Gekbreng, Teater Humor Sunda yang Terlupakan

Kompas Sabtu, 22 November 2008

Oleh Reza Saeful Rachman

Meskipun malam sangat dingin, penonton seuri ngagakgak (tertawa terbahak-bahak) saat penari keplok cendol bergoyang sambil melawak. Lakon yang diperankan kelompok tersebut adalah orang-orang yang tidak terlalu jauh dari mereka. Ada pak lurah, bu lurah, si kabayan, dan lain-lain.

Dengan diharudung (ditutupi) sarung dan memakai pakaian hangat, mereka asyik menyaksikan pertunjukan gekbreng. Ditemani ubi kukus dan kacang rebus, sajian tersebut rasanya tak kalah dibandingkan dengan acara komedi di televisi. Acap kali terdengar gelegar tawa ketika para pelaku pertunjukan memperlihatkan kemahiran mereka mengocok perut penonton. Itulah teater humor Sunda gekbreng yang digelar di Desa Ubrug, Kabupaten Sukabumi, pertengahan November ini.

Mungkin istilah ini amat asing terdengar di telinga kita. Akan tetapi, masyarakat Kabupaten Sukabumi telah lama mengenal seni pertunjukan teater tradisional ini. Gekbreng merupakan kesenian berupa drama tari bersifat humor yang menceritakan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Nama gekbreng sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu gek dan breng, yang dalam bahasa Sunda berarti duduk seketika. Dengan demikian, gekbreng dapat diartikan pertunjukan yang ketika seseorang duduk, saat itu pula riuh rendah bunyi gamelan memulai aksi pementasan. Karena keasyikan menonton pertunjukan yang meriah ini, si penonton hanya duduk terdiam tak beranjak.

Kesenian gekbreng sudah berusia cukup tua dan diwariskan turun-temurun. Konon kesenian gekbreng ini diciptakan oleh Abah Ba'i pada tahun 1918 setelah tamat berguru kepada seorang seniman longser, Abah Emod alias Abah Soang, di Kampung Situ Gentang Ranji, Sukabumi.

Kesenian ini timbul dari reaksi masyarakat atas ketidakadilan yang dilakukan para penguasa waktu itu. Dengan daya kreatifnya, Abah Ba'i menangkap keluhan masyarakat terhadap penguasa dan meramunya menjadi bentuk drama tari bersifat humor yang kemudian disebut gekbreng.

Jadi, dahulu, melalui sindiran halus yang disampaikan dengan gaya humor, gekbreng adalah kesenian yang bertujuan mengingatkan penguasa agar jangan terlalu sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya. Cara tersebut kini diadopsi beberapa acara televisi dengan tujuan mengkritik kaum yang berkuasa lewat humor.

Peralatan

Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan gekbreng adalah seperangkat gamelan berlaras salendro yang terdiri dari kendang, terompet, ketuk tilu, rebab, rincik, dan gong. Dalam perkembangan selanjutnya, peralatannya menjadi lebih lengkap, yaitu kendang, bonang, rebab, rincik, gambang, saron I dan saron II, kecrek, jengklong, goong, serta ketuk, yang semua berlaras salendro.

Jika dahulu yang dilantunkan adalah lagu-lagu berbahasa Sunda khas sajian longser, sekarang lagu-lagu populer berbahasa Indonesia yang sedang digandrungi pun dinyanyikan. Sang sinden secara cekatan mengerti hal tersebut agar pertunjukan gekbreng ditonton pula oleh masyarakat yang masih muda.

Pertunjukan gekbreng biasanya diadakan di tempat terbuka atau tempat yang agak luas, seperti pendopo, lapangan, atau halaman rumah. Penontonnya duduk berkeliling membentuk huruf U atau tapal kuda. Dekorasi panggungnya pun terkesan seadanya dan bahkan bersifat abstrak imajiner. Pertunjukan teater rakyat ini dapat digelar baik pada siang maupun malam. Pada malam hari, sebagai pencahayaan dipergunakan obor tradisional bersumbu tiga yang disebut oncor.

Busana yang dipakai pemain gekbreng dibagi menjadi dua, yaitu busana penari keplok cendol dan busana penari ketuk tilu. Penari keplok cendol mengenakan kebaya lengan pendek, kain batik, dan selendang. Adapun penari ketuk tilu mengenakan kebaya lengan pendek, kain batik, celana pangsi, dan selendang yang kadang-kadang dililitkan di pinggang. Sementara itu, busana yang dikenakan pemain lainnya adalah busana yang biasa dikenakan sehari-hari, yaitu baju atau kaus oblong dan celana panjang.

Mirip longser

Karena yang menciptakan kesenian ini adalah seniman longser, bentuk pertunjukan gekbreng hampir sama dengan kesenian longser. Pertunjukan gekbreng diawali dengan tatalu (overture tradisional), kemudian berlanjut dengan wawayangan, yaitu penampilan tari awal yang dilakukan semua pemain wanita (ronggeng). Menyusul setelah wawayangan adalah penampilan tari keplok cendol, yang biasanya dibawakan oleh primadona panggung. Penonton pun terhibur dan enggan meninggalkan pertunjukan tersebut.

Pada akhir sajian keplok cendol akan muncul beberapa pelawak dalam arena yang menggoyang senyum dan tawa penonton. Para pelawak ini tidak sekadar melawak, tetapi juga memainkan tarian ketuk tilu atau jenis tarian lain yang berakar pada gerakan pencak silat. Kemudian, dimulailah babak-babak lakon pendek yang berselang-seling dengan adegan lawakan.

Pada pertengahan lakon ada babak khusus yang menampilkan para penari wanita memasuki kerumunan penonton sambil nyarayudu, yaitu menadahkan alat apa saja-lazimnya kenong yang mirip cawan-meminta uang saweran secara sukarela dari penonton. Mirip dengan kesenian kliningan bajidoran, sambil menyawer, biasanya penonton yang kebanyakan laki-laki ikut menari (ngibing) bersama penari wanita secara bergiliran.

Saat menari ini, para pemain akan diiringi lagu-lagu yang biasanya juga dikumandangkan dalam kesenian longser, yaitu gonjing, kidung, buah kawung, goreng, serendet, macan ucul, jiro, bendrong petiti, dan sapu nyerepegat simpai. Setelah acara nyawer, lakon dilanjutkan hingga pertunjukan berakhir.

Akan tetapi, kini kesenian ini hampir dilupakan orang. Kelompok kesenian gekbreng kini tinggal beberapa. Setelah mengalami puncak kejayaan pada tahun 1980-an, kelompok kesenian gekbreng mulai berguguran. Permasalahan ekonomi dan postmodernisme masyarakat Sunda amat berperan dalam kemunduran kesenian ini.

Amat disayangkan jika pada akhirnya seni pertunjukan gekbreng ini punah atau hilang. Padahal, jika kita cermati, selain kesenian, gekbreng juga merupakan salah satu media untuk mengkritik lewat lawakan, cara mengkritik yang dianggap paling tepat di tengah kondisi negara kita saat ini.
REZA SAEFUL RACHMAN Pemerhati Budaya Sunda