Cerpen: Sindang Kahuripan

Oleh Reza Saeful Rachman

Mentari meredup. Kami tiba di cipaisan, bersiap membuka kembali kertas besar itu. Namun seketika kami kaget ketika segerombolan lelaki berbadan besar menyeret ayah apip. Tak jauh darinya, istri dan kakak iparnya menggelayut seolah menyembah-nyembah kepada seorang lelaki berhelm kuning. Astaga, itu lelaki muda di sindang kahuripan.
“untuk terakhir kali aku Tanya. Dimana kau sembunyikan kertas itu? kalau tetap tak mengaku, aku jamin kau tak akan lagi bertemu dengan keluargamu!”
“ampun den, Saya tidak tahu apa-apa!”
Mendengar jawaban seperti itu tanpa disuruh, gerombolan lelaki berbadan besar itu melayangkan beberapa bogem ke tubuh lelaki renta itu. Melihat ayahnya, apip segera berlari ke arah ibunya. Ia tak peduli lagi dengan isi kertas yang kami dapat dari sindang kahuripan tadi siang. Masyitoh menangis, dan asep mulai goyah. Mereka segera menuju biliknya masing- masing. Itu artinya kertas itu kini ada di tanganku.
***
Aku, asep, apip, dan masyitoh hendak pergi ke cipaisan, tempat kami bermain. Disana ada caringin kolot , beringin tua yang sejak dulu meneduhi kampung kami, memberi kami air, juga menghibur kami lewat kicauan-kicauan burung cangkurileung yang setiap pagi hinggap di dahannya. Kata ibuku, caringin kolot sudah ada sejak mak anah, nenekku kecil. Dulu saat nenek masih kecil, caringin kolot baru setinggi tiga meter dan masih bisa dipeluk oleh anak-anak kampung cimande. Caringin kolot sejak dulu juga selalu meneduhi leluhur kampung kami yang nyenyak dipangku kubur. Setelah itu, baru kami pergi ke gerbang sindang kahuripan. Sebuah tempat yang kami anggap surga, karena selama ini kami selalu menemukan barang-barang buangan yang bisa kami jadikan sebagai mainan.
Kali ini yang kami temukan adalah sebuah kardus, kardus berwarna coklat yang ditulisi aksara asing, dan di kotak itu terdapat gambar sebuah kapal laut yang cerobongnya dipenuhi asap.
“jadikan pesawat terbang wae!”
“jangan! jadikan saja perahu, lalu kita naiki di walungan cipada!”
“moal masuk atuh asep, kotak ini kecil. Mikir atuh jang!”
“lebih baik kita balik saja kotak ini dan kita jadikan meja. Kita main pasar-pasaran.”
“barudak, bagaimana kalau sekali-sekali kita masuk kedalam sindang kahuripan. Kata emak mah, kalau kita masuk ke dalam sindang kahuripan, kita bakalan melihat banyak sekali rumah gedong! Besar-besar lah!”
“gila kamu sep, bisa mati kita!”
“benar kata si asep! Kita meski masuk!”
Muka asep seketika berubah riang—serupa kancil menemukan mata air—ketika apip setuju dengan idenya. Sebenarnya aku dan masyitoh takut. Kami takut ditangkap seperti paman apip. Paman apip dibawa ke kota dan tak pulang sampai sekarang karena di tuduh mencuri dari sindang kahuripan. Sudah lima tahun paman apip tak pulang. Meskipun Mak ajot sudah menangis dan memohon-mohon kepada seisi sindang kahuripan, tetap saja anaknya tak pulang.
“Asep! Jangan!jangan masuk, nanti kau ditangkap seperti pamannya apip”
“moal as! Da kita moal macem-macem!”
Akhirnya aku, asep, apip, dan masyitoh masuk ke dalam sindang kahuripan. Di pintu gerbangnya, ku lihat ada seorang bapak dengan kumis tebal sedang tidur dengan pulasnya. Disampingnya ku lihat ada pemukul dan pistol. seketika diriku gemetar. Hatiku sudah tak tenang lagi, aku tak mau jika kelak aku atau kawanku ditangkap lalu entah dibawa kemana.
“asep, sudahlah. Ayo kita balik lagi.”
“santai as! Kita belum dapat satu barangpun untuk di jadikan mainan.”
Setelah beberapa langkah menjauhi gerbang sindang kahuripan kami mulai melihat apa yang sebelumnya hanya kami ketahui dari cerita orang tua kami.
“ini mah sorga!”, apip bicara
“rumah-rumahna gede pisan! Jiga istana raja-raja dina carita-carita kolot baheula!.”
Seketika itu aku takjub melihat pemandangan baru ini. Rumah-rumah disini amat besar, bersih, berpagar tinggi. Tak seperti rumah dikampung kami. Kecil, kotor, dan tak berbatas apapun tiap rumah ke rumah.
“lihat pip, naon eta! Jiga oray!.”
“itu mah selang air!”
“bawa! Kita buat oray-orayan!”
Kami berlari ke arah benda itu namun langkah kami serentak terhenti ketika melihat ada seorang pria muda berhelm kuning sedang berbincang dengan kawannya dan menunjuk-nunjuk ke arah cipaisan sambil melihat sebuah kertas yang cukup besar.
Karena takut, kami segera pulang. Kami tak mau terlihat oleh warga sindang kahuripan. Lalu dituduh sebagai pencuri, ditangkap dan kemudian dibawa ke kota. Aku takut. Waktunya kami pulang, lalu bergegas ke mushola untuk mengaji.
***
Hari ini kami bangun pagi sekali. Tadi malam di mushola kami berbincang hendak pergi sekali lagi ke sindang kahuripan untuk mencari barang yang bisa kami jadikan sebagai mainan. Seperti biasa kami kumpul di cipaisan, dibawah caringin kolot.
“Meni lami masyitoh!!! Jam segini baru datang!”
“aduh, tadi teh itoh disuruh ambu mengantar nasi buat bapak!”
“sudah, keun wae lah! Mari kita lekas pergi. Nanti siang aku disuruh ayahku untuk ke huma.”,asep memotong.
Hari ini berbeda dengan kemarin, mulai dari pintu sindang kahuripan sampai ke dalamnya kini dihias dengan kain dan kertas berwarna-warni. Kami pikir disini sedang ada yang menikah. Karena suasana seperti ini hanya dapat kami lihat ketika anak pak kuwu menikah.
Agar mencari barang lebih cepat, kami sepakat untuk membagi kami menjadi berpasang. Aku bersama apip dan asep bersama masyitoh. Aku dan apip pergi ke arah wetan sedangkan asep dan masyitoh ke arah kulon. Sebelum beranjak, kami bersepakat untuk berkumpul lagi ditempat ini, tempat patung seorang lelaki telanjang bersayap sedang kencing. Kami bersepakat berkumpul ketika adzan lohor berkumandang.
Aku dan apip berkeliling cukup lama namun yang kami dapatkan bukan barang buangan yang dapat kami jadikan mainan akan tetapi gonggongan seekor anjing besar berwarna hitam.
“pikasieunen pip! Anjing didieu jiga munding!”
Akhirnya Kami memilih untuk lebih cepat kembali. Kami lihat asep dan masyitoh belum tiba. Tiba saja apip berkata jangan-jangan mereka ditangkap warga sindang kahuripan. Seketika itupun aku menjadi takut. Aku takut kawanku ditangkap. Apa yang harus aku katakan kepada ibu masyitoh dan asep kalau mereka tak kunjung datang.
“aspar! Apip! aku dapat!!!”
“dapat apa kamu asep?”
“aku dapat kertas. Lihat ada gambar cipaisan dan gambar rumah gedong!”
“lihat, ada gambar caringin kolot juga sep!!”
“nanti saja lihat gambarnya! Cepat pulang, takut ketahuan!.”
Kami pulang dan bersepakat untuk melihat lagi gambar yang ada dalam kertas itu nanti sore, sebelum mengaji.
***
Aku mulai gemetaran. Aku berpikir bagaimana jika yang orang-orang itu cari adalah kertas yang ada ditanganku. Segera aku lari bergegas ke rumah dan membawa kertas itu. Setiba di depan rumah, aku sudah tak peduli lagi dengan isi kertas itu. kulemparkan kertas itu ke kolong rumahku. biarkan saja kertas itu dipatuk bebek atau diberaki ayamku.
Dua puluh tahun. Aku masih di cipaisan, masa laluku. Namun kini tak ada lagi asep, apip, atau itoh. Semua telah pergi. Tak ada lagi caringin kolot sebagai peneduh kampung, mata air dan kicauan cangkurileung. Semua telah hilang. Telah berganti menjadi real estate dengan kolam renang, jogging trek, dan lapangan tenis. Tak ada lagi ayam dan bebek disini. Serba sesuai. Sesuai dengan apa yang ku gambar, ketika pulang dari kota dan menjadi bagian dari sindang kahuripan.
Ujungberung, 2009