Sangkuriang dalam beberapa kajian keilmuan

Sangkuriang dalam beberapa kajian keilmuan*
oleh
Reza Saeful Rachman**


“hana nguni hana mangke tan hana nguni tan hana mangke aya ma beuheula aya tu ayeuna hanteu ma beuheula heunteu tu ayeuna hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna aya tu catangana”

“ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu maka takkan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini bila tiada masa silam maka tiada pula masa kini ada tonggak tentu ada batang bila tak ada tonggak maka tak ada batang bila ada tunggulnya tentu ada catangnya” Kropak 632 kabuyutan ciburuy

sangkuriang merupakan sebuah cerita lisan yang bersifat tradisi dan telah dikenal sejak lama. Sangkuriang yang merupakan folklor masyarakat sunda telah memberikan banyak sumbangsih terhadap dunia keilmuan. Beberapa cabang keilmuan telah menjadikan cerita sangkuriang sebagai objek kajiannya. Cerita sangkuriang pun telah memberikan sumbangsih terhadap dunia kesusastraan indonesia. Setidaknya sangkuriang telah menjadi dasar beberapa pengarang dan penyair dalam berkarya. Di bawah ini saya akan memaparkan beberapa hal mengenai sangkuriang dalam kajian keilmuan seperti filologi, filsafat, dan kesusastraan

Sangkuriang dalam kajian filologi

Sangkuriang awalnya merupakan cerita tradisi lisan masyarakat sunda. Masyarakat luas lebih mengenal sangkuriang sebagai legenda yang sifatnya lisan dan diwariskan lewat mulut ke telinga(saya kira mulut ke mulut sudah sangat tidak relevan lagi.red). Sebenarnya ada sebuah rujukan tertulis mengenai legenda ini, yaitu pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Jawa dan Bali akhir abad ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun
datang ka Bukit Patenggéng
Sakakala Sang Kuriang
Masa dék nyitu Ci tarum
Burung tembey kasiangan

Dari beberapa kalimat diatas yang terdapat dalam satu lempir lontar, dapat dipaparkan sebagai berikut. Pangeran bujangga manik yang tengah melakukan pengembaraan berjalan menuju ke arah barat dan sampai ke sebuah daerah yang berbukit-bukit. Disana diceritakan bahwa wilayah tersebut terjadi akibat usaha sangkuriang yang hendak membendung sungai citarum namun gagal sehingga wilayah yang asalnya merupakan danau buatan sangkuriang luruh kembali dan hanya menyisakan sebuah wilayah yang berupa perbukitan.

Filolog Edi. S. Ekadjati(Alm.) sempat melakukan penginventarisasian sebuah naskah yang berjudul babad sangkuriang. Akan tetapi penulis tidak dapat memaparkan isi naskah tersebut karena sampai hari ini penulis belum menemukan katalog inventarisasi naskah tersebut. Akan tetapi dengan sedikit pemaparan mengenai naskah bujangga manik diatas, semoga kehausan terhadap sangkuriang dalam dunia filologi dapat sedikit mengrangi kehausan akan sangkuriang sebagai objek dalam dunia filologi.

Sangkuriang dalam kajian filsafat

Menurut Jakob Sumardjo (2002), dalam lintasan sejarah kerohanian Indonesia dikenal adanya hirarki tiga dunia, yaitu; dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia "hyang", dunia tengah adalah dunia perantara yang bersifat gaib dan ambivalen, dan dunia bawah adalah dunia manusia. Manusia berasal dari dunia atas, dari sang hyang. Oleh karena itu, dalam kepercayaan Sunda, istilah yang merujuk kepada tuhan adalah "hyang" atau "sanghiang". Istilah hyang dianggap sebagi istilah universal yang dipercaya sebagai perwujudan logos, kata tersebut pararel dengan tuhan Allah dalam Islam dan Kristen, Tian dalam Konghucu. Perbedaan pelafalan dan kata kalau dianalisa secara semiotis terletak pada aspek lingua, bukan pada penanda absolutnya.

Gambaran ketuhanan dalam mitologi diwakili oleh sosok raja Perbangkara/Prabhangkara. Raja adalah sesuatu yang dikenal dalam budaya manusia. Hal ini untuk menunjukkan keberadaan tuhan yang tidak jauh dengan kemanusiaan. Tuhan yang aktif, yang tanggap akan doa hamba-Nya. Tuhan yang memberikan wayungyang atau cahaya pencerahan kepada manusia baik dalam bentuk wahyu, ilham, alam sebagai sebuh pegangan.

Komunikasi antara dunia atas dan dunia bawah yang disimbolkan melalui Dayang Sumbi atau Danghyang Sumbi dapat dianalisa bahwa Danghyang Sumbi berposisi di dunia tengah, yang dalam kepercayaan Sunda dianggap memiliki aspek metafisis "Hyang" sebagai representasi dari dunia atas. Perkawinan yang diharapkan bukan perkawinan dengan Dayang Sumbi tetapi perkawinan dunia atas dan dunia bawah atau ber-tajalli-nya manusia dengan Tuhan. Danghyang Sumbi adalah perantara yang bisa menyatukan antara kedua dunia tersebut, atau bisa disejajarkan dengan ajaran cinta ketuhanan yang bisa mengantarkan kedekatan manusia dengan Tuhan.

Dalam alur diceritakan bahwa ketika Sangkuriang hendak membuat perahu untuk berlayar ia menebang sebuah pohon, bekas pohon tersebut kemudian menjadi tunggul. Tunggul bisa dipahami sebagai asal pohon atau ditarik kepada tataran yang luas adalah asal dari segala sesuatu, termasuk awal dari manusia itu sendiri. Manusia lahir dari proses hidup alami yang awalnya adalah dari satu eksistensi.

Kata tunggul dalam analisa semiotik secara ponetis dekat dengan kata tunggal/ nunggal/ tutunggul/ tanggul/ tanggal. Tunggul identik dengan tunggal, awal sesuatu adalah tunggal kemudian menjadi tunggul. Asal dan akhir sesuatu inilah yang merepresentasikan hakekakat ketuhanan. Hakekat ketuhahan dalam mitologi tersebut bisa dipahami sebagai Tuhan yang tunggal atau monotheis.

Sangkuriang dalam kajian kesusastraan

Kisah sangkuriang yang awalnya hanya cerita rakyat masyarakat sunda kini telah menjadi dasar inspirasi beberapa pengarang dalam berkarya. Setelah melakukan beberapa pencarian, saya dapatkan data beberapa pengarang baik itu orang pribumi maupun orang barat. Beberapa pengarang yang membawa sangkuriang dalam berkarya antara lain: T.J Bezemer, C.M Pleyte, S.A Reitsma, Hoogland, A.J Koens, Darmawidjaja, Djaja supena, Utuy T.sontani, R.M.A Koesoemadinata, Ajip Rosidi, Neuman van padang, Karwapi, R.P Kusumadinata, Richard dan Sheila Bernett, Misbah el Munir, Beni Setia, Wahyu Wibisana, Saini K.M, Femmy Syahrani.

Tidak hanya berupa kisah, cerita sangkuriang pun tersaji dalam bentuk puisi, dan drama. Meskipun dalam proses penceritaan yang diangkat terkadang terdapat perbedaan, saya kira itu sebagai hal yang wajar. Pandangan seorang pengarang amat berbeda satu dengan lainnya.

Cerita sangkuriang bila kita kaji lebih mendalam, hampir mirip dengan cerita oedipus di yunani, prabu watugunung di kerajaan giling wesi, cerita loro jonggrang, dll.

Salah satu contoh saya ambil sebuah sajak dari sebuah drama karangan utuy T. sontani.

Riuh gemuruh di kejauhan
alamat telaga sudah dibangun
riuh gemuruh dalam dadaku
karena hati naik turun

ah, hatiku!
Hati manusia yang tiada tahu daya-upaya,
tapi juga hati seorang ibu
yang diancam bahaya

sebagai manusia,
ya, dewata!
Hatiku turun ke bawah telapak kakimu
hikmat menyembah kebesaranmu
menyerah
mengalah pada kehendaknu
yang benar selalu

tapi sebagai ibu
ya, anakku!
Hatiku naik keatas puncak citamu
keras menolak keinginanmu
bertindak
berontak menentang kebenaranmu
yang tidak benar bagiku.

Dalam kajian sastra, dikenal sebuah kajian yang disebut sastra bandingan. Saya kira sangkuriang termasuk objek yang cukup pantas kita kaji disini. Sebagai contoh, kisah sangkuriang kesiangan karangan ajip rosidi, berbeda dengan drama sang kuriang karangan utuy. T sontani. Disini cerita sangkuriang telah mengalami banyak perubahan dan menghasilkan bentuk penyajian penceritaan yang berbeda.

Dalam sangkuriang kesiangan karangan ajip rosidi, pemaparan kisah sangkuriang dipaparkan secara lengkap(karena ini sebuah kisah), disajikan dalam bahasa yang panjang namun agak menjemukan, dan tidak jauh berbeda dari kisah aslinya.

Berbeda dengan cerita sangkuriang yang diangkat utuy t. sontani. Disini utuy memaparkan cerita dengan beberapa sudut pandang yang berbeda. Karena ini berupa drama, utuy sengaja memperpadat kisah sangkuriang yang cukup panjang menjadi lebih singkat. Beberapa tokoh dalam cerita sangkuriang asli(yang dikenal mayarakat luas) sengaja dihilangkan. Dalam bagian ending pun, mungkin kita akan sedikit tercengang karena dalam drama karangan utuy, kisah diakhiri dengan dayang sumbi yang bunuh diri dengan menusukkan kujang ke perutnya sambil membaca sebuah syair.

Dari kedua perbandingan diatas, didapat sebuah pernyataan bahwa hubungan antara kedua cerita tersebut bersifat negatif. Negatif disini karena hubungan kedua cerita amat berbeda. Hubungan positif akan terjadi apabila kisah karangan ajip rosidi disandingkan dengan sajak tentang sangkuriang karangan karwapi yang isinya relatif lebih sama.


Sebuah Kesimpulan

sangkuriang telah turut mengambil peranan dalam beberapa kajian keilmuan. Secara gamblang dapat kita sebut bahwa cerita sangkuriang yang awalnya hanya sebuah cerita rakyat lisan masyarakat sunda yang bersifat tradisi, kini telah banyak dikaji sebagai objek kajian dan telah memberikan sumbangsih terhadap beberapa disiplin keilmuan.



Kepustakaan

- Pariboga, C.M Pleyte.
- Gending karesmen Sangkuriang Larung, Hidayat Suryalaga
- Ngabendung Situ, Ajip Rosidi
- Sang Kuriang, Beni Setia
- Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana
- Estetika paradoks, jakob sumarjo
- wajah bandoeng tempo doeloe, haryoto kunto
- semerbak bunga di bandung raya, haryoto kunto
- Babad tanah jawi, W.L Olthof
- Oedipus and the Sphinx, Jean Auguste Dominique Ingres
- sang kuriang, Utuy T. Sontani

* Sekedar tambahan pemahaman beberapa materi tentang sangkuriang dalam kajian mata kuliah sastra bandingan.
** Reza Saeful Rachman, Pemerhati Budaya Sunda. Beberapa tulisannya tersebar di harian Kompas. Kini tengah melakukan studi di jurusan bahasa dan sastra indonesia Universitas Pendidikan Indonesia.