Lisung, perkakas tardisional yang multifungsi
oleh
Reza Saeful Rachman
Pada akhir bulan september penulis mendapat tugas dari salah satu dosen mata kuliah folklor di universitas tempat penulis menuntut ilmu dan mengembangkan studinya. Tugas tersebut adalah melakukan pengamatan terhadap alat-alat tradisional yang masih terdapat di dapur-dapur pada rumah yang berada masih di sekitar wilayah perkampungan. Kebetulan, kakek penulis yang masih tinggal di daerah perkampungan yaitu desa paniis kabupaten majalengka masih menggunakan alat-alat tradisional. Barang-barang seperti lulumpang, jubleg, bedog, pacul, cacapit, seeng, aseupan, coet-mutu, hihid, cempor, bahkan hawu (tungku tradisional masyarakat sunda) masih dapat ditemukan. Akan tetapi yang paling menarik perhatian penulis adalah lisung, salah satu perkakas pertanian tradisional. Dalam waktu pengerjaan tugas yang singkat ini (karena sekaligus mudik alias pulang kampung.), penulis mencoba mendeskripsikan dan mencoba mengangkat beberapa hal yang masih berkaitan dengan lisung.
Lisung merupakan salah satu jenis perkakas yang berfungsi sebagai alat untuk menumbuk padi. Lisung dapat berfungsi apabila berpasangan dengan halu. Lisung terbuat dari kayu yang berdiameter besar serta kuat, lalu dibentuk menjadi persegi. Setelah itu lalu dibuat lubang berbentuk persegi. Jika dilihat sepintas, bentuknya akan menyerupai perahu. Ukurannya bervariasi, berkisar dari 1,5 meter sampai 2,5 meter, lebarnya kira-kira 40 cm sampai 50 cm.
Selintas di ujungnya terdapat lubang yang digunakan sebagai tempat untuk nyosoh beras. Nyosoh berarti menumbuk padi. bentuknya bulat ke dalam dan semakin lancip. Bila di bandingkan mungkin seperti bentuk aseupan. Di ujunganya biasanya terdapat hiasan berupa gegelungan. kegiatan menumbuk padi di atas lisung menggunakan halu, dinamakan ngadondang.
Lisung merupakan bagian paling akhir dalam siklus padi. Diawali dengan proses tebar benih, nandur, ngarambet, tunggu, dibuat, sampai penyimpanan padi di leuit atau di dalam goah. Sedangkan setelah ditumbuk di dalam lisung, padi pun berubah menjadi beras.
Salah satu lisung yang ditemukan penulis adalah lisung yang dimiliki oleh kakek penulis. selain lisung, di sekitar dapur kakek penulis dapat ditemukan pula beberapa alat-alat lain seperti: lulumpang, jubleg, bedog, pacul, cacapit, seeng, aseupan, coet-mutu, hihid, cempor, bahkan hawu (tungku tradisional masyarakat sunda) masih digunakan. Kakek penulis yang berlatar belakang seorang petani (kini sudah “pengsiun”) sudah mengenal lisung sejak beliau kecil. Zaman dahulu katanya, banyak warga desa paniis yang memiliki lisung. Dahulu, setiap pagi dengan diawali kokok ayam, bunyi ibu-ibu yang sedang nyosoh pun terdengar. Secara bergantian ibu-ibu menumbukkan halu ke lisung sehingga menghasilkan suara yang khas. Bagi warga kampung, ini seolah menjadi pengingat bahwa mereka harus segera bangun dan segera bergegas untuk pergi ke sawah. Lisung biasanya disimpan di depan rumah atau di belakang rumah. Penulis lalu bertanya mengapa sekarang masyarakat desa paniis tidak menggunakan lisung lagi, kakek penulis hanya menjawab, “tah, gara-gara aya orang kota nyieun heleran di cicalung!”. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada kakek penulis, terjemahan dari kalimat tersebut adalah: “tuh, gara-gara ada orang dari kota yang membuat penggilingan padi di cicalung!”.
Dampak modernisasi ternyata berpengaruh pula pada kelangsungan sebuah perkakas tradisional. Alih-alih bersifat praktis dan efisiensi, perkakas yang sudah sejak dulu digunakan dan turun temurun diwariskan pun di lupakan. Padahal mereka tidak tahu, bahwa beras yang dihasilkan dengan cara disosoh rasanya lebih nikmat dan kandungan gizinya lebih banyak.
Lisung dan batara kala
Kakek penulis kemudian bercerita tentang sebuah cerita yang masih ada hubungannya dengan lisung. Yaitu kisah batara kala. Menurut kakek penulis dengan lupa-lupa ingat, Batara kala yang ingin hidup abadi berusaha mencuri air kehidupan yaitu Tirta Amerta di kompleks tinggalnya para dewa. Dengan kesaktiannya dia berhasil mencuri Tirta Amerta, namun sial bagi batara kala, baru aja dia meneguk air keabadian itu dan belum pula air tersebut sampai ke kerongkongannya, dia keburu ketahuan Batara Guru yang dengan sigap melemparkan senjata maha saktinya yang berupa Cakra, melesat menebas leher Batara Kala hingga terpisah kepala dari badannya.
Ternyata Tirta Amerta memang teruji khasiatnya, kepala Batara Kala tetap hidup dan terbang melayang-layang sementara badannya terhempas ke bumi dan berubah menjadi lisung. Batara Kala sangat marah dan dengan kemarahannya dia berusaha menelan matahari agar bumi berada dalam kegelapan selamanya.
Akhirnya orang-orang zaman dulu yang percaya pada legenda ini setiap terjadi gerhana matahari akan memukul-mukul lisung yang merupakan jelmaan dari badan Batara Kala dengan harapan Batara Kala akan merasa sakit dan mual lantas memuntahkan matahari sehingga bumi kembali terang.
Entah benar atau tidak dongeng yang diceritakan oleh kakek penulis. Tapi setelah itu kakek penulis berkata lagi. Katanya harusnya sekarang itu masyarakat sunda harus kembali menggunakan alat-alat tradisional. Supaya alat-alat tradisional itu ngak hilang. Akhirnya kegiatan bercerita lisung pun berakhir. Diakhiri oleh adzan asar, kakek penulis harus segera mengambil wudhu karena harus bersembahyang.
Lisung antik, Gondang dan tutunggulan
Lisung pun berkembang dari waktu ke waktu. Selain sebagai alat untuk menumbuk padi, lisung kini telah berkembang menjadi sebuah barang pajangan yang bernilai seni tinggi. Lisung pun kini dipandang sebagai barang antik, oleh sebab itu kini lisung pun kini menjadi sebuah komoditi perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi. Bahkan ada satu buah lisung yang harganya jutaan rupiah. Sungguh fenomena yang menarik dan membahagiakan. Mengapa begitu, karena walaupun dengan cara seperti itu berarti lisung kini telah diminati kembali. Setidaknya itu dapat dijadikan sebagai usaha melestarikan dan memperpanjang kelangsungan lisung. Satu lagi yang membahagiakan adalah bahwa kini nasib pembuat lisung agak membaik seiring dengan diminatinya lisung kembali.
Tidak hanya itu, lisung pun dapat digunakan sebagi alat kesenian. Kesenian yang menggunakan lisung adalah kesenian gondang atau kesenian tutunggulan. Pada awalnya tutunggulan ini bukan suatu bentuk kesenian tradisional tapi merupakan kegiatan memanggil masyarakat pedesaan untuk bisa menghadiri pertemuan akbar. Selain itu, tutunggulan ini digunakan untuk mengumpulkan masyarakat apabila terjadi gerhanan bulan atau matahari untuk bersama melakukan salat gerhana. Akan tetapi Sebagian masyarakat (salah satunya kakek penulis) masih menganggap bahwa memukul lisung pada saat gerhana merupakan sebuah cara agar matahari atau bulan tidak dimakan batara kala.
Selain itu, kegiatan tutunggulan ini pun dijadikan ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rizkinya. Suara bunyi beradunya halu dengan lisung yang mengeluarkan suara harmonis, maka pada perkembangannya, diakui menjadi suatu jenis kesenian buhun masyarakat Sunda.
Modernisasi, sebuah kemunduran
Namun saat ini, seni buhun tutunggulan sudah banyak ditinggalkan masyarakat Sunda. Apalagi tanah pesawahan yang dulunya satungtung deuleu, kini tidak ada lagi. Habis dijual kepada cukong dan menjadi lahan perumahan. Seni tutunggulan sudah jarang di tanah Pasundan ini. Tersisih oleh kemajuan zaman, modernisasi, dan kebutuhan manusia akan tempat tingga. Sehingga sawah-sawah pun diserobot untuk dijadikan lahan untuk membangun tempat tinggal.
Tanpa disadari, dengan hilangnya lahan pesawahan, hilanglah pula alat-alat pertanian tradisional sunda seperti etem, lisung, halu, dll. Hanya masyarakat yang masih sadar akan kebudayaan tradisional sunda lah yang sampai sekarang masih mau menjaga dan melestarikan alat-alat tradisional tersebut. Harapan kita semua adalah dengan adanya arus globalisasi dan modernisasi, tidak lantas menghilangkan dan mempunahkan aset-aset kearifan lokal sunda, alat pertanian sebagai contohnya. Karena ternyata fungsi dari alat-alat modern belum tentu bisa menyaingi alat tradisional. Lisung contohnya. Lisung ternyata memiliki banyak kegunaan. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa lisung merupakan salah satu dari sekian banyak perkakas tradisional yang multifungsi. Alat-alat yang dihasilkan dengan proses modern belum tentu dapat menyainginya. Akan sangat disayangkan bila perkakas seperti lisung hilang ditelan kemajuan zaman.
Reza Saeful Rachman
Pada akhir bulan september penulis mendapat tugas dari salah satu dosen mata kuliah folklor di universitas tempat penulis menuntut ilmu dan mengembangkan studinya. Tugas tersebut adalah melakukan pengamatan terhadap alat-alat tradisional yang masih terdapat di dapur-dapur pada rumah yang berada masih di sekitar wilayah perkampungan. Kebetulan, kakek penulis yang masih tinggal di daerah perkampungan yaitu desa paniis kabupaten majalengka masih menggunakan alat-alat tradisional. Barang-barang seperti lulumpang, jubleg, bedog, pacul, cacapit, seeng, aseupan, coet-mutu, hihid, cempor, bahkan hawu (tungku tradisional masyarakat sunda) masih dapat ditemukan. Akan tetapi yang paling menarik perhatian penulis adalah lisung, salah satu perkakas pertanian tradisional. Dalam waktu pengerjaan tugas yang singkat ini (karena sekaligus mudik alias pulang kampung.), penulis mencoba mendeskripsikan dan mencoba mengangkat beberapa hal yang masih berkaitan dengan lisung.
Lisung merupakan salah satu jenis perkakas yang berfungsi sebagai alat untuk menumbuk padi. Lisung dapat berfungsi apabila berpasangan dengan halu. Lisung terbuat dari kayu yang berdiameter besar serta kuat, lalu dibentuk menjadi persegi. Setelah itu lalu dibuat lubang berbentuk persegi. Jika dilihat sepintas, bentuknya akan menyerupai perahu. Ukurannya bervariasi, berkisar dari 1,5 meter sampai 2,5 meter, lebarnya kira-kira 40 cm sampai 50 cm.
Selintas di ujungnya terdapat lubang yang digunakan sebagai tempat untuk nyosoh beras. Nyosoh berarti menumbuk padi. bentuknya bulat ke dalam dan semakin lancip. Bila di bandingkan mungkin seperti bentuk aseupan. Di ujunganya biasanya terdapat hiasan berupa gegelungan. kegiatan menumbuk padi di atas lisung menggunakan halu, dinamakan ngadondang.
Lisung merupakan bagian paling akhir dalam siklus padi. Diawali dengan proses tebar benih, nandur, ngarambet, tunggu, dibuat, sampai penyimpanan padi di leuit atau di dalam goah. Sedangkan setelah ditumbuk di dalam lisung, padi pun berubah menjadi beras.
Salah satu lisung yang ditemukan penulis adalah lisung yang dimiliki oleh kakek penulis. selain lisung, di sekitar dapur kakek penulis dapat ditemukan pula beberapa alat-alat lain seperti: lulumpang, jubleg, bedog, pacul, cacapit, seeng, aseupan, coet-mutu, hihid, cempor, bahkan hawu (tungku tradisional masyarakat sunda) masih digunakan. Kakek penulis yang berlatar belakang seorang petani (kini sudah “pengsiun”) sudah mengenal lisung sejak beliau kecil. Zaman dahulu katanya, banyak warga desa paniis yang memiliki lisung. Dahulu, setiap pagi dengan diawali kokok ayam, bunyi ibu-ibu yang sedang nyosoh pun terdengar. Secara bergantian ibu-ibu menumbukkan halu ke lisung sehingga menghasilkan suara yang khas. Bagi warga kampung, ini seolah menjadi pengingat bahwa mereka harus segera bangun dan segera bergegas untuk pergi ke sawah. Lisung biasanya disimpan di depan rumah atau di belakang rumah. Penulis lalu bertanya mengapa sekarang masyarakat desa paniis tidak menggunakan lisung lagi, kakek penulis hanya menjawab, “tah, gara-gara aya orang kota nyieun heleran di cicalung!”. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada kakek penulis, terjemahan dari kalimat tersebut adalah: “tuh, gara-gara ada orang dari kota yang membuat penggilingan padi di cicalung!”.
Dampak modernisasi ternyata berpengaruh pula pada kelangsungan sebuah perkakas tradisional. Alih-alih bersifat praktis dan efisiensi, perkakas yang sudah sejak dulu digunakan dan turun temurun diwariskan pun di lupakan. Padahal mereka tidak tahu, bahwa beras yang dihasilkan dengan cara disosoh rasanya lebih nikmat dan kandungan gizinya lebih banyak.
Lisung dan batara kala
Kakek penulis kemudian bercerita tentang sebuah cerita yang masih ada hubungannya dengan lisung. Yaitu kisah batara kala. Menurut kakek penulis dengan lupa-lupa ingat, Batara kala yang ingin hidup abadi berusaha mencuri air kehidupan yaitu Tirta Amerta di kompleks tinggalnya para dewa. Dengan kesaktiannya dia berhasil mencuri Tirta Amerta, namun sial bagi batara kala, baru aja dia meneguk air keabadian itu dan belum pula air tersebut sampai ke kerongkongannya, dia keburu ketahuan Batara Guru yang dengan sigap melemparkan senjata maha saktinya yang berupa Cakra, melesat menebas leher Batara Kala hingga terpisah kepala dari badannya.
Ternyata Tirta Amerta memang teruji khasiatnya, kepala Batara Kala tetap hidup dan terbang melayang-layang sementara badannya terhempas ke bumi dan berubah menjadi lisung. Batara Kala sangat marah dan dengan kemarahannya dia berusaha menelan matahari agar bumi berada dalam kegelapan selamanya.
Akhirnya orang-orang zaman dulu yang percaya pada legenda ini setiap terjadi gerhana matahari akan memukul-mukul lisung yang merupakan jelmaan dari badan Batara Kala dengan harapan Batara Kala akan merasa sakit dan mual lantas memuntahkan matahari sehingga bumi kembali terang.
Entah benar atau tidak dongeng yang diceritakan oleh kakek penulis. Tapi setelah itu kakek penulis berkata lagi. Katanya harusnya sekarang itu masyarakat sunda harus kembali menggunakan alat-alat tradisional. Supaya alat-alat tradisional itu ngak hilang. Akhirnya kegiatan bercerita lisung pun berakhir. Diakhiri oleh adzan asar, kakek penulis harus segera mengambil wudhu karena harus bersembahyang.
Lisung antik, Gondang dan tutunggulan
Lisung pun berkembang dari waktu ke waktu. Selain sebagai alat untuk menumbuk padi, lisung kini telah berkembang menjadi sebuah barang pajangan yang bernilai seni tinggi. Lisung pun kini dipandang sebagai barang antik, oleh sebab itu kini lisung pun kini menjadi sebuah komoditi perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi. Bahkan ada satu buah lisung yang harganya jutaan rupiah. Sungguh fenomena yang menarik dan membahagiakan. Mengapa begitu, karena walaupun dengan cara seperti itu berarti lisung kini telah diminati kembali. Setidaknya itu dapat dijadikan sebagai usaha melestarikan dan memperpanjang kelangsungan lisung. Satu lagi yang membahagiakan adalah bahwa kini nasib pembuat lisung agak membaik seiring dengan diminatinya lisung kembali.
Tidak hanya itu, lisung pun dapat digunakan sebagi alat kesenian. Kesenian yang menggunakan lisung adalah kesenian gondang atau kesenian tutunggulan. Pada awalnya tutunggulan ini bukan suatu bentuk kesenian tradisional tapi merupakan kegiatan memanggil masyarakat pedesaan untuk bisa menghadiri pertemuan akbar. Selain itu, tutunggulan ini digunakan untuk mengumpulkan masyarakat apabila terjadi gerhanan bulan atau matahari untuk bersama melakukan salat gerhana. Akan tetapi Sebagian masyarakat (salah satunya kakek penulis) masih menganggap bahwa memukul lisung pada saat gerhana merupakan sebuah cara agar matahari atau bulan tidak dimakan batara kala.
Selain itu, kegiatan tutunggulan ini pun dijadikan ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rizkinya. Suara bunyi beradunya halu dengan lisung yang mengeluarkan suara harmonis, maka pada perkembangannya, diakui menjadi suatu jenis kesenian buhun masyarakat Sunda.
Modernisasi, sebuah kemunduran
Namun saat ini, seni buhun tutunggulan sudah banyak ditinggalkan masyarakat Sunda. Apalagi tanah pesawahan yang dulunya satungtung deuleu, kini tidak ada lagi. Habis dijual kepada cukong dan menjadi lahan perumahan. Seni tutunggulan sudah jarang di tanah Pasundan ini. Tersisih oleh kemajuan zaman, modernisasi, dan kebutuhan manusia akan tempat tingga. Sehingga sawah-sawah pun diserobot untuk dijadikan lahan untuk membangun tempat tinggal.
Tanpa disadari, dengan hilangnya lahan pesawahan, hilanglah pula alat-alat pertanian tradisional sunda seperti etem, lisung, halu, dll. Hanya masyarakat yang masih sadar akan kebudayaan tradisional sunda lah yang sampai sekarang masih mau menjaga dan melestarikan alat-alat tradisional tersebut. Harapan kita semua adalah dengan adanya arus globalisasi dan modernisasi, tidak lantas menghilangkan dan mempunahkan aset-aset kearifan lokal sunda, alat pertanian sebagai contohnya. Karena ternyata fungsi dari alat-alat modern belum tentu bisa menyaingi alat tradisional. Lisung contohnya. Lisung ternyata memiliki banyak kegunaan. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa lisung merupakan salah satu dari sekian banyak perkakas tradisional yang multifungsi. Alat-alat yang dihasilkan dengan proses modern belum tentu dapat menyainginya. Akan sangat disayangkan bila perkakas seperti lisung hilang ditelan kemajuan zaman.