Saving our culture heritage : kujang
Oleh
Reza Saeful Rachman
Kujang adalah pakakas atau senjata yang berasal dari tatar sunda. Kujang digunakan oleh masyarakat Suku sunda ketika jaman Kerajaan Pajajaran dulu. Kerajaan ini dulu kira-kira berpusat di kota bogor. Ketika itu konon kujang digunakan untuk berperang, kepentingan sehari-hari dan sebagai salah satu barang pusaka kerajaan. Sumber literatur tentang kujang amat sedikit. Yaitu lewat naskah pantun bogor dan dalam naskah siksa kandang karesian (1518M). Dalam naskah siksa kandang karesian disebutkan bahwa kujang pada masa itu adalah salah satu alat untuk bertani.
Kujang berasal dari kata kudi dan hyang. Kudi diambil dari bahasa sunda kuno yang berarti senjata yang mempunyai kekuatan gaib sedangkan hyang dapat diartikan pengertian dewa. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian kujang ialah sebuah pusaka yang memiliki kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa.
bentuk dan jenis kujang antara lain; Kujang Ciung (kujang yang bentuknya menyerupai burung ciung), Kujang Jago (kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago), Kujang Kuntul (kujang yang bentuknya menyerupai burung kuntul), Kujang Bangkong (bentuknya seperti bangkong), Kujang Naga (bentuknya menyerupai naga), Kujang Badak (bentuknya dianggap seperti badak), dan Kudi (suatu alat perkakas sejenis kujang).
Dilihat dari jenisnya, Kujang memiliki fungsi sebagai : pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan), pakarang (senjata untuk berperang) Pangarak (kujang bertangkai panjang menyerupai tombak sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (digunakan sebagai alat pertanian).
Masyarakat yang masih akrab dengan kujang antara lain masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kec. Bayah Kab. Lebak, masyarakat Sunda Wiwitan urang Kanekes Propinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat).Dalam hidup lingkungan mereka kujang selalu digunakan untuk upacara “nyacar” (menebang pepohonan untuk lahan ladang).
Dalam upacara tersebut ada ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang” artinya, “jika Bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh pertanda musim “nyacar” sudah tiba, maka kujang(kujang pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka “ngahuma (berladang).
bagian-bagian kujang antara lain : Papatuk atau congo (bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil), Eluk atau Siih (lekukan-lekukan pada bagian kujang gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh), Waruga (badan Kujang), Mata (lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang. kujang yang tidak memiliki mata. Kujang seperti ini disebut kujang buta. Pamor (garis-garis atau bintik-bintik pada badan Kujang disebut Sulangkar atau tutul konon mengandung racun dan gunanya untuk memperindah bilah Kujang), Tonggong (sisi yang tajam di bagian punggung Kujang, biasanya untuk mengerat atau mengiris), Beuteung (sisi yang tajam di bagian perut Kujang), Tadah (lengkung kecil pada bagian bawah perut Kujang), Paksi (bagian ekor Kujang yang lancip), Selut (ring pada pada ujung atas gagang Kujang), Combong (lubang pada gagang Kujang), Ganja (nama khas gagang Kujang), Kowak (nama khas sarung Kujang). Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka,yaitu Neraka.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.
Di samping itu, sebutan kujang banyak pula yang masih abadi seperti pada:
1. Nama kampung; Parungkujang, Cikujang, Gunungkujang, Parakankujang.
2. Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang (Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung Pamuntuan).
3. Nama Batalyon; Batalyon Kujang pada Kodam Siliwangi.
4. Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb.
5. Nama tugu peringatan: Tugu Kujang di Kota Bogor.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge-badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata. Tetapi seiring berjalannya waktu kujang mulai terlupakan. Langkah -langkah untuk merevitalisasi dan mensosialisasikan kujang harus dilakukan.
seiring dengan kemajuan zaman dan arus globalisasi yang amat tidak terkendali, tanpa disadari kujang adalah salah satu korbannya. Kujang mundur sejalan dengan proses modernisasi masyarakat sunda yang perlahan-lahan mulai lupa akan akar budaya nya. Kujang yang dahulu memiliki kebesaran sebagai benda pusaka masyarakat sunda kini mulai terpinggirkan. Proses sosialisasi di masyarakat pun kurang digalakan. Akibatnya masyarakat sunda sekarang kurang mengetahui tentang seluk beluk kujang. Fenomena yang amat menyedihkan sebuah harta budaya sunda tidak diperhatikan oleh pemiliknya yaitu masyarakat sunda. Maka dari itu langkah sosialisasi nyata harus segera di lakukan. Ini bukan hanya tugas museum saja. Tapi ini adalah tugas seluruh masyarakat sunda. Sudah seharusnya kujang mulai dikenalkan kembali di lembaga pendidikan. Mulai dari taman kanak-kanak, SD,SMP,SMA,dan perguruan tinggi. Dalam kalangan birokrat pun sosialisasi harus dilakukan. Ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa proses sosialisasi akan lebih mudah apabila kaum birokrat yang istilahnya memiliki kekuatan dan otoritas untuk membuat kebijakan yang bertujuan untuk melestarikan kujang. Sosialisasi kujang harus dilakukan dari usia kecil hingga dewasa. Tidak ada salahnya apabila dibuatnya repilika kujang dari bahan plastik sebagai alternatif lain senjata anak-anak saat bermain. Tujuannya bukan hanya untuk itu, tetapi juga sebagai salah satu proses pengenalan sebuah senjata pusaka yang bersal dari tanah nenek moyang mereka. Tidak ada salahnya pula apabila proses pembuatan kujang dilakukan di sekolah-sekolah kejuruan. Lalu hasil pembuatannya kita jadikan sebagai cenderamata untuk tamu-tamu yang datang dari luar, atau di jual di tempat-tempat wisata. Ini tidak hanya bermanfaat bagi proses pengenalan kujang kembali, juga dapat mendatangkan nilai ekonomi yang amat tinggi apabila kita kemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah komoditi yang layak diperhitungkan. Pada intinya proses sosialisasi di berbagai golongan masyarakat harus segera dilakukan. Demi kelangsungan kujang sebagai identitas masyarakat sunda.
Terbitkan buku tentang kujang
proses sosialisasi akan lebih mudah apabila budaya literasi juga disertakan didalamnya. Mengapa begitu? Terkadang putusnya cerita tentang suatu kebudayaan luntur akibat tidak adanya sumber tulis. Lewat tradisi tulis pernyataan-pernyataan yang lebih mendalam tentang kujang dapat kita ketahui secara cepat, tepat, adan akurat. Namun yang terjadi adalah kurangnya kesadaran dan kurangnya minat dari pihak -pihak tertentu untuk menerbitkan buku tentang kujang.
Sejumlah cendikiawan sunda muda seperti iip zulkifli yahya dan tedi permadi telah mencoba menggalakan membuat tulisan-tulisan tentang kujang. Tedi permadi bahkan telah mencoba melakukan proses rekonstruksi pembuatan kujang pamor. Hal seperti ini sudah selayaknya diperhatikan oleh pemerintah daerah provinsi jawa barat. Karena dalam proses penerbitan buku tentang kujang yang notebene adalah identitas masyarakat jawa barat sudah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah provinsi. Ini harus dilakukan sebagai salah satu langkah nyata proses pengenalan kembali kujang kepada masyarakat jawa barat. Dan langkah selanjutnya adalah buku tersebut diberikan kepada berbagai pihak dan lembaga sebagai langkah sosialisasi.
Saving our culture heritage
kujang sebagai perkakas dan senjata yang berasal dari jawa barat sudah selaknya harus kita lestarikan dan selamatkan. Jangan sampai terjadi penghilangan sebuah aset budaya masyarakat sunda. Selain proses sosialisasi, kesadaran dari masyarakat pun amat penting dalam proses penyelamatan kujang. Sebuah kearifan lokal yang harus kita jaga sampai kapanpun. Sebuah ilmu kearifan yang diwariskan leluhur sampai anak cucu kita kelak.
Reza Saeful Rachman. Mahasiswa sastra indonesia universitas pendidikan indonesia.
Reza Saeful Rachman
Kujang adalah pakakas atau senjata yang berasal dari tatar sunda. Kujang digunakan oleh masyarakat Suku sunda ketika jaman Kerajaan Pajajaran dulu. Kerajaan ini dulu kira-kira berpusat di kota bogor. Ketika itu konon kujang digunakan untuk berperang, kepentingan sehari-hari dan sebagai salah satu barang pusaka kerajaan. Sumber literatur tentang kujang amat sedikit. Yaitu lewat naskah pantun bogor dan dalam naskah siksa kandang karesian (1518M). Dalam naskah siksa kandang karesian disebutkan bahwa kujang pada masa itu adalah salah satu alat untuk bertani.
Kujang berasal dari kata kudi dan hyang. Kudi diambil dari bahasa sunda kuno yang berarti senjata yang mempunyai kekuatan gaib sedangkan hyang dapat diartikan pengertian dewa. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian kujang ialah sebuah pusaka yang memiliki kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa.
bentuk dan jenis kujang antara lain; Kujang Ciung (kujang yang bentuknya menyerupai burung ciung), Kujang Jago (kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago), Kujang Kuntul (kujang yang bentuknya menyerupai burung kuntul), Kujang Bangkong (bentuknya seperti bangkong), Kujang Naga (bentuknya menyerupai naga), Kujang Badak (bentuknya dianggap seperti badak), dan Kudi (suatu alat perkakas sejenis kujang).
Dilihat dari jenisnya, Kujang memiliki fungsi sebagai : pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan), pakarang (senjata untuk berperang) Pangarak (kujang bertangkai panjang menyerupai tombak sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (digunakan sebagai alat pertanian).
Masyarakat yang masih akrab dengan kujang antara lain masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kec. Bayah Kab. Lebak, masyarakat Sunda Wiwitan urang Kanekes Propinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat).Dalam hidup lingkungan mereka kujang selalu digunakan untuk upacara “nyacar” (menebang pepohonan untuk lahan ladang).
Dalam upacara tersebut ada ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang” artinya, “jika Bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh pertanda musim “nyacar” sudah tiba, maka kujang(kujang pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka “ngahuma (berladang).
bagian-bagian kujang antara lain : Papatuk atau congo (bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil), Eluk atau Siih (lekukan-lekukan pada bagian kujang gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh), Waruga (badan Kujang), Mata (lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang. kujang yang tidak memiliki mata. Kujang seperti ini disebut kujang buta. Pamor (garis-garis atau bintik-bintik pada badan Kujang disebut Sulangkar atau tutul konon mengandung racun dan gunanya untuk memperindah bilah Kujang), Tonggong (sisi yang tajam di bagian punggung Kujang, biasanya untuk mengerat atau mengiris), Beuteung (sisi yang tajam di bagian perut Kujang), Tadah (lengkung kecil pada bagian bawah perut Kujang), Paksi (bagian ekor Kujang yang lancip), Selut (ring pada pada ujung atas gagang Kujang), Combong (lubang pada gagang Kujang), Ganja (nama khas gagang Kujang), Kowak (nama khas sarung Kujang). Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka,yaitu Neraka.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.
Di samping itu, sebutan kujang banyak pula yang masih abadi seperti pada:
1. Nama kampung; Parungkujang, Cikujang, Gunungkujang, Parakankujang.
2. Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang (Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung Pamuntuan).
3. Nama Batalyon; Batalyon Kujang pada Kodam Siliwangi.
4. Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb.
5. Nama tugu peringatan: Tugu Kujang di Kota Bogor.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge-badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata. Tetapi seiring berjalannya waktu kujang mulai terlupakan. Langkah -langkah untuk merevitalisasi dan mensosialisasikan kujang harus dilakukan.
seiring dengan kemajuan zaman dan arus globalisasi yang amat tidak terkendali, tanpa disadari kujang adalah salah satu korbannya. Kujang mundur sejalan dengan proses modernisasi masyarakat sunda yang perlahan-lahan mulai lupa akan akar budaya nya. Kujang yang dahulu memiliki kebesaran sebagai benda pusaka masyarakat sunda kini mulai terpinggirkan. Proses sosialisasi di masyarakat pun kurang digalakan. Akibatnya masyarakat sunda sekarang kurang mengetahui tentang seluk beluk kujang. Fenomena yang amat menyedihkan sebuah harta budaya sunda tidak diperhatikan oleh pemiliknya yaitu masyarakat sunda. Maka dari itu langkah sosialisasi nyata harus segera di lakukan. Ini bukan hanya tugas museum saja. Tapi ini adalah tugas seluruh masyarakat sunda. Sudah seharusnya kujang mulai dikenalkan kembali di lembaga pendidikan. Mulai dari taman kanak-kanak, SD,SMP,SMA,dan perguruan tinggi. Dalam kalangan birokrat pun sosialisasi harus dilakukan. Ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa proses sosialisasi akan lebih mudah apabila kaum birokrat yang istilahnya memiliki kekuatan dan otoritas untuk membuat kebijakan yang bertujuan untuk melestarikan kujang. Sosialisasi kujang harus dilakukan dari usia kecil hingga dewasa. Tidak ada salahnya apabila dibuatnya repilika kujang dari bahan plastik sebagai alternatif lain senjata anak-anak saat bermain. Tujuannya bukan hanya untuk itu, tetapi juga sebagai salah satu proses pengenalan sebuah senjata pusaka yang bersal dari tanah nenek moyang mereka. Tidak ada salahnya pula apabila proses pembuatan kujang dilakukan di sekolah-sekolah kejuruan. Lalu hasil pembuatannya kita jadikan sebagai cenderamata untuk tamu-tamu yang datang dari luar, atau di jual di tempat-tempat wisata. Ini tidak hanya bermanfaat bagi proses pengenalan kujang kembali, juga dapat mendatangkan nilai ekonomi yang amat tinggi apabila kita kemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah komoditi yang layak diperhitungkan. Pada intinya proses sosialisasi di berbagai golongan masyarakat harus segera dilakukan. Demi kelangsungan kujang sebagai identitas masyarakat sunda.
Terbitkan buku tentang kujang
proses sosialisasi akan lebih mudah apabila budaya literasi juga disertakan didalamnya. Mengapa begitu? Terkadang putusnya cerita tentang suatu kebudayaan luntur akibat tidak adanya sumber tulis. Lewat tradisi tulis pernyataan-pernyataan yang lebih mendalam tentang kujang dapat kita ketahui secara cepat, tepat, adan akurat. Namun yang terjadi adalah kurangnya kesadaran dan kurangnya minat dari pihak -pihak tertentu untuk menerbitkan buku tentang kujang.
Sejumlah cendikiawan sunda muda seperti iip zulkifli yahya dan tedi permadi telah mencoba menggalakan membuat tulisan-tulisan tentang kujang. Tedi permadi bahkan telah mencoba melakukan proses rekonstruksi pembuatan kujang pamor. Hal seperti ini sudah selayaknya diperhatikan oleh pemerintah daerah provinsi jawa barat. Karena dalam proses penerbitan buku tentang kujang yang notebene adalah identitas masyarakat jawa barat sudah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah provinsi. Ini harus dilakukan sebagai salah satu langkah nyata proses pengenalan kembali kujang kepada masyarakat jawa barat. Dan langkah selanjutnya adalah buku tersebut diberikan kepada berbagai pihak dan lembaga sebagai langkah sosialisasi.
Saving our culture heritage
kujang sebagai perkakas dan senjata yang berasal dari jawa barat sudah selaknya harus kita lestarikan dan selamatkan. Jangan sampai terjadi penghilangan sebuah aset budaya masyarakat sunda. Selain proses sosialisasi, kesadaran dari masyarakat pun amat penting dalam proses penyelamatan kujang. Sebuah kearifan lokal yang harus kita jaga sampai kapanpun. Sebuah ilmu kearifan yang diwariskan leluhur sampai anak cucu kita kelak.
Reza Saeful Rachman. Mahasiswa sastra indonesia universitas pendidikan indonesia.