Noordijn, Dr.J. 1984
Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa : Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno,
Judul asli : Bujangga Manik’s Journeys Through Java : Topographical Data from an Old Sundanese Source, Terjemahan oleh Drs.Iskandawassid.
Dalam : BKI, 138 hal.413-442.
KITLV bekerja sama dengan LIPI
13
Pigeaud, Th.G.Th 1960
Java in The Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapañca of Majapahit,1365 A.D. volume I,
The Hague; Martinus Nijhoff.
Pigeaud, Th.G.Th 1967
Literature of Java, vol I, Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 AD.
The Hague: Martinus Nijhoff
Santiko, Hariani 1986
Mandala (Kadewaguruan) pada Masyarakat Majapahit,
Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Cipanas.
Santiko, Hariani 2002
Hubungan Ajaran Tutur dengan Fungsi Tempat-tempat Suci Hindu Masa Singasari dan Majapahit.
Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX, Kediri.
Santiko, Hariani 2006
Agama pada Masa Majapahit,
Dalam Majapahit Trowulan, diterbitkan oleh Indonesian Heritage Society, copyright Direktorat Peninggalan Purbakala, Jakarta.
Sedyawati, Edi dkk (penyunting) 2001
Sastra Jawa : Suatu Tinjauan Umum,
Diterbitkan oleh Pusat Bahasa dan PN.Balai Pustaka, Jakarta.
Sedyawati, Edi 2001
Masalah Pusat dan Pinggiran dalam Sastra Jawa,
Di dalam Sedyawati dkk,(ed) Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, Jakarta.
Setyawati, Kartika, I.Kuntara Wiryamartana, Willem van der Molen, 2002
Katalog Naskah Merapi-Merbabu,Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Penerbitan Universitas Sanata Dharma dan Universiteit Leiden.
Supomo, S 1977
Arjunawijaya,
KITLV, The Hague: Martinus Nijhoff
Susanti-Y, Ninie & Titik Pudjiastuti 2001
Aksara,
Dalam : Sedyawati, Edi dkk(penyunting), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, Jakarta.
14
Susanti-Y, Ninie 2001
Prasasti dari Desa Widodaren; Suatu Kajian Awal Tentang Aksara
Makalah dipresentasikan pada Seminar Asosiasi Ahli Apigrafi Indonesia, Malang.
Tim Peneliti (Edi Sedyawati, Ninie Susanti, Sri Sukesi Adiwimarta, 1998
Dina Nawangningrum, Supriyanto Widodo)
Keberlanjutan Tradisi Jawa Kuna ke Jawa Baru pada Beberapa Lingkungan Penghasil Sastra: Keraton dan Mandala,
Laporan Penelitian dibeayai oleh Balai Penelitian Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Van der Molen, W. 1985
Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa,
Dalam : Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta; Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Wibisono, Anton 2004
Perkembangan Aksara Bercorak Khusus pada Prasasti-Prasasti Abad XV Masehi: Sebuah Kajian Paleografi.
Skripsi Sarjana Humaniora. FIB – UI, Depok.
Wiryamartana, I.Kuntara 1990
Arjunawiwaha; Transformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa,
Duta Wacana University Press, Yogyakarta.
Wiryamartana, I.Kuntara 1993
The Scriptoria in Merbabu-Merapi Area,
BKI, 149:503-509
Wiryamartana, I.Kuntara dan W.van der Molen 2001
The Merapi-Merbabu Manuscripts; A Neglected Collection,
BKI,157-1; 51-64
Zoetmulder, P.J
Kalangwan, Sastra Jawa Selayang Pandang 1983
Penerbit Djambatan, Jakarta
15
Ninie Susanti (Dep.Arkeologi FIB-UI)
Agung Kriswanto (Perpustakaan Nasional RI)
Centers for literacy activities had been known by the Old Javanese society since the invention of Javanese alphabet and literary scripts. The court was first thought to be respectable place for the poets (the Kawis), and inscription writers (citralekhas). They were probably selected from the educated young, and were given the task of ‘keeping’ important writings and documents and of writing them.
The written data available to us, however, indicate that there were also centers of activities outside the court that produced and kept literary scripts. Damalung ia a name of a location that is often mentioned in the Merapi-Merbabu scripts where old scripts were copied and is thought to be productive during the 15th-18th centuries. Damalung is also mentioned in a stone inscription of the late Majapahit era. Bujangga Manik, a renown Sundanese Poet of the 17th century mentioned Damalung as a place where people from literary centers in central and east Java went or visited in order to study.
Written sources, both inscriptions and literary scripts, produced by centers outside the court have different characteristics from these produced by the court scripts. These characteristics include form of alphabet, language, and kind of literary works.
Observation of these characteristic indicate that Damalung had been a religion center in the Hindu-Buddha period, center of inheritance, production and copying of scripts that had been productive since the beginning of the 15th century and sustained itself after the beginning of the development of Islam in Java (18th century A.D).
DAMALUNG
Skriptoria pada Masa Hindu-Budha sampai dengan Masa Islam
Oleh :
Ninie Susanti (Departemen Arkeologi FIB-UI)
Agung Kriswanto (Perpustakaan Nasional RI)
Pusat dan Pinggiran
Pengertian pusat dan pinggiran di dalam proses sejarah lebih dikaitkan dengan kepentingan kekuasaan politik. Artinya, pusat adalah tempat berhimpunan kekuatan-kekuatan yang menentukan jalannya percaturan politik, yaitu menentukan arah perkembangan bangsa dan negara, dalam skala apapun pengertian ini dipahami. Di pusat ini, fungsi dari berbagai kemudahan serta tuntutan keunggulan yang terus menerus, biasanya
1
terhimpun pula keutamaan-keutamaan dalam berbagai sektor kehidupan bangsa (Sedyawati 2001,25). Kemajuan kesusasteraan misalnya, dapat dilihat sebagai fungsi dari peningkatan kekuatan politik di pusat yang bersangkutan. Namun politik hendaknya tidak menjadi satu-satunya faktor penentu berbagai pemikiran yang mendasari ancangan untuk memisahkan identifikasi pusat; ekonomi, agama, ataupun budaya yang mempunyai andil. Dengan demikian dalam sebuah satuan kemasyarakatan bisa terdapat pusat-pusat yang berbeda untuk masing-masing sektor kehidupan tersebut. Pusat kegiatan sastra tidak hanya harus dilihat di pusat-pusat kekuasaan politik, melainkan juga dapat dilihat di pusat-pusat jenis lain (Sedyawati 2001,26).
Kesusasteraan Jawa berkembang di dua pusat kebudayaan, yaitu lingkungan keraton (dalam perannya sebagai pusat kekuatan politik) dan lingkungan luar keraton. Sumber tertulis yang berasal dari masa lalu memberi gambaran yang jelas mengenai hal ini. Karya sastra masa Jawa Kuno lebih dimungkinkan berkembang di lingkungan keraton karena belajar menggubah sajak-sajak dianggap sebagai suatu bagian mutlak dalam pendidikan seorang bangsawan. Mereka tidak hanya harus menikmati keindahan puisi serta pandai membawakannya, melainkan juga harus dapat menulis puisi sendiri, mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran dan secara spontan dalam sebuah kakawin (Zoetmulder, 1983:180).
Namun adapula para kawi (pengarang) profesional yang karya-karyanya sampai pada kita saat ini, mereka itu tinggal di keraton, tetapi bukan anggota keluarga raja atau bangsawan. Mereka termasuk kalangan pejabat, petugas dan hamba yang mengelilingi sang raja dan banyak di antara mereka juga memegang suatu jabatan religius. Dalam kalangan inilah bahasa Sanskerta dipelajari dan sastra dalam arti yang paling luas dikembangkan; pengutamaan diberikan pada teks-teks religius yang dipakai dalam pelaksanaan upacara-upacara atau merupakan bahan untuk memperdalam dan mengajarkan agama (Zoetmulder 1983:182).
Mandala
Dari sumber tertulis masa Jawa Kuno baik prasasti maupun naskah dapat diketahui bahwa ada pula para pujangga yang hidup jauh dari keramaian, di tempat-tempat sunyi atau di
2
lereng-lereng gunung. Mereka ini telah meninggalkan kehidupan duniawi untuk membaktikan diri pada hal-hal rohani (Wiryamartana 1990,25).
Pada masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi) perkampungan kaum agamawan disebut mandala, yang seluruhnya berjumlah 12 macam termasuk di dalamnya caturbhasma mandala, yaitu : mula-sagara, kukub, sukayajna, kasini (Pigeaud 1962,57-128). Keempat jenis mandala ini dianggap trpenting di antara mandala-mandala lainnya. Mandala yang dimaksudkan ini adalah sebuah wanasrama (Nagarakrtagama XXXII,2a) yaitu tempat sakral milik para rsi. Menurut naskah Rajapatigundala, sebuah naskah undang-undang yang dikarang oleh raja Bhatati (nama lain Krtanagara) dan disusun kembali pada jaman Majapahit, mandala itu dipimpin oleh seorang siddapandita yang disebut dewaguru; karena itu mandala dikenal pula sebagai kadewaguruan (Pigeaud 1962,87-89; Santiko 1986,3).
Soepomo pernah membicarakan jenis-jenis wanasrama, termasuk mandala, dan menurut pendapatnya patapan dan mandala tidak berbeda, karena keduanya adalah tempat untuk mengasingkan diri dan bertapa. Perbedaannya adalah apabila patapan adalah tempat perorangan mengasingkan diri dan bertapa untuk jarak waktu tertentu sehingga memperoleh yang diinginkannya sedangkan mandala adalah sebuah kompleks perumahan pertapa yang sifatnya permanen. Para pertapa itu disebut tapaswi (tapa) dan tapi (Soepomo 1977,66-67; Santiko 1986,3).
Keadaan lingkungan suatu mandala dapat ditafsirkan dari uraian kakawin Nagarakrtagama dan Arjunawijaya dan Sutasoma. Mandala, terletak di tengah hutan yang rindang dan asri, pondok-pondok teratur berjajar. Di tiap rumah terdapat serambi tempat orang duduk-duduk, tiang-tiang dihias relief cerita yang indah, di serambi-serambi juga biasanya menjadi tempat pembacaan kakawin. Banyak bangunan di bagian depannya ditulisi nama panggilan penghuninya, juga terdapat tulisan pañcāksara (lima huruf membentuk na-ma-si-wa-ya). Di halaman pañcāksara itu tumbuh bunga-bungaan, antara lain nagakusuma yang tumbuh di tepian kolam, juga terdapat pohon kelapa gading yang rendah buahnya lebat berwarna kuning (Nagarakrtagama 32;4-5; Arismunandar 2001,102).
Berdasarkan data dari berbagai karya sastra, Soepomo menafsirkan bahwa mandala merupakan perkampungan bagi kaum agamawan. Mandala, berpusat pada tapowana tempat tinggal mahārsi yang mungkin terletak di bagian puncak bukit atau lereng tertinggi di suatu wilayah. Di sekitar tapowana , disebut pajaran adalah tempat untuk memberi pelajaran-
3
pelajaran keagamaan, dan pada lereng agak ke bawah terdapat rumah-rumah ubwan, kili, tapi yang dinamakan pangubwanan (Arjunawijaya 23; Arismunandar 2001,102). Pendeta perempuan dan laki-laki yang masih dalam tahap belajar (śisya) menurut Nagarakrtagama, namanya endang dan kaki. Mereka tinggal dalam pedukuhan kaum agamawan tersebut yang dikenal dengan sebutan mandala atau kadewagurwan.
Selain berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, mandala juga merupakan tempat penulisan karya sastra. Kitab Tantu Panggelaran sebagai contoh karya sastra yang dihasilkan di lingkungan luar keraton, menyebutkan bahwa karya tersebut telah selesai ditulis dikarang kabhujanggan (daerah kepujanggaan) (Arismunandar 2001,106).
Dari penelitian yang pernah dilakukan dengan mengambil contoh kakawin Arjunawiwaha dan Bharatayuddha sebagai karya sastra dari lingkungan keraton dan Tantu Panggelaran dan Korawasrama dan Serat Manikmaya sebagai karya sastra dari lingkungan luar keraton, di dapat suatu perbedaan awal dari karya sastra tersebut. Perbedaan yang jelas adalah pada alur cerita. Karya sastra keraton berjenis kakawin sehingga alurnya lebih terkendali, sedangkan karya luar keraton lebih lazim berbentuk prosa sehingga mempunyai kebebasan lebih terbuka karena tidak terikat alur, tetapi terkendali oleh topik. Dari segi isi, diperoleh gambaran, karya sastra keraton lebih mengembangkan pemikiran mengenai aspek keagamaan yang mengarah kepada penjelasan mengenai hakekat tertinggi, nilai-nilai estetika dan nilai etika sedang karya sastra luar keraton lebih terkait dengan masyarakat pertanian dan terjadinya alam semesta, serta mitos-mitos tempat-tempat suci dan juga ajaran budi pekerti (Tim peneliti 1998,151-152). Walaupun adapula kegiatan penyaduran naskah-naskah sastra dari lingkungan keraton.
Tantu Panggelaran sebagai hasil karya sastra dari lingkungan luar keraton yang digubah pada akhir masa Majapahit (abad ke-16 Masehi) menyebutkan nama gunung-gunung sebagai lokasi mandala-mandala penghasil karya sastra. Karena naskah ini digubah di Jawa Timur, maka nama daerah-daerah yang disebutkan rata-rata berada di Jawa Timur, yaitu gunung Mahameru, gunung Katon, gunung Wilis, gunung Kampud, gunung Kawi, gunung Arjuna, gunung Kemukus dan gunung Kailasa (Tim Peneliti 1998,125). Sedangkan mandala-mandala yang disebutkan adalah mandala di Hahah, Geresik, dan Sunyagiri yang terletak di lereng-lerang gunung Mahameru, mandala Labdawara dan rabut Gĕnting di gunung Kawi, mandala Manguh di lereng sebelah utara gunung Wilis, mandala Panasagiri di
4
gunung Nangka, mandala di gunung Manuñjang, dan mandala di Dindug (Arismunandar 2001,107).
Serat Manikmaya sebagai contoh lain, yang ditulis pada tahun 1794 (masa Kartasura) yang isinya mempunyai kemiripan dan kutipan dari Tantu Panggelaran, namun ditulis dalam bahasa Jawa Baru. Karya ini digubah di suatu lokasi diluar lingkungan keraton di Jawa Tengah, menyebut ada 18 gunung yang berada di Jawa Tengah, sangat mungkin pada gunung-gunung tersebut terletak mandala-mandala tempat penghasil karya sastra, yaitu : jamur dipa, gunung Tampora, gunung Halahulu, gunung Cirebah, gunung Pragota, gunung Kendheng, gunung Sumbing, gunung Merapi, gunung Merbabu, Lawu, Kadiri, Munya, Barcah, Soharmi, Mardi Wulangan, dan gunung Kelud, Semeru (Tim Peneliti 1998,125).
Damalung
Bujangga Manik adalah seorang Hindu-Sunda yang hidup pada akhir abad ke-15-awal abad ke 16 masehi. Dalam pengembaraannya, ia pernah menempuh perjalanan darat dari wilayah Sunda hingga ujung timur Pulau Jawa dan Bali dan kembali lagi ke Jawa Barat. Pengalamannya itu, ia tuangkan dalam tulisan seperti laporan perjalanan (Noordijn 1984,1). Ia mencatat kunjungannya ke pertapaan-pertapaan dan mandala-mandala di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mandala penting yang didatangi oleh Bujangga Manik adalah pajaran Pamrihan yang terletak di gunung Damalung. Menurut Krom, Damalung adalah nama lama gunung Merbabu di Jawa Tengah. Terkesan memang bahwa Bujangga Manik telah mengunjungi daerah-daerah perguruan agama untuk mendalami ilmu agama(Noordijn 1984,7). Hal-hal yang dipelajari antara lain adalah kaidah-kaidah berperilaku, pengetahuan bahasa dan aksara.
Berdasarkan pada isi kolofon dari naskah-naskah berciri Merapi-Merbabu yang ada di Perpustakaan Nasional dan lainnya, dapat diperoleh gambaran bahwa mandala/daerah penghasil karya sastra atau disebut juga skriptoria di lingkungan gunung Merbabu, tersebar di beberapa lokasi. Di antaranya adalah di puncak gunung (ywagra), di lereng gunung (gĕgĕr) dan di kaki gunung (jőŋ).
Lokasi di sekitar gunung Merbabu adalah :
1. Sang Hyang Pamrihan, di kaki gunung, sebelah timur laut (kakawin Arjunawijaya:Supomo 1977:179).
5
2. Sang Hyang Ardi Giri Pwamrihan, di puncak, sebelah barat laut (Kunjarakarna, van der Molen 1983;279).
3. Sang Hyang Ardi Damalung, di kaki gunung, barat daya (Kunjarakarna L53).
4. Sang Hyang Giri Hardi Pamrihan, kaki gunung, sebelah barat, Rabut Pekik (Arjunawiwaha)
5. Sang Hyang Ngarddhi Giri Pamrihan, di kaki gunung, barat laut, Wanakasa, Patĕmon (Arjunawiwaha) (Wiryamartana, 1993,505)
Hal menarik yang menjadi fenomena atas hasil-hasil karya sastra di perguruan/mandala Merpati-Merbabu ini adalah jumlahnya yang sangat banyak, bentuk aksara yang memiliki karakter tersendiri dalam hal ini sangat berbeda dengan aksara-aksara yang dipergunakan pada karya sastra dari lingkungan keraton. Selain itu bahasa yang dipergunakan lebih mencirikan bahasa Jawa Pertengahan.
Nama Damalung pernah juga disebut di dalam sebuah prasasti batu yang berasal dari daerah Ngadoman (yaitu sekitar gunung Merapi) yang berangka tahun 1371 Śaka (1449 Masehi) yaitu pada masa kerajaan Majapahit berkuasa. Prasasti ini menjadi menarik karena mempergunakan aksara dengan tipe dan penanda yang sama dengan karya sastra yang berasal dari Merapi-Merbabu yang dituliskan pada lontar. Bahasa dan isi yang dipergunakan dalam prasasti inipun tidak serupa dengan bahasa yang lazim dipergunakan di dalam prasasti-prasasti dari raja Majapahit pada umumnya.
Isi prasasti Damalung memuat tentang pujian pada Sri Saraswati yang telah memakmurkan gunung perkasa Damalung. Selanjutnya, petuah mengenai ketaatan pada dewa, menjunjung tinggi kejujuran serta senantiasa memakai akal budi, serta mendengar doa untuk membebaskan diri dari keterikatan harta benda.
Serupa dengan gejala yang terdapat pada prasasti Damalung ini, terdapat 22 prasasti batu singkat yang berasal dari desa Pasrujambe dan desa Gerba, di kabupaten Lumajang. Bujangga Manik menyebut pula telah melewati desa Cakru, yang sekarang masih jelas lokasinya terdapat di pantai sebelah selatan Lumajang sampai di lurah Kĕnĕp dan di Lamajang Kidul (Noordijn 1984,27). Bentuk aksara, isi dan bahasa pada prasasti-prasasti singkat tersebut juga mempunyai kesamaan dengan prasasti Damalung, hanya saja cuma dua prasasti yang mencantumkan angka tahun yaitu prasasti Pasrujambe V dan Pasrujambe VII, sama-sama berangka tahun 1391 Śaka. Berdasarkan penelitian Anton Wibisono mengenai
6
kronologi aksara terhadap prasasti-prasasti jenis ini, ada 2 prasasti dengan bentuk aksara yang lebih tua dari prasasti Damalung (1371 Saka) yaitu prasasti Gerba dan prasasti Widodaren(Wibisono 2004,2004). Jelaslah bahwa prasasti-prasasti batu beraksara dan berpenanda sama dengan naskah-naskah sastra dari skriptoria Damalung ini telah ada sebelum tahun 1371 Saka (1449 Masehi).
Kembali kepada karya sastra yang dihasilkan dari Skriptoria Damalung.
Hasil-hasil Tradisi Penulisan dan Penyalinan di Damalung
Gunung Damalung atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Gunung Merbabu, pada masanya merupakan tempat berlangsungnya tradisi penulisan naskah-naskah yang sekarang dikenal dengan kelompok naskah Merapi-Merbabu. Masa ini diperkirakan berlangsung antara pertengahan akhir abad ke-17 dan perempat awal abad ke-18. Bahkan berdasarkan laporan perjalanan Bujangga Manik yang datang ke Jawa pada sekitar abad ke-15, Damalung sudah merupakan salah satu pusat studi di Jawa pada saat itu ( Wiryamartana, 1993 : 506-507). Hasil-hasil tradisi penulisan tersebut, salah satunya dibuktikan dengan adanya naskah-naskah Merapi-Merbabu yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI.
Koleksi naskah Merapi-Merbabu dulunya merupakan milik Kyai Windusana, lalu pada sekitar tahun 1852 di ambil alih oleh Bataviaasch Genootschap yang sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI (PNRI).( Wiryamartana dan Van der Molen, 2001 : 52). Untuk mengetahui naskah Merapi-Merbabu yang tersimpan di PNRI, dapat dilihat pada Katalog Naskah Merapi-Merbabu PNRI yang disusun oleh para pakar naskah Merapi-Merbabu, antara lain : I. Kuntara Wiryamartana, Willem van der Molen dan Kartika Setyawati.
Untuk itu, dalam tulisan akan dipetakan hasil-hasil tradisi penulisan di Gunung Damalung atau Merbabu, berdasarkan nama-nama daerah di sekeliling gunung Damalung atau Merbabu yang disebutkan pada kolofon dalam naskah-naskah tersebut. Naskah yang tersimpan di PNRI sekarang berjumlah sekitar empat ratus buah yang semuanya berupa naskah lontar ( Setyawati, 2002 : 1). Dari jumlah tersebut dapat diketahui sekitar 30 naskah yang ditulis di Gunung Damalung.
Sementara terdapat beberapa naskah yang di dalam kolofonnya mencantumkan nama Gunung Pamrihan. Menurut Noorduyn, Pamrihan adalah nama lain untuk Gunung
7
Damalung atau Merbabu ( Noorduyn, 1982 : 516). Disini temukan sekitar 18 naskah yang mencantumkan nama Gunung Pamrihan. Jadi terdapat hanya sekitar 48 naskah yang ditulis di Damalung atau Pamrihan. Kondisi ini sangat dimaklumi karena sebagian besar naskah Merapi-Merbabu tidak lagi ditemukan kolofonnya, hal ini mungkin disebabkan karena naskah tersebut sudah kehilangan lempir-lempirnya atau banyaknya lempir yang sudah tidak utuh lagi. Bahkan terdapat beberapa naskah yang hanya merupakan kumpulan-kumpulan lempir saja, antara lain : 8 L 63, 11 L 271 dll.
Selain yang tersebut di atas, tentunya naskah Merapi-Merbabu ditulis di wilayah Gunung Merapi atau di dalam teks dikenal dengan Mandarageni. Ditemukan juga nama gunung yang lain selain Merapi dan Damalung, antara lain : Tilamaya, Karungrungan, Kanistan, Wilis dan Lawu.
Tempat Penulisan atau Penyalinan
Teks-teks di dalam naskah Merapi-Merbabu ditulis di atas lontar dengan ukuran rata-rata yaitu ; panjang 36-46 cm. dan lebar 3-3,5 cm.serta ditulis menggunakan aksara buda atau aksara gunung ( Wiryamartana dan Van Der Molen, 2001 : 58). Tetapi, aksara Jawa juga sudah pasti dikenal dan dipakai oleh penyalin naskah Merapi-Merbabu, terbukti dengan adanya aksara Jawa yang dipakai bersama dengan aksara Buda ( Setyawati, 2002 : 2).
Di Damalung, tempat penulisan dan penyalinan naskah menyebar di beberapa sisi-sisinya. Setiap kolofon biasanya mencantumkan sisi yang menjadi lokasi penulisanya, tetapi ada juga beberapa naskah yang tidak mencantumkan nama lokasinya.
Di bawah ini diuraikan hasil-hasil penulisan naskah berdasarkan nama tempat di sisi Gunung Damalung yang terdapat di dalam kolofon, ke-48 naskah yang ditulis di Damalung adalah sebagai berikut :
a. Sisi Timur Laut
Pada sisi ini terdapat nama lereng yaitu lereng Sunyahara (7 L 10), lereng Sunyatara ( 7 L 18 III), lereng Loning ( 3 L 236, 36 L 260). Samakah Sunyahara dengan Sunyatara?.
Terdapat nama-nama desa yaitu Pangubonan (?) (10 L 222), Tremadang ( 256 (2)), Wanalalis (7 L 18 III), Gandariya ( 91 a I).
8
Naskah yang tidak mencantumkan nama lereng dan desa yaitu ( 10 L 144), (86 L 219), (2 L 137 a (1)).
Tahun penulisan : 1591 Tahun Jawa MM ( 10 L 144) ( Tentang tahun Merapi-Merbabu lihat (Wiryamartana dan van der Molen, 2001 : 55-58))
Bentuk atau isi teks antara lain : mantra ( 7 L 10, 7 L 18 (3), 10 L 144, 10 L 222, 11 L 256 (2), 8 L 91aI, 3 L 236), Primbon (36 L 260, 2 L 137a(1), Kakawin (86 L 219).
b. Sisi Utara
Pada sisi ini terdapat nama lereng yaitu lereng Sunyatara (2 L 495) lihat (7 L 10 dan 7 L 18 III), lereng Saranti dan lembah Tajuk (32 L 134 I (4), 32 L 206 II (2)).
Nama desa yaitu : Sumandha/ Sumadha ( 32 L 134 I (4), 32 L 206 II (2)
Tahun penulisan : 1641 ( 32 L 206 II (2))
Penulis atau penyalin kedua teks di desa Sumandha/Sumadha adalah Ki Tan Gingsir.
Bentuk atau isi teks : Primbon ( 2 L 495), Nasehat/Tutur ( 32 L 206 II (2), Suluk ( 32 L 134 (4).
c. Sisi Barat Laut
Terdapat nama lereng yaitu Wanadrana ( 32 L 231)
Nama desa antara lain : Wanakuda ( 32 L 7a (1)), Wanakirya (8 L 98, 1 L 170, 9 L 123a), Samagawe ( 32 L 313 (1)), Wanalalis ( 14 L 273 I) lihat ( 7 L 18 III), Wanakampir. (2 L 148)
Terdapat nama tempat Rabut Pamrihan (1 L 170) dan Wisma Darmasari (10 L 233 (1). Untuk nama terakhir kemungkinan adalah nama tempat penyalinan/ padepokan.
Tanpa menyebutkan nama tempat yaitu ( 33 L 13 (5), 2 L 148 (1), 33 L 154 (1), 3 L 171, 32 L 183, 14 L 205 (1), 31 L 220).
Bentuk atau isi teks : kakawin ( 33 L 154 (1), 31 L 220) Kidung ( 32 L 7a (1), 32 L 231, 32 L 183, 32 L 313 (1)), Primbon dan Pawukon ( 2 L 148 (1), 3 L 171, 14 L 205 (1), Mantra ( 8 L 98), 14 L 273 (1), 9 L 123a), Tutur/ ajaran ( 33 L 13 (5), 1 l 170, 10 l 233 (1).
9
Tahun penulisan : 1606 MM (2 L 148 (1), 1591/2/3 MM (31 L 220) (lihat Wiryamartana, 1990 : 18), 1598 MM ( 10 L 233 (1)), 1585 MM (1 L 170)
d. Sisi Barat
Terdapat nama lereng Panepen ( 6 L 130), Jayalaksana (?) ( 33 L 298), Wurawari (?) ( 32 L 293 (1)) dan lembah Deles ( 33 L 270)
Nama-nama desa antara lain : Warangan ( 6 L 130, 36 L 589 (1)), Jayalaksana (?) (33 L 270), Lurah pakis ( 69 L 65 b (1). Terdapat juga nama tempat Rabut Pamrihan ( 6 L 46 (1), nama tempat ini sama dengan nama tempat yang terdapat di sisi barat laut.
Bentuk atau isi : Primbon ( 6 L 130, 36 L 589 (1)), Pedoman ( 33 L 298), Mantra ( 32 L 293 (1), 33 L 270, 3 L 235)
Penulis : Wiranata ( 6 L 130)
Tahun Penulisan : 1539 MM ( 33 L 270), 1555 MM ( 69 L 65 b (1), 32 L 293 (1))
e. Sisi Barat Daya
Berdasarkan kolofon yang ada, hanya ditemukan satu naskah dengan nama lereng yaitu Windu Panesepan, teks berjudul Kunjarakarna (1 L 53 I) dan ditulis pada tahun 1633 MM ( Wiryamartana, 1993 : 506) atau 1710 AD ( lihat Wiryamartana van der Molen : 2002 : 58-63).
f. Sisi Tenggara
Terdapat nama lereng yaitu Candi Kapetek ( 10 159) dan lereng Sesela (7 L 31)
Nama-nama desa antara lain : Wanasepi (33 L 135)
Tanpa nama desa atau lereng ( 12 L 261 I), 4 L 143 I (3)
Bentuk atau isi : Mantra ( 10 L 159) Kakawin ( 33 L 135) Kidung ( 32 L 94 (1), Primbon ( 12 L 261 I) Tutur/ajaran ( 4 L 143 (3))
Tahun Penulisan : 1581 (10 L 159), 1589 ( 33 L 135), 1581 ( 10 L 159),
g. Sisi Timur
Terdapat nama desa yaitu Argawana ( 2 L 19 (1)
Tanpa nama desa ( 2 L 224)
Bentuk atau isi : Pawukon ( 2 L 19 (1), 2 L 224)
Tahun Penulisan : 1584
h. Tanpa tempat 10
Terdapat nama lereng Sukawalu ( 12 L 315 (1) dan nama desa Wanalaba (11 L 256 (1).
Bentuk atau isi : Kidung ( 206 II (1), Mantra ( 11 L 271 (12), 12 L 315 (1), 11 L 256 (1).
Dari seluruh sisi yang telah disebutkan, terlihat bahwa kedelapan penjuru mata angin yang mengelilingi Gunung Damalung hanya ada satu sisi yang tidak ditemukan tempat penulisannya yaitu sisi selatan. Mungkinkah hal ini disebabkan karena sebelah selatan merupakan jurang-jurang yang tidak dapat dijadikan tempat pemukiman? atau ada alasan lain yang mendasarinya.
Penyalinan dan Penulisan
* Di setiap akhir teks, pada awal kolofon biasanya tertulis :
telas tinular yang berarti selesai ditularkan,
telas tinulad yang berarti selesai disalin
kahuwusaning anurat.atau telas sinurat yang lebih tepat diartikan dengan selesai ditulis.
Teks-teks yang di dalam kolofonnya menggunakan kalimat telas sinurat: ( 10 L 144 (1)/ mantra), ( 8 L 98/ mantra), ( 6 L 130/ Primbon).
Teks yang menggunakan kalimat telas tinular dan telas tinulad.( 32 L 134/ Suluk Asmara), ( 1 L 170/ Utarasabda), (32 L 7a/ Kidung Subrata), ( 33 L 270/ mantra), dll.
Apakah penggunaan kedua kalimat dalam kolofon tersebut mengindikasikan bahwa teks-teks yang ditulis dengan telas sinurat adalah hasil penulisan dari tempat tersebut? Sedangkan kata tinulad sangat lazim dipergunakan oleh citralekha (penulis prasasti) pada prasasti-prasasti perunggu maupun batu yang disalin kembali pada masa sesudahnya.
* Disetiap teks terdapat penanda pembuka dan penutup yang khas dan hanya dijumpai pada naskah yang berasal dari lingkungan Merapi-Merbabu. Hal ini menjadi penting karena prasasti-prasasti batu yang mempergunakan aksara yang serupa dengan aksara pada naskah (aksara Buda) ternyata juga mempergunakan penanda yang sama di awal dan akhir prasasti. Penanda-penanda tersebut adalah :
11
11. Wanakuda 7. Sumadha/Sumandha1. Wanalalis 12. Wanakirya 8. lembah Tajuk 2.Tremadang 13. Wa nalalis 9. lereng Saranti 3.Pangubonan (?) 14. Samagawe 10. lereng Sunyatara 4.Gandariya 15. Wanakampir 5. lereng Sunyatara 16. lereng Wanadrana 6.lereng Loning 17. Warangan 27. Argawana 18. Lurah Pakis 19. Jayalaksana (?) 20. Wisma Darmasari 21. lembah Deles 22. lereng Jayalaksana 24. Wanasepi 25. lereng Candi Kapetek 23. lereng Windu panesepan 26. lereng Sesela G. Damalung
Bentuk isi, baik prasasti maupun naskah yang bertipe berasal dari Damalung (lingkungan Merapi-Merbabu) mempunyai perbedaan yang mendasar. Apabila prasasti-prasasti yang berasal dari pusat kerajaan berisi mengenai maklumat penganugerahan status sima, maka prasasti beraksara Buda mempunyai isi petuah serta pengajaran budi pekerti yang ditujukan pada semua orang. Hal ini menguatkan bahwa Damalung memang merupakan pusat pengajaran agama dan budipekerti pada masa Majapahit. Dikemudian hari, Damalung disebut-sebut sebagai tempat penulisan naskah yang berisi sebagian besar adalah primbon, rajah, pawukon, mantra, ajaran-ajaran (yang tidak selalu terikat pada keagamaan tertentu, contohnya Sĕrat Darmajati; Buduroh 2006), walaupun adapula kakawin.
Dari data yang ada, baik berupa prasasti batu maupun naskah sastra pada lontar dapatlah disimpulkan bahwa Damalung merupakan pusat keagamaan pada masa Hindu-Budha, pusat pewarisan, penyalinan dan penciptaan naskah yang berkembang pada awal abad ke-15 Masehi (masa Majapahit) dan terus bertahan pada saat berkembangnya agama Islam di Jawa yaitu pada zaman Kartasura (abad ke-18).
Damalung menjadi pusat keagamaan, skriptoria yang penting dalam sejarah kesusateraan Jawa dan telah mengangkat keberadaannya sebagai pusat penghasil karya sastra yang utama, karena prasasti dan naskah yang dihasilkan oleh para agamawan di tempat itu mempunyai ciri khas pada aksara, bahasa, penanda dan aliran keagamaannya.
12
Penelitian lanjutan mengenai hasil karya sastra dari skriptoria Damalung akan memberikan kontribusi penting mengenai perkembangan sejarah sastra Jawa yang dihasilkan oleh lingkungan di luar keraton secara lebih komperhensif.
Daftar Pustaka
Aris Munandar, Agus 2001
Pusat-pusat Keagamaan Masa Jawa Kuna,
Di dalam Sedyawati, Edi dkk (penyunting), Sastra Jawa; Suatu Tinjauan Umum. Penerbit Pusat Bahasa dan PN.Balai Pustaka, Jakarta.
Buduroh, Mamlahatun 2006
Naskah Darmajati
Edisi Teks, Terjemahan Disertai Tinjauan isi dan Aksara
Tesis Magister, FIB-UI, Depok
De Casparis, J.G. 1975
Indonesian Palaeography, A History of Writings in Indonesia from the Beginnings to C.AD.1500,
Leiden/Kőln, E.J.Brill.
Noordijn, Dr.J. 1984
Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa : Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno,
Judul asli : Bujangga Manik’s Journeys Through Java : Topographical Data from an Old Sundanese Source, Terjemahan oleh Drs.Iskandawassid.
Dalam : BKI, 138 hal.413-442.
KITLV bekerja sama dengan LIPI
13
Pigeaud, Th.G.Th 1960
Java in The Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapañca of Majapahit,1365 A.D. volume I,
The Hague; Martinus Nijhoff.
Pigeaud, Th.G.Th 1967
Literature of Java, vol I, Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 AD.
The Hague: Martinus Nijhoff
Santiko, Hariani 1986
Mandala (Kadewaguruan) pada Masyarakat Majapahit,
Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Cipanas.
Santiko, Hariani 2002
Hubungan Ajaran Tutur dengan Fungsi Tempat-tempat Suci Hindu Masa Singasari dan Majapahit.
Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX, Kediri.
Santiko, Hariani 2006
Agama pada Masa Majapahit,
Dalam Majapahit Trowulan, diterbitkan oleh Indonesian Heritage Society, copyright Direktorat Peninggalan Purbakala, Jakarta.
Sedyawati, Edi dkk (penyunting) 2001
Sastra Jawa : Suatu Tinjauan Umum,
Diterbitkan oleh Pusat Bahasa dan PN.Balai Pustaka, Jakarta.
Sedyawati, Edi 2001
Masalah Pusat dan Pinggiran dalam Sastra Jawa,
Di dalam Sedyawati dkk,(ed) Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, Jakarta.
Setyawati, Kartika, I.Kuntara Wiryamartana, Willem van der Molen, 2002
Katalog Naskah Merapi-Merbabu,Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Penerbitan Universitas Sanata Dharma dan Universiteit Leiden.
Supomo, S 1977
Arjunawijaya,
KITLV, The Hague: Martinus Nijhoff
Susanti-Y, Ninie & Titik Pudjiastuti 2001
Aksara,
Dalam : Sedyawati, Edi dkk(penyunting), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, Jakarta.
14
Susanti-Y, Ninie 2001
Prasasti dari Desa Widodaren; Suatu Kajian Awal Tentang Aksara
Makalah dipresentasikan pada Seminar Asosiasi Ahli Apigrafi Indonesia, Malang.
Tim Peneliti (Edi Sedyawati, Ninie Susanti, Sri Sukesi Adiwimarta, 1998
Dina Nawangningrum, Supriyanto Widodo)
Keberlanjutan Tradisi Jawa Kuna ke Jawa Baru pada Beberapa Lingkungan Penghasil Sastra: Keraton dan Mandala,
Laporan Penelitian dibeayai oleh Balai Penelitian Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Van der Molen, W. 1985
Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa,
Dalam : Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta; Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Wibisono, Anton 2004
Perkembangan Aksara Bercorak Khusus pada Prasasti-Prasasti Abad XV Masehi: Sebuah Kajian Paleografi.
Skripsi Sarjana Humaniora. FIB – UI, Depok.
Wiryamartana, I.Kuntara 1990
Arjunawiwaha; Transformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa,
Duta Wacana University Press, Yogyakarta.
Wiryamartana, I.Kuntara 1993
The Scriptoria in Merbabu-Merapi Area,
BKI, 149:503-509
Wiryamartana, I.Kuntara dan W.van der Molen 2001
The Merapi-Merbabu Manuscripts; A Neglected Collection,
BKI,157-1; 51-64
Zoetmulder, P.J
Kalangwan, Sastra Jawa Selayang Pandang 1983
Penerbit Djambatan, Jakarta
15