Arifin C. Noer dan Umang-umang Seadanya
Oleh Reza Saeful Rachman
“Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan,
dan musik dangdut!”
(Arifin C. Noer)
Ini adalah kesekian kalinya, lakon karangan seorang Arifin C. Noer “melacur” di tengah-tengah keblingsatan dunia. Melacur yang bukan hanya sekedar mangkal, tapi memberikan sebuah kepuasan tersendiri bagi insan yang peka imaji-imajinya dalam mengapresiasi lekuk demi lekuk bagian tubuh sebuah karya sastra—Drama pada kali ini, dan yang paling penting meskipun selalu berlatar remah-remah pembangunan—saya kira istilah ini yang selalu dipakai untuk menyebut rakyat, pelacuran ini tidaklah murahan.
Kali ini, yang mangkal adalah Umang-umang. Sebuah naskah yang dibuat tahun 1976, namun selalu aktual dan kontekstual jika dihubungkan dengan situasi kekinian sebuah desa bernama Indonesia. Pasti semuanya akan protes jika ada yang menyebut Indonesia itu desa. But, Ratu Indonesia pun yang katanya terpelajar, menyebut Negara kita sebagai city, not a country. “Merdesa, bukan merdeka!”. Begitu yang diucapkan Pramoedya Ananta Toer. Begitu pula dengan seorang Arifin C. Noer, ketika menciptakan lakon-lakonnya. Baginya di Indonesia, yang begitu banyak bangsawannya, tidaklah berharga. Baginya, copet, pelacur, orang kolong jembatan, kaum papa, dan elemen-elemen kecil untuk penguasa baginya sangat berharga. Pusat kota tidaklah penting, yang penting adalah kaum pinggiran dan rakyat pedesaan.
Umang-umang atawa Orkes Madun 2 karangan Arifin C. Noer, kali ini digarap oleh kawan-kawan dari Lakon Teater UPI Bandung. Dibawah komando seorang Dedi Warsana, pelacuran—lagi-lagi saya menyebut pelacuran—ini menjadi sangat kaya akan eksplorasi estetik dan membawa penonton pada sebuah ejakulasi yang maksimal dan amat transenden. Lakon Teater UPI menggelar pertunjukan ini Di Gedung PKM UPI pada 20 dan 21 November 2009.
Umang-umang bercerita tentang nasib atau lebih tepatnya kehidupan seorang gembong geng perampok bernama Waska (Yussak Anugerah). Waska yang dikenal oleh kroni-kroninya sebagai sosok yang kuat, tiba-tiba berubah lemah akibat sebuah penyakit aneh yang diderita dan tidak tahu apa sebabnya. Ranggong (Sahlan Bahuy) dan Borok (Chandra Kudapawana) yang merupakan tangan kanan kesayangan Waska, kemudian mencari penawar. Dadar bayi. Ya, dadar bayi adalah penawar yang dianjurkan dukun untuk menyembuhkan penyakit Waska. Setelah mendapat beberapa lahat bayi, dengan susah payah mereka menyuruh dukun untuk membuatkannya—dengan negosiasi harga tentunya. Berkat ramuan itu, Waska dapat hidup kembali. Ranggong dan Borok pun ikut makan dadar bayi tersebut. Efeknya signifikan, ketiganya jadi susah modar.
Pementasan ini seolah-olah menjadi sebuah pesan yang hendak dikirim seorang Arifin C. Noer pada generasi sesuadahnya tentang betapa tidak pentingnya kekuasaan, kemunafikan hasrat-hasrat anti-akhirat, dan kerugian menjadi manusia yang korup—bukankah korup adalah bahasa intelek dari pencurian? haha.
Seperti pementasan-pementasan lakon karangan Arifin C. Noer lainnya, pementasan kali ini pun sarat akan aspek musikalitas. Musik rakyat—dangdut, dilantunkan bagai sebuah ode bagi rakyat kecil. Ini menambah efek dramatik dalam menciptakan imaji-imaji mengenai apa dan bagaimana itu nasib rakyat kecil. Seperti yang ia katakan sedari dulu, “Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan, dan musik dangdut!”. Saya kira itu nilai tambah dalam tiap pertunjukan lakon karangan Arifin C. Noer, begitupun kali ini. Hanya saja, masih ada hal yang cukup mengganggu dalam pementasan kali ini. pemilihan waktu pertunjukan kurang tepat. Apakah penyelenggara lupa bahwa gedung tersebut tidaklah kedap suara, sehingga ketika adzan berkumandang lebih keras dari masjid yang hanya berjarak beberap langkah dari gedung, gelegar pementasan drama menjadi sayu. Bahkan terpaksa harus dihentikan. Itu cukup baik jika berpandangan seperti seorang Ustad, tapi apakah membuat penonton menunggu cukup lama itu baik? Ketika horison estetik yang sedang bereksplorasi tiba-tiba harus dipaksa dihentikan.
Namun, nampaknya masalah itu menjadi tak berarti setelah pertunjukan dimulai kembali. Arifin C. Noer mungkin sudah sangat tahu bagaimana memperlakukan rakyat kecil yang haus hiburan saat menulis lakon-lakon dramanya, sehingga hal-hal yang mengganggu tadi menjadi tidak berarti. Arifin C. Noer seperti seorang Nabi yang meskipun sudah lama hilang dari dunia, karya-karya masih tetap abadi. Begitu pula dengan Umang-umang kali ini. Sama seperti Kapai-kapai, Tengul, madekur dan tarkeni, atau Sandek Pemuda Pekerja yang sampai kapanpun tetap akan menjadi ode-ode bagi kaum miskin. Tabik.
“Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan,
dan musik dangdut!”
(Arifin C. Noer)
Ini adalah kesekian kalinya, lakon karangan seorang Arifin C. Noer “melacur” di tengah-tengah keblingsatan dunia. Melacur yang bukan hanya sekedar mangkal, tapi memberikan sebuah kepuasan tersendiri bagi insan yang peka imaji-imajinya dalam mengapresiasi lekuk demi lekuk bagian tubuh sebuah karya sastra—Drama pada kali ini, dan yang paling penting meskipun selalu berlatar remah-remah pembangunan—saya kira istilah ini yang selalu dipakai untuk menyebut rakyat, pelacuran ini tidaklah murahan.
Kali ini, yang mangkal adalah Umang-umang. Sebuah naskah yang dibuat tahun 1976, namun selalu aktual dan kontekstual jika dihubungkan dengan situasi kekinian sebuah desa bernama Indonesia. Pasti semuanya akan protes jika ada yang menyebut Indonesia itu desa. But, Ratu Indonesia pun yang katanya terpelajar, menyebut Negara kita sebagai city, not a country. “Merdesa, bukan merdeka!”. Begitu yang diucapkan Pramoedya Ananta Toer. Begitu pula dengan seorang Arifin C. Noer, ketika menciptakan lakon-lakonnya. Baginya di Indonesia, yang begitu banyak bangsawannya, tidaklah berharga. Baginya, copet, pelacur, orang kolong jembatan, kaum papa, dan elemen-elemen kecil untuk penguasa baginya sangat berharga. Pusat kota tidaklah penting, yang penting adalah kaum pinggiran dan rakyat pedesaan.
Umang-umang atawa Orkes Madun 2 karangan Arifin C. Noer, kali ini digarap oleh kawan-kawan dari Lakon Teater UPI Bandung. Dibawah komando seorang Dedi Warsana, pelacuran—lagi-lagi saya menyebut pelacuran—ini menjadi sangat kaya akan eksplorasi estetik dan membawa penonton pada sebuah ejakulasi yang maksimal dan amat transenden. Lakon Teater UPI menggelar pertunjukan ini Di Gedung PKM UPI pada 20 dan 21 November 2009.
Umang-umang bercerita tentang nasib atau lebih tepatnya kehidupan seorang gembong geng perampok bernama Waska (Yussak Anugerah). Waska yang dikenal oleh kroni-kroninya sebagai sosok yang kuat, tiba-tiba berubah lemah akibat sebuah penyakit aneh yang diderita dan tidak tahu apa sebabnya. Ranggong (Sahlan Bahuy) dan Borok (Chandra Kudapawana) yang merupakan tangan kanan kesayangan Waska, kemudian mencari penawar. Dadar bayi. Ya, dadar bayi adalah penawar yang dianjurkan dukun untuk menyembuhkan penyakit Waska. Setelah mendapat beberapa lahat bayi, dengan susah payah mereka menyuruh dukun untuk membuatkannya—dengan negosiasi harga tentunya. Berkat ramuan itu, Waska dapat hidup kembali. Ranggong dan Borok pun ikut makan dadar bayi tersebut. Efeknya signifikan, ketiganya jadi susah modar.
Pementasan ini seolah-olah menjadi sebuah pesan yang hendak dikirim seorang Arifin C. Noer pada generasi sesuadahnya tentang betapa tidak pentingnya kekuasaan, kemunafikan hasrat-hasrat anti-akhirat, dan kerugian menjadi manusia yang korup—bukankah korup adalah bahasa intelek dari pencurian? haha.
Seperti pementasan-pementasan lakon karangan Arifin C. Noer lainnya, pementasan kali ini pun sarat akan aspek musikalitas. Musik rakyat—dangdut, dilantunkan bagai sebuah ode bagi rakyat kecil. Ini menambah efek dramatik dalam menciptakan imaji-imaji mengenai apa dan bagaimana itu nasib rakyat kecil. Seperti yang ia katakan sedari dulu, “Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan, dan musik dangdut!”. Saya kira itu nilai tambah dalam tiap pertunjukan lakon karangan Arifin C. Noer, begitupun kali ini. Hanya saja, masih ada hal yang cukup mengganggu dalam pementasan kali ini. pemilihan waktu pertunjukan kurang tepat. Apakah penyelenggara lupa bahwa gedung tersebut tidaklah kedap suara, sehingga ketika adzan berkumandang lebih keras dari masjid yang hanya berjarak beberap langkah dari gedung, gelegar pementasan drama menjadi sayu. Bahkan terpaksa harus dihentikan. Itu cukup baik jika berpandangan seperti seorang Ustad, tapi apakah membuat penonton menunggu cukup lama itu baik? Ketika horison estetik yang sedang bereksplorasi tiba-tiba harus dipaksa dihentikan.
Namun, nampaknya masalah itu menjadi tak berarti setelah pertunjukan dimulai kembali. Arifin C. Noer mungkin sudah sangat tahu bagaimana memperlakukan rakyat kecil yang haus hiburan saat menulis lakon-lakon dramanya, sehingga hal-hal yang mengganggu tadi menjadi tidak berarti. Arifin C. Noer seperti seorang Nabi yang meskipun sudah lama hilang dari dunia, karya-karya masih tetap abadi. Begitu pula dengan Umang-umang kali ini. Sama seperti Kapai-kapai, Tengul, madekur dan tarkeni, atau Sandek Pemuda Pekerja yang sampai kapanpun tetap akan menjadi ode-ode bagi kaum miskin. Tabik.