Bergumul dengan seorang penyair
oleh Reza saeful rachman
Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan beberapa lembar kertas dari seorang kawan perempuan bernama evi sefiani. Setelah saya lihat, isi dari kumpulan kertas tersebut adalah kumpulan sajak yang di tulis oleh beliau. Beliau mempersilahkan saya untuk membaca, menikmati dan mengapresiasi sajak-sajaknya. Judul sajak-sajak tersebut adalah Abdiredja, kenangan(2), kenangan(1), episode kelahiran, dan penunggu makam.
Sajak yang pertama menarik perhatian saya adalah sajak yang berjudul abdiredja. Evi yang biasanya menulis sajak dengan aliran estetis romantis dengan sedikit sentuhan luka, sekarang seolah mengajak kita sedikit berjenaka ria. Walaupun begitu, pengungkapan yang dipaparkan tetap tersembunyi lewat permainan majas yang apik. Pemaknaan yang disembunyikan evi sudah sangat bagus. Akan tetapi saya sedikit merasakan ada sedikit pengaruh joko pinurbo dalam sajak ini. Ciri puisi joko yang jenaka, liris, namun tetap majasi dapat kita temui dalam sajak ini.
Dalam beberapa larik sajak yang berjudul abdiredja, saya melihat kecenderungan evi menulis sajak ini untuk mengajak pembaca untuk mengikuti pergumulannya dengan sebuah subyek. Kita bisa lihat ini dalam bait pertama dalam sajak ini:
ada hujan dalam celanamu
basahnya menembus didinding kamarku
ia membawa deraian pesan
melalui dering telepon genggam
Akan tetapi pada larik pertama evi terlalu menggunakan perumpamaan lewat kata celana yang menurut saya terlalu sulit dimengerti pembaca. Pembaca (termasuk saya.red), baru merasakan keasyikan pergumulan pada larik-larik berikutnya yaitu pada larik dua sampai larik keeempat. Dalam beberapa larik ini, evi secara tersirat mengajak pembaca untuk masuk ke awal pergumulannya. Saya menyebut ini sebagai prolog atau pembuka dari sajak abdiredja secara keseluruhan.
Pergumulan sebenarnya baru saya rasakan pada bait ke dua. Dalam bait ini lewat diksi yang bersifat lisan, saya merasakan sebuah ekspresi pengharapan yang intim. Intim disini adalah ada percakapan yang lebih bersifat pribadi. penulis membuat bait ini sebagai penyampai pesan pengharapan untuk sebuah subyek.
Dalam pemilihan diksi atau kata pada bait kedua, evi menggunakan beberapa gaya bahasa yang khas. Saya melihat ini sebuah keunikan. Evi mengajak pembaca untuk mendengar cerita pergumulannya lewat perumpamaan yang secara sebenarnya tidak akan terjadi secara nyata. Ini saya lihat pada potongan larik dalam bait kedua:
...persenggamaan kita dengan kata di tiap malam”
kita mengenal senggama sebagai aktivitas yang bersifat seksual. Akan tetapi dalam sajaknya evi menggunakan senggama sebagai sebuah proses komunikasi dalam pergumulannya yaitu berhubungan lewat kata. Saya melihat kata-kata dalam bait ke dua bermakna bahwa si penulis atau si pelaku dalam sajak, berkata kepada sebuah subyek bahwa dia sangat berharap ada hasil dari sebuah pergumulan yang telah terjadi.
Pada bait selanjutnya, saya merasakan ada penguatan makna untuk bait sebelumnya. Dalam bait ke tiga yang merupakan bait terakhir:
itulah yang kubaca
sebelum membuka jendela
lalu kudapati sajaksajakmu tercecer di bawah matahari
penguatan makna yang tadi saya sebutkan terdapat pada larik pertama bait ketiga yaitu pada kata itulah yang kubaca. Kata “itu” disini adalah sebagai penunjuk untuk kalimat sebelumnya. Yaitu kalimat atau kata-kata pada bait ke dua.
Klimaks pada sajak ini dapat dirasakan pada larik terakhir bait terakhir. Hasil dari pergumulan yang diharapkan terlihat pada larik ini. Pada larik ini jelas terlihat bahwa subyek yang terlibat pergumulan adalah penulis atau pelaku sajak dengan seorang penyair. hal tersebut didapat dari larik terakhir yaitu:
lalu kudapati sajaksajakmu tercecer di bawah matahari
Matahari disini adalah perumpamaan untuk hidup atau kehidupan. Evi mengakhiri sajak pergumulan si pelaku sajak dengan seorang penyair yaitu lewat sajak yang di tulis penyair dan kemudian dinikmati si pelaku sajak dalam kehidupan.
Dari struktur sajak secara keseluruhan, saya melihat beberapa pelanggaran yang menurut saya beralasan. Pelanggaran disini adalah tidak ada huruf kapital dan penghilangan tanda baca. Saya merasakan ini sebagai usaha evi untuk memperkuat pemaknaan terhadap sajaknya. Saya merasakan sajak ini sebagai pergumulan si pelaku sajak dengan seorang penyair. Namun siapa penyair yang dimaksud saya tidak tahu. Akan tetapi yang pasti saya amat berharap penyair-penyair wanita seperti evi agar lebih bisa mengibarkan sayap kepenyairannya lebih luas lagi. Agar karya-karyanya dapat dibaca, dinikmati, dan diapresiasi oleh khalayak yang lebih banyak lagi.
Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan beberapa lembar kertas dari seorang kawan perempuan bernama evi sefiani. Setelah saya lihat, isi dari kumpulan kertas tersebut adalah kumpulan sajak yang di tulis oleh beliau. Beliau mempersilahkan saya untuk membaca, menikmati dan mengapresiasi sajak-sajaknya. Judul sajak-sajak tersebut adalah Abdiredja, kenangan(2), kenangan(1), episode kelahiran, dan penunggu makam.
Sajak yang pertama menarik perhatian saya adalah sajak yang berjudul abdiredja. Evi yang biasanya menulis sajak dengan aliran estetis romantis dengan sedikit sentuhan luka, sekarang seolah mengajak kita sedikit berjenaka ria. Walaupun begitu, pengungkapan yang dipaparkan tetap tersembunyi lewat permainan majas yang apik. Pemaknaan yang disembunyikan evi sudah sangat bagus. Akan tetapi saya sedikit merasakan ada sedikit pengaruh joko pinurbo dalam sajak ini. Ciri puisi joko yang jenaka, liris, namun tetap majasi dapat kita temui dalam sajak ini.
Dalam beberapa larik sajak yang berjudul abdiredja, saya melihat kecenderungan evi menulis sajak ini untuk mengajak pembaca untuk mengikuti pergumulannya dengan sebuah subyek. Kita bisa lihat ini dalam bait pertama dalam sajak ini:
ada hujan dalam celanamu
basahnya menembus didinding kamarku
ia membawa deraian pesan
melalui dering telepon genggam
Akan tetapi pada larik pertama evi terlalu menggunakan perumpamaan lewat kata celana yang menurut saya terlalu sulit dimengerti pembaca. Pembaca (termasuk saya.red), baru merasakan keasyikan pergumulan pada larik-larik berikutnya yaitu pada larik dua sampai larik keeempat. Dalam beberapa larik ini, evi secara tersirat mengajak pembaca untuk masuk ke awal pergumulannya. Saya menyebut ini sebagai prolog atau pembuka dari sajak abdiredja secara keseluruhan.
Pergumulan sebenarnya baru saya rasakan pada bait ke dua. Dalam bait ini lewat diksi yang bersifat lisan, saya merasakan sebuah ekspresi pengharapan yang intim. Intim disini adalah ada percakapan yang lebih bersifat pribadi. penulis membuat bait ini sebagai penyampai pesan pengharapan untuk sebuah subyek.
Dalam pemilihan diksi atau kata pada bait kedua, evi menggunakan beberapa gaya bahasa yang khas. Saya melihat ini sebuah keunikan. Evi mengajak pembaca untuk mendengar cerita pergumulannya lewat perumpamaan yang secara sebenarnya tidak akan terjadi secara nyata. Ini saya lihat pada potongan larik dalam bait kedua:
...persenggamaan kita dengan kata di tiap malam”
kita mengenal senggama sebagai aktivitas yang bersifat seksual. Akan tetapi dalam sajaknya evi menggunakan senggama sebagai sebuah proses komunikasi dalam pergumulannya yaitu berhubungan lewat kata. Saya melihat kata-kata dalam bait ke dua bermakna bahwa si penulis atau si pelaku dalam sajak, berkata kepada sebuah subyek bahwa dia sangat berharap ada hasil dari sebuah pergumulan yang telah terjadi.
Pada bait selanjutnya, saya merasakan ada penguatan makna untuk bait sebelumnya. Dalam bait ke tiga yang merupakan bait terakhir:
itulah yang kubaca
sebelum membuka jendela
lalu kudapati sajaksajakmu tercecer di bawah matahari
penguatan makna yang tadi saya sebutkan terdapat pada larik pertama bait ketiga yaitu pada kata itulah yang kubaca. Kata “itu” disini adalah sebagai penunjuk untuk kalimat sebelumnya. Yaitu kalimat atau kata-kata pada bait ke dua.
Klimaks pada sajak ini dapat dirasakan pada larik terakhir bait terakhir. Hasil dari pergumulan yang diharapkan terlihat pada larik ini. Pada larik ini jelas terlihat bahwa subyek yang terlibat pergumulan adalah penulis atau pelaku sajak dengan seorang penyair. hal tersebut didapat dari larik terakhir yaitu:
lalu kudapati sajaksajakmu tercecer di bawah matahari
Matahari disini adalah perumpamaan untuk hidup atau kehidupan. Evi mengakhiri sajak pergumulan si pelaku sajak dengan seorang penyair yaitu lewat sajak yang di tulis penyair dan kemudian dinikmati si pelaku sajak dalam kehidupan.
Dari struktur sajak secara keseluruhan, saya melihat beberapa pelanggaran yang menurut saya beralasan. Pelanggaran disini adalah tidak ada huruf kapital dan penghilangan tanda baca. Saya merasakan ini sebagai usaha evi untuk memperkuat pemaknaan terhadap sajaknya. Saya merasakan sajak ini sebagai pergumulan si pelaku sajak dengan seorang penyair. Namun siapa penyair yang dimaksud saya tidak tahu. Akan tetapi yang pasti saya amat berharap penyair-penyair wanita seperti evi agar lebih bisa mengibarkan sayap kepenyairannya lebih luas lagi. Agar karya-karyanya dapat dibaca, dinikmati, dan diapresiasi oleh khalayak yang lebih banyak lagi.