Beberapa renungan terhadap Sastra Nusantara Lama

Jan van der Putten
National University of Singapore

Sebagai anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara kita memfokus penelitian pada karangan-karangan lama yang ditulis pada masa lampau di salah satu tempat di wilayah rangkaian nusa-nusa indah yang melilit di khatulistiwa ini. Dalam 12 tahun lebih Yayasan yang mengadakan symposium ini serta para anggota masyarakat sudah banyak menghasilkan dan membukukan kajian sebagai penerusan dan pengembangan bidang studi yang biasanya disebut filologi ini. Kegiatan ini patut dikagumi serta boleh dikatakan melawan arus zaman jika dilihat perkembangan di dalam dunia akademik di dunia di luar Asia Tenggara ini. Perkembangan di dalam dunia akademik di seluruh dunia menuntut universitas berdikari dari segi keuangan sehingga pemerintah pusat ataupun daerah tak perlu mengucurkan terlalu banyak dana kepada badan pengembangan ilmu itu. Model pendanaan universitas pada umumnya sekarang ini bersumber empat: uang kuliah mahasiswa, sumbangan para tamatan serta penderma seperti pengusaha kaya, perusahaan yang mendanai penelitian yang penting bagi kegiatan sendiri, dan pemerintah yang berusaha semakin sedikit ‘nombok’ pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebijaksanaannya. Universitas telah dijadikan lembaga pengajaran massal dan dapatlah kita pahami jika jurusan yang menggeluti naskah nusantara tak berhasil menarik mahasiswa dalam jumlah besar, sehingga kurang disenangi para pemimpin universitas yang menyuruh para pengajar mengubah pengajarannya agar menarik minat semakin banyak mahasiswa. Seandainya tak berhasil maka jurusan ‘distraf’ melalui penciutan staf pengajar.
Perkembangan ini ada beberapa akibat bagi studi naskah nusantara di dunia ini yang dapat ditangisi atau disoraki, disesalkan atau disambut, tetapi nampaknya akan menjadi suatu realitas dalam dasawarsa mendatang ini. Jurusan-jurusan di universitas di Amerika, Eropa dan Australia akan semakin langsing dan kurang mencurahkan perhatian kepada studi naskah yang ada dalam koleksi perpustakaannya, karena dianggap kolot dan kurang manfaat sosialnya bagi masyarakat di mana universitas itu berada. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah Fakultas Sastra Universitas
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 1
Leiden yang sedang menjalani reorganisasi yang dapat diartikan sebagai reduksi staf pengajar dan pengurangan topik yang diajarkan. Ini bukan perkembangan baru tapi boleh dianggap sebagai kulminasi atau hasil mutakhir daripada suatu proses yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini. Dampak yang paling dahsyat dari perkembangan ini adalah tidak dididik generasi baru untuk meneruskan tradisinya jika sang guru berhenti. Ini juga berarti bahwa pengembangan dan pembaruan bidang studi yang antara lain dapat dihasilkan melalui proses pengajaran yang serba rancak atau dinamis, akan terhenti.
Di universitas Leiden sekarang boleh dikatakan studi naskah nusantara sudah hampir tak diajarkan atau dijadikan fokus penelitian lagi, kecuali oleh Suryadi yang sudah lama bertengger di sana. Keadaan di universitas lain di luar Asia Tenggara nasib bidang ini tidak terlalu berbeda, seperti misalnya Fakultas Asia Tenggara di ANU di Canberra di mana Prof Virginia Hooker, Dr Supomo, Prof Worsley dan Dr Ian Proudfoot sekarang sudah pensiun,1 walupun masih tetap terikat pada jurusannya itu. Di SOAS London Prof Braginsky dan Prof Kratz akan mencicipi pensium dalam waktu dekat dan calon penggantinya sepertinya lebih tertarik pada film dan media baru lainnya daripada naskah. Selain itu masih terdapat ‘manusia purba’ yang lepas seperti Prof Wieringa di Köln dan saya sendiri yang hijrah sampai ke Singapura. Barangkali masih ada 1-2 manusia yang lain seperti kami itu yang dapat mendidik 1-2 murid dalam bidang filologi jika beruntung. Jadi perkembangan dalam dunia akademik di luar Asia Tenggara ini berarti bahwa dalam waktu dekat tidak ada pengajaran filologi dan sastra nusantara lama lagi, kecuali di universitas-universitas di Indonesia, Brunei, Malaysia dan barangkali Singapura! Ini cukup aneh jika diingat bahwa bidang filologi nusantara ini dikembangkan di Eropa dan selama ini sepertinya memang bidang studi yang ‘dimonopoli’ oleh Eropa itu: kebanyakan professor dan doktor yang mengajar bidang ini di Asia Tenggara dididik di Eropa dan sekarang meneruskan tradisinya kepada murid-murinya sendiri.
Perkembangan ini mengandung peluang besar bagi pusat-pusat studi di Asia Tenggara untuk mengembangkan bidang filologi nusantara dan menjadi pusat di dunia ini untuk bidang tersebut. Jika dulu titik berat atau pusat yang punya reputasi
1 George Quinn akan menyusul dalam waktu dekat juga.
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 2
cemerlang di dunia dalam bidang ini seperti Leiden dan London berada di Barat, posisi itu sekarang telah atau sedang diambilalih atau digantikan oleh Asia Tenggara sendiri dengan pusat-pusat studi di Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, Penang dan Kuala Lumpur. Koleksi yang disimpan di perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Leiden, British Library, SOAS Library, Library of Congress dsb., dulu menjadi ‘taman permainan’ anak-anak mahasiswa di sana untuk menimba ilmu dan menghasilkan studi tentangnya. Namun, berhubungan dengan penyalinan dalam bentuk microfilm serta tiket pesawat ke Eropa yang terjangkau, dll., maka sekarang sudah tak menjadi taman yang begitu eksklusif lagi, malah boleh dikatakan sudah diambilalih pula oleh mahasiswa dan peneliti dari Asia Tenggara (antara lain karena hampir tak ada mahasiswa lagi di sana yang dapat membaca jawi atau tulisan nusantara lainnya). Selain itu institusi di Asia Tenggara pun telah dengan cukup subur membangun dan mengembangkan koleksi sendiri seperti Perpustakaan Nasional di Jakarta dan Perpustakaan Negara di KL dan kegiatan untuk menambahkan naskah dan bahan lain pada koleksinya diusahakan dengan gigih.
Di sini juga kita beralih kepada perkembangan yang akhir-akhir ini semakin gencar mempengaruhi bidang filologi nusantara ini, yaitu digitalisasi naskah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihasilkan olehnya. Dengan dikembangkannya teknologi digital dalam dasawarsa terakhir ini maka peneliti naskah dilengkapi dengan ‘senjata pamungkas’ untuk mendorong studinya. Pasalnya, dengan semakin dikembangkannya teknologi ini maka semakin bagus dan hebat kameranya dan semakin murah dan terjangkau peralatan lainnya. Sebagai contoh boleh disebut hp atau ponsel yang biasanya diperlengkapi dengan kamera yang sekarang sudah ada sampai 5 megapixels. Walaupun lensanya cukup sederhana, tetapi kualitas foto yang dihasilkan dengan hp semacam itu bisa jadi cukup bagus apalagi yang dibuat dengan kamera digital beneran! Dan siapa yang sekarang tidak mengantongi sebuah hp atau kamera digital kalau turun ke lapangan? Akibatnya muncul semakin banyak tempat dan orang yang membangun koleksi-koleksi foto yang sebagiannya mengandung salinan naskah-naskah yang pernah didapatinya di salah satu koleksi. Khususnya para peneliti membangun koleksi pribadinya yang disimpan di hard disk komputernya dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian yang ‘siap pakai’, sebagai bahan hias atau misalnya untuk menyusun makalah di Manassa. Foto-foto mudah dapat dibagi dengan peneliti lain dan dapat digunakan sebagai ilustrasi tulisan. Semua ini sudah terjangkau
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 3
dan dapat mendorong studi naskah agar menjadi lebih populer. Namun perkembangan ini juga membawa tambahan lain yang perlu kita perhatikan dan tangani dengan baik, yaitu penggunaan teknologi sebaik mungkin menuntut kita mempelajarinya dan berusaha menguasai berbagai seluk-beluk akibat teknologi baru itu. Dalam masa yang akan datang atau barangkali sekarang sudah sebaiknya kita tambahkan mata pelajaran seperti ‘teknik pemotretan dengan pencahayaannya’, ‘menyimpan dan mengolah foto-foto dengan berbagai peranti lunak’, ‘pengelolaan dan preservasi koleksi digital’, dsb., pada pelajaran filologi atau sastra lama yang kita selenggarakan di universitas. Paling tidak, kita sendiri mempelajarinya juga sehingga tak terlalu ketinggalan dengan perkembangan baru ini. ‘Pengentasan gagap teknologi’ bagi para peneliti pun perlu dilaksanakan sehingga kita dapat menghasilkan foto dengan baik, mengelola koleksi dengan tepat dan dapat juga mengajarnya kepada murid kita. Dengan pemasukan mata pelajaran teknologi digital ini kita barangkali juga dapat menarik minat lebih banyak pelajar dan ikut menyadarkan masyarakat lebih luas akan manfaat naskah nusantara.
Perkembangan ‘digitalisasi naskah’ ini tidak hanya dilakukan dan diprakarsai peneliti secara pribadi tetapi juga diakui dan didanai melalui institusi besar seperti perpustakaan, yayasan dan universitas. Yang sudah terkenal di sini adalah C-DATS, atau Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies, Tokyo University of Foreign Studies, yang dalam 5 tahun terakhir ini (mulai 2002) menyelenggarakan pendigitalan koleksi-koleksi di Aceh, Minangkabau dan Palembang serta penyusunan katalognya (C-DATS website: www.tufs.ac.jp/21coe/area/eng). Ketiga katalog ini dihasilkan oleh orang-orang yang berpengalaman dan piawai dalam bidang filologi dan bekerjasama dengan Yayasan Pernaskahan Nusantara, yang juga telah menghasilkan sebuah katalog sebuah koleksi naskah di Buton pada tahun 2002. Tahun 2005 Yayasan Arcadia mulai menyalurkan dana melalui The British Library dalam Endangered Archives Programme untuk mendanai pendigitalan dokumen-dokumen yang dikhawatirkan akan lenyap dimakan zaman. Pada saat ini sedang berjalan empat proyek pendigitalan yang didanai melalui program itu, salah satunya yang saya kelola sendiri, yaitu pemotretan naskah yang berada di dalam koleksi-koleksi pribadi di Kepulauan Riau.
Dalam proyek ini yang akan berlangsung selama kurang lebih satu tahun kami berencana melacak dan mendigitalkan naskah-naskah yang ada dalam koleksi pribadi
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 4
para penduduk atau instansi di Kepulauan Riau. Setelah kami menjalani pelatihan penggunaan kamera digital dan membuat persiapan lain, kami turun ke daerah untuk melaksanakan program tersebut yang melibatkan beberapa orang lain di dalamnya. Yang terpenting adalah salah satu orang yang menjadi asisten peneliti (research assistant) dan punya jaringan luas di Kepulauan tersebut, yang dengan giat melacak dan memotretnya. Kami juga mengadakan kenduri dan workshop untuk mencari restu daripada pemuka-pemuka masyarakat di tempatnya serta menumbuhkan kesadaran terhadap naskah yang disimpan di rumah oleh sebagian orang. Salah satu kendala dalam program ini adalah kesadaran itu karena orang sering tidak dapat membaca dan tidak memahami naskah lama sehingga terbengkalai di dalam salah satu tempat penyimpanan di rumah, di mana sering jadi bahan makanan untuk rayap dan serangga lainnya. Juga ada sebagian yang tetap memahami dan menggunakan naskah itu tetapi agak enggan memberi akses kepada asisten peneliti itu sehingga perlu pendekatan dan negosiasi sebelum dapat memotret naskahnya. Melalui workshop yang kami adakan di beberapa pulau itu kita berharap akan muncul kesadaran di antara masyarakat betapa pentingnya naskah untuk masyarakat itu sendiri sehingga sangat perlu dirawat dengan baik dan jangan sampai dijual keluar. Maka perawatan dan penyimpanan naskah juga menjadi bagian dari workshop yang kami adakan itu. Kami juga telah mengikutsertakan seorang ahli perawatan kertas menjadi anggota tim yang melakukan program ini. Mengingat pelacakan seperti ini juga dapat dilakukan oleh mahasiswa maka ada baiknya pelajaran dasar bagaimana kertas dapat diawetkan, ditangani dan lainnya juga masuk ke dalam pelajaran filologi sehingga mahasiswa atau kita sendiri dapat memberi petunjuk-petunjuk kepada masyarakat bagaimana dapat mengkonservasi naskah sebaik mungkin. Pasalnya operasi besar-besaran konservasi naskah seperti dilakukan oleh Perpustakaan Nasional selama beberapa tahun terakhir ini memakan banyak biaya dan tetap memerlukan para peneliti tahu sedikit sebanyak tentang konservasi kertas juga sehingga dapat memberi nasihat yang tepat pada pemilik naskah. Adapun penjualan naskah tidak dapat kami lawan atau hentikan namun sebagai kompensasi kami menjalin hubungan baik dengan pedagang antik yang telah mengizinkan kami untuk memotret naskahnya yang ada padanya sehingga isinya tetap dapat kami selamatkan sebelum naskahnya menghilang entah ke mana.
Foto-foto semua naskah yang dihasilkan program ini direncanakan untuk disimpan di website yang dikelola British Library (BL) dan akan bisa diakses oleh Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 5
umum.2 Melalui kegiatan ini BL akan menjadi suatu sumber naskah nusantara yang semakin besar yang mudah-mudahan tetap akan menyediakan akses terhadap naskah dengan percuma. Selain BL ada juga lembaga lain yang giat di dalam digitalisasi naskah dan pembukaan sumber baru, salah satunya adalah The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang baru-baru ini mengadakan konferensi naskah Islam ketiga yang dikhususkan kepada naskah-naskah Islam di Afrika. TIMA ini pun telah meluncurkan website yang dapat dipakai untuk mengakses berbagai macam sumber naskah Islam yang menarik, misalnya Royal Library of Denmark.3 TIMA ini belum membidikkan matanya ke naskah-naskah nusantara, tetapi saya yakin dalam waktu dekat para anggota TIMA ini akan sadar juga akan adanya daerah ini dengan harta karunnya berupa naskah Islam.
Jika dilihat semua kegiatan ini yang akan menyediakan semakin banyak bahan untuk dikaji yang lain daripada yang selama ini ada di perpustakaan, maka muncul masalah apakah dan bagaimanakah bahan baru itu akan mengubah konsep yang selama ini kita pegang tentang sastra nusantara lama. Sudah umum diketahui koleksi-koleksi naskah nusantara yang sekarang tersimpan di perpustakaan di Eropa dan Asia Tenggara terbentuk atas dasar kepentingan dan perhatian kolonial dan dirancang, dikatalogkan serta diteliti oleh pengkaji yang berwawasan orientalis. Dengan demikian susah sekali untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana konsep sastra lama hidup di dalam masyarakat setempat.
Jika kita batasi uraian ini pada sastra Melayu lama, maka dapat kita lihat bahwa pemburu naskah awal ada tujuan tertentu untuk mendapatkan naskah dari masyarakat, yaitu mempelajari bahasa dan adat kalangan diraja. Mereka pun punya konsep terhadap sastra yang sangat ditentukan oleh pelajaran yang mereka tuntut di Eropa. Seperti yang diterangkan Sweeney (1987), peneliti atau pengamat dan pengumpul naskah pada abad 18 dan sebelumnya lain sekali pemikirannya dibanding dengan pemburu yang menjelajahi tanah Melayu pada abad 19. Yang pertama seperti
2 Selain di website British Library, foto program kami di Riau juga akan diberi kepada beberapa perpustakaan di Asia Tenggara seperti Perpustakaan Nasional di Jakarta, National Library di Singapura dan sebuah lembaga arsip di Tanjungpinang, Riau.
3 Website TIMA dapat diakses melalui: islamicmanuscript.org/Home.html, alamat Royal Library Denmark sebagai berikut: www.kb.dk/en/nb/samling/os/osdigit.html
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 6
Valentijn dan Werndly, menyukai dan mengagumi sastra Melayu karena mirip dengan tradisinya sendiri yang masih cukup dipengaruhi oleh kaedah sastra lisan. Lain halnya dengan para pengkaji seperti De Hollander, Roorda van Eysinga dan kawan-kawannya, yang dibesarkan dalam tradisi Eropa yang mengangkat studi menjadi ilmu yang dipelajari di universitas di mana norma yang berlaku ialah norma budaya cetak. Mengingat sebagian besar naskahnya yang berada di dalam perpustakaan sekarang berasal dari abad 19 dan sering secara khusus diseleksi oleh, dan disalin untuk sang pemburu naskah, maka jelaslah kita perlu hati-hati dengan menentukan ‘konsep sastra Melayu lama’ sebagai suatu keseluruhan yang berarti. Khususnya pada abad 19 sistem kolonial semakin berat terbebankan pada penduduk setempat dan kekuasaan para raja dan penguasa lainnya semakin terkikis. Maka berdasarkan itu pula Prof Braginsky membatasi studi tentang sastra Melayu klasik pada pertengahan abad 19 karena sekitar waktu itu kekuasaan Islam yang menghasilkan naskah-naskah itu sudah terlalu lemah digerogoti oleh pemerintah kolonial. Sebagai sistem yang mencakup seluruh sastra Melayu klasik, beliau pula telah merancang model yang terdiri atas tiga lingkaran dengan teks ajaran agama sebagai teks pusat yang paling penting. Dorongan bagi orang Melayu untuk duduk terpekur sambil menggoreskan kalamya kepada kertas didapatkannya dalam ajaran sufi yang menyusun karangan agar merasakan dirinya lebih dekat dengan Allah SWT (Braginsky 2004).
Ini bukan tempatnya untuk membahas lebih lanjut kajian-kajian Prof Braginsky,4 namun jika kita gunakan model tersebut untuk kajian naskah yang dideskripsikan di dalam katalog yang tersebut di atas, rasanya kurang tepat karena modelnya dibentuk berdasarkan teks-teks dari zaman kegemilangan kerajaan-kerajaan Islam nusantara sampai pertengahan abad 19. Barangkali karya-karya abad 19 lebih baik dilihat sebagai sisa dari sebuah tradisi yang berhubungan dengan kalangan keluarga diraja tetapi bukannya dikuasai olehnya. Yang menarik ialah banyaknya karya Islam yang dihasilkan dan disalin pada abad itu: apakah itu berarti agama berada di dalam lingkaran pusat sistem atau di pinggiran kurang jelas. Yang menarik adalah saat kekuasaan para raja terkikis, kewibawaan para petinggi agama dapat dikonsolidasikan atau malah diperkuatnya. Apakah peningkatan intensitas hubungan antara Timur Tengah dan Asia Tenggara dan gerakan-gerakan reformasi dalam Islam
4 Lihat Putten 2007 untuk pembahasan saya terhadap buku Prof Braginsky.
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 7
menjadi faktor utama atau agama boleh kita anggap sebagai bagian dari ajaran ‘arus bawah’ yang tetap bertahan walaupun ajaran ‘arus atas’, yaitu yang terkandung di dalam naskah-naskah hebat yang ditulis dan disalin di dalam istana dan pusat agama yang berhubungan dengannya, semakin terkikis?
Yang jelas pada abad 19 ada beberapa proses yang mengubah masyarakat nusantara dan menggoncangkan karya yang dihasilkannya. Salah satu proses ialah folklorisasi, yaitu proses pembaruan kebudayaan yang mengakibatkan sebagian dari ekspresi kebudayaan yang ada terasa ‘ketinggalan zaman’ dan tergolong pada ‘masa dahulu kala’. Ekspresi kebudayaan itu dapat digunakan sebagai bahan pelajaran bagaimana adab dan kaedah tatakrama pergaulan antara orang seharusnya tersusun, yang selalu juga dianggap lebih bagus daripada yang sekarang diterapkan oleh masyarakat umum. Proses ini bergandeng tangan dengan yang dapat disebut ‘modernisasi’ yang meluncurkan pembaruan-pembaruan ke dalam ekspresi kebudayaan biasanya berpandukan model yang dipinjam dari Barat. Tulisan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi merupakan salah satu contohnya sebagai ilustrasi kedua proses ini: dia mengintroduksi kaedah baru melalui karangan-karangan yang bertitik fokus pada dirinya sendiri. Di dalam beberapa karyanya dia pun mengecam para raja dan keluarga diraja karena mengikuti adat lama yang sudah kedaluwarsa dan menzalimi anggota rakyat. Dia juga ikut mendukung usaha kolonial untuk memperolok karangan lama yang ‘klasik’ seperti yang dilakukannya terhadap Sejarah Melayu yang penuh dengan cerita khayalan yang tak berguna (lihat Proudfoot 2002).
Suatu proses lain yang berlangsung dalam abad 19 di Asia Tenggara barangkali dapat disebut demokratisasi: melalui pengikisan kekuasaan istana dan dibentuk suatu sistem pendidikan kolonial untuk penggemblengan juru-juru tulis bagi melumas sistem perdagangan dan pemerintahan rendah, seni menulis semakin menyebar dalam masyarakat Melayu pada paruh akhir abad 19. Orang-orang yang dapat menulis pertamanya masih terpaksa ikut di dalam sistem kolonial untuk mendapat pekerjaan. Juru tulis seperti Abdullah Misri, Muhammad Cing Saidullah, Abdullah bin Abdulkadir, Haji Ibrahim, dsb., ‘menguangkan’ keterampilan menulisnya kepada pejabat yang berada dalam istana kolonial. Mereka bekerja penuh waktu menyalin naskah dan mengarang yang baru bagi majikannya, orang berpangkat dalam sistem kolonial. Namun di samping mereka itu mulai ada juga orang yang menulis untuk administrasi perniagaan seorang Cina, Arab atau Melayu lain di
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 8
Palembang, menuliskan surat cinta bagi seorang Eropa yang tak pandai di Penang, menyalin teks untuk disewakan kepada para nyonya dan tuan yang suka membaca cerita-cerita wayang dan percintaan di Betawi, Tanjungpinang dan Palembang, serta menyalin naskah kepada kertas khusus yang dapat digunakan untuk penggandaan teksnya pada pers litografi atau cap batu di Singapore, Palembang, Surabaya dan tempat lainnya. Kedua gejala yang tersebut terakhir itu juga menunjukkan suatu proses yang dapat disebut komersialisasi sastra: dengan semakin meluas keterampilan menulis dan membaca juga muncul permintaan dari pembaca yang dapat menyewa atau membeli naskah dan melalui penyewaan atau pembelian itu ikut menentukan apa yang disalin, dicetak atau dikarang. Jadi munculnya pasar sastra dengan permintaan dan penawaran yang bermuara pada pembagian antara yang sering disebut karangan laris (atau populer /sampah) dan karya agung (yang halus dan bernilai sastra tinggi). Nah di sini telah bulat proyek kolonisasi benak penduduk Asia Tenggara soalnya pembagian golongan itu serupa dengan yang telah lama diketahui di Eropa akibat perkembangan yang terjadi pada abad 17-18: maka sama saja cuman perkembangan di Asia Tenggara lambatnya 2 abad, itu saja.
Namun masih ada perbedaan yang belum dijelaskan dalam ‘model’ seperti itu: ‘sastra populer’ di Barat sering menunjukkan yang haram, lucah dan yang menggemparkan masyarakat pembacanya, sedangkan yang paling lazim muncul di Asia Tenggara adalah yang mengajar orang menjadi orang baik yang taat pada agamanya. Ini bukan berarti tidak ada karangan yang miring yang menyajikan adegan panas dan menunjukkan ilustrasi birahi: juga pengarang alim yang memperjuangkan Islam dengan gigih seperti Syekh Syed Al-Hadi dan Ahmad Lutfi (dua pengarang Semenanjung yang sangat giat dalam tahun 1920-30an dan 1940-50an) coba melariskan buku-bukunya dengan memasukkan anasir hangat seperti itu. Namun bagian besar naskah-naskah yang sekarang muncul sebagai hasil kegiatan pelacakan, pendigitalan dan pencatatan naskah yang digambarkan di atas adalah naskah pengajaran Islam dan hal-hal berkenaan, dokumen-dokumen penting pribadi (yang kemungkinan keturunan keluarga diraja) dan cerita tempatan. Sangat amat menarik dan perlu dalam masa depan untuk membandingkan hasil pencatatan yang dilakukan dalam dasawarsa terakhir ini; untuk membandingkan Katalog Naskah Bima dengan yang dibuat di Buton yang dua-duanya banyak mengandung ‘naskah kerajaan’ (seperti silsilah, dsb.) di samping naskah Islam yang juga banyak sekali; untuk
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 9
membandingkan katalog yang dibuat di Minangkabau (yang katanya masih banyak naskah yang belum tercatat) dengan yang dibuat di Palembang, yang dua-duanya banyak sekali naskah pengajaran Islam formal seperti fikih. Mudah-mudahan tak lama lagi ada juga daftar karya seperti didigitalisasi di Riau dan lain-lain tempatnya di nusantara ini sehingga akhirnya dapat kita bandingkan satu sama lain dan mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dari tradisi tulis yang ada pada masing-masing daerah di nusantara ini. Boleh diperkirakan bahwa yang akan kita temukan di daerah di dalam koleksi penduduk bukanlah satu lagi Sulalatu Salatin atau Hikayat Hang Tuah atau naskah belum kita kenali yang ditulis pada abad 17 misalnya. Kemungkinan besar yang akan kita temukan adalah salinan yang pernah dibuat nenek moyang sang pemilik dari sebuah naskah agama yang dianggap penting, cetakan kitab agama yang masih dipakai terus dan kadang-kadang hikayat atau syair berbentuk tulisan tangan ataupun cetakan yang masih disimpan. Ini rasanya adalah sisa-sisa dari abad 19 dan abad 20 yang nanti dapat dibandingkan dengan koleksi-koleksi yang ada di Barat, seperti misalnya koleksi Van der Tuuk yang sudah dikatalogkan oleh Prof. Wieringa dalam katalog yang patut dipuji (Wieringa 2007). Yang jelas dengan tersedianya semakin banyak naskah dalam bentuk microfilm atau foto digital dengan catatan berup katalog yang lengkap, maka gambaran yang dapat kita rekonstruksi terhadap budaya menulis karya nusantara pada masa lampau akan lebih terperinci dan akan menuntut kita untuk kembali merenungkan konsep sastra nusantara lama yang ada.
Penutup:
Dalam makalah ini saya paparkan beberapa gagasan yang muncul dalam benak saya waktu merenungkan perkembangan studi sastra lama nusantara belakangan ini. Rasanya keadaan dan masa depannya cukup cerah, khususnya dengan pemanfaatan teknologi pendigitalan yang baru yang sebaiknya diintegrasi ke dalam pengajaran bidang filologi dengan betul. Salah satu kelemahan bidang ini adalah kemungkinan besar muncul anggapan bahwa filologi itu ketinggalan zaman, hanya untuk orang tua yang sudah uban atau rontok rambutnya dan sebagainya. Integrasi teknologi dapat memperbaiki citranya sedikit , tapi lebih penting sangat berguna untuk memajukan bidang dari segi lain, yaitu penyalinan naskah dan penyajiannya pada jaringan internet
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 10
global. Dengan agak mudah kita sekarang sudah dapat menyalin naskah dengan baik di daerah sehingga semakin banyak data mulai tersedia pada para peneliti. Ini akan mendorong dan memaksa para peneliti untuk memikirkan lagi konsep-konsep terhadap budaya tulis nusantara yang ada dan dengan demikian akan sangat memajukan bidang studi filologi ini. Walaupun semakin menghilang dari universitas di Eropa, tempat ilmu filologi dilahirkan, terdapat juga berbagai sarana di Eropa yang justru mendorong studinya melalui pengembangan koleksi-koleksi digital. Ini merupakan tantangan bagi lembaga di Asia Tenggara untuk memanfaatkan peluang itu dan mengembangkan filologi baru yang mencakup koleksi digital dan deskripsi naskah secara lengkap.
Rujukan
Achadiati Ikram, et al., 2001, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Manassa, The Toyta Foundation, dan Yayasan Obor Indonesia.]
Achadiati Ikram, et al., 2004, Katalog Naskah Palembang. Tokyo: YANASSA, TUFS.
Braginsky, Vladimir, 2004, The Heritage of Traditional Malay Literature. A historical survey of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV Press.
Juynboll, H.H., 1899, Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handschriften der Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden: Brill.
Proudfoot, Ian, 2002, ‘From Recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia’, Indonesia and the Malay World, 30 (87) (2002): 117-44.
Putten, Jan van der, 2007, ‘Between Iron Formalism and Playful Relativism: Five recent studies in Malay writing’. Journal of Southeast Asian Studies, 38 (1): 147-163.
Sweeney, Amin, 1987, A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: UNiversity of California Press.
Wieringa, E.P., 2007, Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and other Collections in the Netherlands. Leiden: Leiden University Library.
Yusuf, M. 2006, Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Tokyo: C-DATS.
Makalah MANASSA 4-7/08/08 Bandung 11