goong renteng, realita dan harapan

oleh Reza Saeful Rachman

Jawa barat atau tatar sunda merupakan salah satu wilayah dari negara kesatuan republik indonesia yang pada tahun 2008 mencanangkan sebuah program akbar untuk sektor pariwisata yaitu lewat program visit indonesia 2008. dimana sektor -sektor pariwisata dibenahi sedemikian rupa agar dapat menghasilkan citra dan raihan devisa untuk negara. Ada beberapa jenis pilihan yang yang ditawarkan bagi para wisatawan antara lain wisata alam seperti gunung tangkuban perahu, wisata belanja di kota bandung, wisata budaya seperti yang terdapat di kota bandung dan cirebon, serta jenis lainnya.

Pembenahan-pembenahan terus dilakukan agar si objek pariwisata tersebut layak untuk dijual. Nilai positif yang dapat kita ambil antara lain ialah bahwa sektor pariwisata di indonesia kian membaik diikuti dengan taraf ekonomi yang semakin membaik akan tetapi yang sangat disayangkan adalah apabila ada sebuah objek yang sebenarnya layak untuk ditampilkan bahkan ditonjolkan sebagai salah satu bagian pariwisata dari kategori kesenian kurang mendapat perhatian.

Salah satu jenis kesenian yang nasibnya kian hari kian mengenaskan ialah kesenian goong renteng. Goong Renteng adalah salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang usianya sudah cukup tua yaitu sejak abad ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah di Jawa Barat. Menurut Jaap Kunst (1934:386), goong renteng dapat ditemukan di Cileunyi dan Cikebo (wilayah Tanjungsari, Sumedang), Lebakwangi (wilayah Pameungpeuk, Bandung), dan Keraton Kanoman Cirebon. Selain itu, goong renteng juga terdapat di Cigugur (Kuningan), Talaga (Majalengka), Ciwaru (Sumedang), Tambi (Indramayu), Mayung, Suranenggala, dan Tegalan (Cirebon).

Goong renteng mirip dengan gamelan degung. Yang membedakan adalah dalam hal usia, goong renteng dianggap lebih tua keberadaannya daripada degung. sehingga menimbulkan pendapat bahwa gamelan degung merupakan pengembangan dari goong renteng. Mungkin karena ketuaannya, pada umumnya goong renteng sekarang dianggap sebagai gamelan keramat, sehingga pemeliharaannya diperlakukan khusus secara adat. Kelengkapan waditra gamelan renteng tidak sama di setiap tempat, demikian pula lagu-lagunya.

Istilah "goong renteng" berasal dari gabungan kata "goong" dan "renteng". Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet atau berjejer, atau ngarenteng dalam bahasa Sunda. Jadi, secara harfiah goong renteng adalah goong (pencon) yang diletakkan/disusun secara berderet (ngarenteng).

Goong renteng memiliki dua macam laras. Yang pertama adalah berlaras salendro dan ada yang berlaras pelog. Waditranya yang digunakan terdiri dari kongkoang, cempres, paneteg, dan goong. Kongkoang (alat musik berpencon), cempres (alat musik bilah), dan goong diklasifikasikan sebagai idiofon; sementara paneteg (semacam kendang) diklasifikasikan sebagai membranofon. Ditinjau dari cara memainkannya, kongkoang, cempres, dan goong diklasifikasikan sebagai alat pukul; sedangkan paneteg sebagai alat tepuk. Dalam ensambel, kongkoang dan cempres berfungsi sebagai pembawa melodi, kendang sebagai pembawa irama, dan goong sebagai penutup lagu atau siklus lagu.

Lagu-lagu pada goong renteng pada umumnya tidak bertambah. Lagu-lagu pada Goong Renteng Embah Badong di Lebakwangi – Batukasut, Bandung; Goong Renteng Panggugah Manah di Sukamulya, Kuningan; dan Goong Renteng Talagamanggung di Majalengka (bahkan tidak pernah di tabuh lagi), lagu-lagunya masih tetap itu-itu juga. Akan tetapi disamping itu ada pula Lagu-lagu yang berfungsi khusus, misalnya lagu Wong Miang Ngangsu digunakan ketika orang-orang mengambil air ke sungai atau sumur, lagu Mususi Beras digunakan ketika wanita-wanita mencuci beras, lagu Rimpang-rimpung digunakan jika hajat diselenggarakan secara besar-besaran, sampai memotong kerbau. Di samping penyajian lagu-lagu (instrumental), tarian kuda lumping juga ikut memeriahkan hajatan, diiringi dengan goong renteng ini. Pada upacara adat Ngunjung di astana Buyut Tambi, goong renteng Cinangnang ditabuh untuk penyambutan tamu. Goong renteng Ciwaru lagu-lagunya seringkali diibingan (memakai tarian).

Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya pada goong renteng Embah Bandong ketika digunakan untuk memeriahkan acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan acara ngibakan (memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu bukti bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di samping adanya keanehan lain yang berbau mistik.

Dulu, goong renteng biasa pula digunakan untuk memeriahkan pesta-pesta kenegaraan di kabupaten. Goong renteng Embah Bandong ditabuh pada acara Congres Java Instituut (17 Juni 1921) di Bandung. Goong renteng di daerah Indramayu secara tradisi biasa dipakai pada satu hari sebelum hari hajatan, ketika orang sibuk bekerja untuk persiapan hajatan. Ini sebagai tanda bahwa besok pagi merupakan hari puncak hajatan.

Sampai sekarang kesenian goong renteng dianggap tidak populer. Yang lebih menyedihkan lagi ialah tidak adanya perhatian yang serius dari Pihak pemerintah, media, maupun pihak swasta tidak pernah berusaha memperkenalkan dan mempopulerkannya. Oleh karena itu goong renteng sebagai gamelan khas Sunda kini hampir tidak dikenal oleh orang Sunda sendiri kecuali oleh pengurus atau orang kampung, tempat gamelan tersebut berada.

Pola pengaturan atau manajemenisasi untuk kesenian goong renteng atau kesenian lain harus lebih dilakukan secara jelas dan memiliki kontinuitas agar kesenian ini terjaga eksistensinya sampai kapanpun. Saya anggap goong renteng maih memiliki nilai jual yang masih sangat tinggi. Mungkin selain kesenian ini masih banyak jenis kesenian lain yang kurang diperhatikan. Proses sosialisasi dan revitalisasi untuk kesenian ini harus dilakukan. Kita sebagai orang sunda seharusnya bangga karena kita masih mempunyai aset budaya yang masih amat luhur. Peran birokrasi amat sangat dibutuhkan. Baik pemerintah provinsi, kota, sampai tingkat terkecil pun harus turut berperan dalam usaha pelestarian kesenian ini. Disamping itu, pemerintah juga bertugas untuk mempermanis kesenian ini sehingga dapat memiliki nilai jual yang bertujuan untuk memperbaiki kelangsungan si pelaku kesenian itu. Karena pada hakikatnya perkembangan sektor wisata dapat dikatakan berhasil apabila membawa kemajuan selain untuk perekonomian negara, juga untuk kelangsungan kesenian tersebut serta pelaku kesenian tersebut. Amat sangat disayangkan apabila kesenian ini hilang atau punah karena luput dari perhatian masyarakat sunda pada khususnya. Ironis apabila sebuah aset budaya yang bersifat kearifan lokal yang harus lenyap tanpa bekas.